Mubadalah.id – Salah satu Ketua Majelis Musyawarah Kongres Ulama Perempuan Indonesia (MM KUPI), Nyai Hj. Badriyah Fayumi, Lc. MA menjelaskan bahwa sejarah sebagai sebuah fakta tidak selalu sama dengan sejarah yang sudah ditulis (historiografi).
Sejarah yang ditulis bisa dipengaruhi oleh latar belakang dan cara pandang penulis atau penelitinya, selain informasi yang didapatkannya.
Maka tidak heran, apabila ada satu fakta sejarah, menuliskannya dengan dua versi yang berbeda bahkan bertentangan.
Nyai Badriyah mencontohkan, nama-nama seperti Laksamana Malahayati, Cut Nyak Dhien, Raden Dewi Sartika, RA Kartini, Tuanku Imam Bonjol, H.R. Rasuna Said, Christina Martha Tiahahu, dan lain-lain dalam sejarah nasional Indonesia mereka semua adalah sebagai pahlawan nasional karena kegigihannya melawan Belanda. Namun, bagi Belanda, nama-nama itu adalah pemberontak.
Penjajahan selama 3,5 abad pun, bahkan, memaknainya sebagai pemakmuran dan kebaikan Belanda kepada bumi putra yang menganggapnya sebagai terbelakang.
Jepang pun begitu. Perihnya penjajahan dan romusa yang begitu bangsa Indonesia rasakan tidak menganggapnya sebagai tindakan yang bertentangan dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Sebaliknya, mereka menganggap diri sebagai cahaya Asia dan saudara tua bangsa Indonesia.
Oleh karena itu, Nyai Badriyah mengingatkan jangan heran jika anak-anak Belanda dan Jepang saat ini tidak tahu kalau negerinya pernah menjadi penjajah Indonesia.
Semua itu karena sejarah yang tersampaikan kepada mereka adalah sejarah versi penguasa negerinya sendiri yang menjajah, bukan versi negeri yang terjajah. (Rul)