Mubadalah.id – Perempuan di pesantren tampaknya belum banyak dibicarakan secara lebih khusus. Bahkan Cliffort Geertz ketika mendeskripsikan pesantren, secara eksplisit hanya menyebutkan “siswa pria muda”.
Hal ini memperlihatkan bahwa pada masa awal, pesantren hanya dihuni oleh laki-laki, atau hanya laki-laki saja yang dapat kesempatan belajar di pesantren.
Hanya saja, perkembangan pesantren menunjukkan bahwa telah banyak perempuan yang belajar di pesantren.
Hal ini terbukti, misalnya dengan berdirinya pesantren khusus puteri seperti di Pesantren Hidayatul Mubtadiat Lirboyo Kediri, Pesantren Cukir dan Seblak di Jombang (keduanya di Jawa Timur), dan lain-lain.
Menurut Zamakhsyari, Ponpes perempuan telah berdiri sejak tahun 1910-an. Dari hasil penelitiannya di sejumlah pesantren, ia menyatakan bahwa jumlah santri perempuan sangat besar rata-rata sekitar 60% dari santri laki-laki.
Di Cukir Tebuireng Jombang misalnya jumlah santri putri yang tinggal di komplek Seblak dan Cukir, pada tahun 1978 ada 1100 orang. Seperti halnya santri-santri putera, santri perempuan juga berasal dari daerah-daerah yang jauh.
Greg Barton mencatat bahwa pada tahun 1917, KH. Bisri Syansuri, kakek Gus Dur dari Ibu dan Pendiri Jam’iyah Nahdlatul Ulama adalah kiai yang pertama mengenalkan kelas pertama puteri ke dunia pesantren.
Beliau sangat aktif dalam pergerakan nasional zaman perjuangan kemerdekaan.
Dalam proses dan sistem pelajaran, pengajaran kitab kuning berlaku secara adil, baik untuk santri laki-laki maupun santri perempuan.
Hampir tidak ada kurikulum yang khusus untuk perempuan. Semua kurikulum mengacu pada kitab-kitab kuning yang isinya berlaku umum, baik untuk laki-laki maupun untuk perempuan.*
*Sumber: tulisan karya M. Nuruzzaman dalam buku Kiai Husein Membela Perempuan.