Mubadalah.id – Salah satu ketua Majelis Musyawarah Kongres Ulama Perempuan Indonesia (MM KUPI), Nyai Hj. Badriyah Fayumi, Lc. MA menjelaskan bahwa perbedaan latar belakang budaya, tradisi, musim, hingga perbedaan usia dan selera turut mempengaruhi pilihan muslimah memilih model, motif, bentuk, dan potongan pakaian yang dikenakannya.
Pakaian dengan demikian, menurut Nyai Badriyah, mesti melihatnya sebagai hal yang bersifat sosiologis, tidak semata-mata teologis.
Perintah Allah untuk mengenakan jilbab dan pakem-pakem pakaian muslimah yang Rasulullah Saw sampaikan memang bersifat teologis.
Namun, Allah sendiri, kata Nyai Badriyah, tidak merinci apa yang makna jilbab dan pakaian bagaimana modelnya, dan sebagainya.
Petunjuk Nabi tentang apa yang boleh dan tidak boleh dalam berbusana juga jelas, tapi Nabi sendiri tidak pernah membuat model baku bahwa bentuk dan potongan busana muslimah harus seperti ini untuk setiap muslimah di mana pun, kapan pun, dalam kondisi apa pun. Itulah kemaha bijaksanaan Allah dan kebijaksanaan Rasulullah.
Yaitu, kebijaksanaan tentang jilbab dan pakaian muslimah yang bersifat teologis berlaku universal dan permanen.
Namun, desain, bentuk, motif, warna, material dan potongan jilbab, dan busana muslimah adalah sesuatu yang bersifat sosiologis karena terpengaruh oleh perbedaan usia dan selera, kurun waktu, bangsa, tradisi, dan terkadang ideologi.
Oleh karena itu, Nyai Badriyah mengungkapkan, tidak tepat menteologiskan sesuatu yang sesungguhnya bersifat sosiologis.
Sejauh pakaian muslimah memenuhi ketentuan umum berpakaian sebagaimana di atas, insya Allah, tujuan pensyariatan jilbab tercapai, yakni sebagai identitas muslimah agar mudah mengenalinya sehingga jauh dari perbuatan yang melecehkan.
Tak perlu ada pembakuan dan pembatasan hanya model ini yang sesuai dengan syariat karena Syar’i.
Pembuat syariat yakni Allah Swt sendiri tidak pernah membakukan desain, motif, bentuk, dan potongan busana muslimah. (Rul)