Mubadalah.id – Menjelang KUPI II yang dilaksanakan pada tanggal 24-25 November 2022 di Pesantren Hasyim Asy’ari Bangsri, Jepara Jawa tengah, diadakan pula Halaqah KUPI II di tiga Region; Indonesia Bagian Timur (Makassar), Indonesia Bagian Tengah (Yogyakarta), dan Indonesia Bagian Barat (Medan). Medan adalah kota terakhir yang menjadi tempat penyelenggaraan Halaqah.
Saya berkesempatan menjadi salah satu peserta yang mengikuti kegiatan Halaqah KUPI II di Medan. Rasa syukur menyelimuti hati karena setelah sekian lama akhirnya kota Medan mendapat amanah untuk menjadi salah satu kota yang menjadi saksi tempat berkumpulnya para ulama perempuan Medan dan sekitarnya.
Bagi saya ini adalah kesempatan emas karena secara langsung menjadi bagian dalam musyawarah keagamaan yang dilaksanakan oleh jaringan KUPI di seluruh Indonesia.
Pertemukan Para Ulama Perempuan
Halaqah KUPI II Medan mempertemukan ulama perempuan Indonesia dan sahabat ulama asal Medan dan sekitarnya. Kami duduk bersama membicarakan berbagai isu perempuan. Kemudian kami rumuskan menjadi draft yang akan diformat ke dalam musyawarah keagamaan.
Ibu Dr Nur Rofiah hadir sebagai mentor dalam Halaqah ini. Dengan mentor yang cukup tegas dan lugas dalam menyampaikan materi, Halaqah ini telah berhasil membuka jaringan KUPI di wilayah Sumatra. Di mana hal ini tertandai dengan antusiasme seluruh peserta yang hadir di acara ini.
Dalam kegiatan ini kami juga belajar bagaimana memandang ajaran Islam secara progresif, di mana hidup yang penuh maslahat adalah tujuan. KUPI hadir untuk menjadi wadah bagi siapa saja yang memiliki misi kebaikan, khususnya suara perempuan yang sering mengalami pembungkaman.
Refleksi KUPI
KUPI merefleksikan Islam yang sangat humanis, di mana kuasa pengetahuan Islam tidak hanya dimiliki oleh laki-laki, tetapi juga perempuan. Pemilihan tempat pendirian KUPI, yakni Pesantren Kebon Jambu di Cirebon menyampaikan pesan jelas tentang posisi perempuan di ruang publik Indonesia.
Berbeda dengan pola kepemimpinan budaya pesantren pada umumnya di Indonesia yang biasanya dipimpin oleh pemimpin muslim laki-laki yang dikenal dengan sebutan ‘kiai’, pesantren Kebon Jambu Cirebon ini dipimpin oleh seorang pemimpin perempuan, Nyai Hj. Masriah Amva. Kepemimpinannya menjadi penegasan simbolis sebagai ulama perempuan yang tidak hanya memiliki reputasi dan kredibilitas. Tetapi juga penerimaan konsep kesetaraan gender dalam budaya pesantren.
Sejumlah studi Islam menyebutkan bahwa isu-isu yang berkaitan dengan kesetaraan gender adalah masalah “pelik” yang komunitas Muslim hadapi. Di Indonesia sendiri, masalah gender, seksualitas, dan persoalan tubuh perempuan telah menjadi pertempuran arus utama di yang memunculkan persaingan wacana konservatif dan liberal dalam moralitas keagamaan.
Persoalan Ketimpangan Gender
Faktanya, persoalan gender di Negeri ini telah menunjukkan bahwa pentingnya itu kita bicarakan dalam pembahasan kenegaraan, agama, dan masyarakat. Jika kita telisik dari sejarah bahwa signifikasi peran perempuan muslim di Nusantara cukup besar, namun sering terabaikan, bahkan tepinggirkan.
Begitu pula yang terjadi dalam sejarah perkembangan Islam di Indonesia. Cerita bahkan penelitian tentang kiprah ulama perempuan di Indonesia sangat minim. Jika ada pun hanya terkait dengan peranan perempuan secara umum dalam organisasi seperti Aisyiah dan Muslimat saja.
Tidak heran, karena kuasa pengetahuan (termasuk sejarah dan agama) dipegang oleh laki-laki. Hal ini mengakibatkan adanya bias termasuk dlm menginterpretasikan teks-teks keagamaan. Ini adalah merupakan beban moril yang harus kita emban bersama. Karena Islam harusnya menjadi Rahmatan lil alamin bagi kita semua. Sehingga terciptalah kehidupan yang damai, berkeadilan dan berkesetaraan (kemaslahatan).
Misi Kemaslahatan
Dalam menjalankan misi kemaslahatan ini, ulama perempuan jarang memiliki wadah bahkan sering mengalami berbagai tantangan, seperti pengabaian, deligitmasi, bahkan kekerasan. Untuk itu, perlu kita lakukan berbagai upaya penguatan pengetahuan dan keahlian. Seperti jejaring antar ulama perempuan, afirmasi dan apresiasi kerja-kerja mereka. Kemudian pengokohan eksistensi secara kultural. Di sinilah KUPI mengambil peran.
Kesan yang saya dapatkan dari acara ini sangat luar biasa. Karena selama ini saya hanya mendengar informasi tentang KUPI dari sosial media saja. Melalui perhelatan ini, saya semakin mengenal KUPI yang ternyata hadir membawa misi keagamaan untuk berpihak membela kaum dhu’afa dan mustadh’afin (lemah dan dilemahkan).
Selain itu, untuk menebarkan nilai kebaikan dan menjadi rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil-alamien) sehingga tercipta kehidupan yang damai, berkeadilan, dan berkesetaraan. []