Mubadalah.id – Sebelum menuliskan tentang pendidikan kader ulama perempuan yang pernah saya ikuti, terlebih dulu mengulas tentang Indonesia hari ini. Di samping berbudaya, masyarakat Indonesia juga terkenal beragama. Kedekatan masyarakat Indonesia dengan agama, baik itu secara ritual hingga spiritual menjadikan peran agama cukup krusial dalam tatanan kehidupan di Indonesia.
Utamanya, bagaimana pemahaman agama—istilah untuk produk hasil berpikir manusia dalam melihat teks agama—yang selanjutnya banyak diproduksi untuk menyertai kehidupan masyarakat. Tidak hanya menyertai dalam ibadah fisik, namun juga turut menyetir bagaimana paradigma yang meluas di masyarakat.
Satu di antaranya pemahaman keagamaan mengenai “perempuan”. Dibedakan, karena di dalamnya, tentu memiliki perbedaan dengan bagaimana pemahaman keagamaan seputar “laki-laki”. Hal ini terpengaruhi oleh berbedanya laki-laki dan perempuan dari segi biologis atau melalui alat kelamin dan fungsi reproduksi masing-masing. Karenanya, kebutuhan perempuan atas pemahaman keagamaan khususnya berkaitan dengan Fikih Ibadah perempuan menjadi hal yang terpisahkan sebagai satu pembahasan.
lebih jauh, dari perbedaan tersebut memunculkan pengalaman biologis perempuan yang eksklusif—hanya perempuan alami. Menstruasi, hamil, melahirkan, nifas dan menyusui, ke limanya berkolerasi dengan fungsi reproduksi perempuan yang hanya perempuan pahami sebagai subjek yang menjalani.
Pengalaman Sosiologis Perempuan
Selain itu, dari segi sosiologis, sebagian besar perempuan dengan label “perempuan” yang melekat kepadanya, seolah mutlak akan mengalami lima pengalaman. Perempuan mengalami stereotype, marginalisasi, subordinasi, stigmatisasi dan double burden. Lima pengalaman sosiologis ini dimotori oleh sistem patriarki yang menjalar dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Sistem ini merasuk ke dalam budaya yang hidup di masyarakat dan pemahaman keagamaan yang masyarakat yakini.
Ini sebabnya, dalam lingkup klasifikasi pembahasan ilmu Fikih, muncul istilah Fiqh al-nisa. Di mana perlunya kajian khusus yang menaungi perbincangan kebutuhan dan pengalaman biologis hingga sosiologis perempuan. Yang menjadi masalah adalah belum banyaknya pemahaman keagamaan yang menjadikan pengalaman perempuan sebagai salah satu pertimbangan hukum.
Jika mengambil sudut pandang Amina Wadud ketika menyatakan alasan banyaknya penafsiran Al-Qur’an yang bias gender, ini penyebabnya karena salah satunya karena male domination. Ketika kacamata laki-laki kita gunakan untuk memahami pengalaman perempuan, yang mana laki-laki tidak mengalami, maka pengalaman perempuan pun tidak terhadirkan di sana. Solusi yang kita hadirkan salah satunya adalah turut sertanya partisipasi dari perempuan dalam proses hingga produksi pemahaman keagamaan.
Ulama Perempuan dan Perempuan Ulama
Penyebutan label “ulama”, seringkali bersanding kepada individu yang memiliki kapabilitas dalam keilmuan agama. Baik itu yang kita kenal sebagai kiai desa atau lebih luasnya kiai kondang yang menghiasi layar kaca. Nyatanya, lingkup “ulama” tidak hanya mereka yang prolifik dalam bidang keagamaan, juga berlaku bagi seluruh disiplin keilmuan.
Di samping dari segi cakupan, “ulama” juga bermasalah dalam hal partisipasi jenis kelamin. Bidikan realitas menyajikan bagaimana panggung “ulama” terisi oleh kaum laki-laki. Baik itu sebagai praktisi keagamaan, hingga sarjana keagamaan yang memiliki otoritas. Mirisnya, dominasi ini berimbas kepada bagaimana pemahaman keagamaan yang tersebarkan secara masif kepada masyarakat juga literatur yang beredar. Di mana tentunya akan absen dari suara perempuan.
Selaras dengan pandangan Kiai Husein Muhammad, bahwa adanya pemisahan antara “ulama perempuan” dan “perempuan ulama”. Penggunaan “ulama perempuan” dapat kita gunakan bagi mereka yang memiliki kepedulian atas kondisi pemahaman seputar perempuan. Karenanya, termasuk juga ketika kaum laki-laki yang “berjihad intelektual” dalam dinamika kajian keperempuanan.
lain halnya dengan “perempuan ulama” yang lebih spesifik sebagai sebutan bagi para perempuan yang mahir dalam suatu bidang keilmuan. Mereka inilah yang terkubur oleh sejarah. Langkah progresif bahkan suara yang revolusioner, seolah tak dianggap hanya karena mereka perempuan, padahal kualitas intelektualitas dan spiritualitas mereka layak untuk kita akui secara profesional.
Pendidikan Kader Ulama Perempuan di Masjid Istiqlal
Angin segar mendatangi masyarakat Indonesia di akhir tahun 2021. Melalui kerjasama antara Badan Pengelola Masjid Istiqlal dengan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) di bawah Kementerian Keuangan, Institut PTIQ Jakarta dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, secara resmi dirilis Pendidikan Kader Ulama Perempuan. Menariknya, program pendidikan ini ditujukan sebagai wadah untuk melahirkan figur ulama perempuan.
Berangkat dari klasifikasi Kiai Husein di atas, jelas bahwa program ini tidak hanya hadir bagi perempuan. Namun, lebih inklusif menghadirkan suasana pemahaman keagamaan yang inklusif bagi perempuan dan kalangan rentan lainnya. Sebabnya, program ini terbuka bagi laki-laki maupun perempuan yang memiliki keinginan untuk menjadi bagian dari pemahaman keperempuanan-keislaman Indonesia yang lebih ekstensif.
Program serupa telah banyak yang melakukannya. Misalnya, Pendidikan Ulama Perempuan (PUP) yang Rahima gagas sejak tahun 2005. Menariknya, gagasan Program Pendidikan Kader Ulama Perempuan ini menjadi satu program beasiswa pendidikan jenjang Magister dan Doktoral dalam bidang Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, dan digandeng secara langsung oleh pemerintah—sebagaimana penyelenggara dan mitra yang telah saya sebutkan.
Saatnya kolaborasi tercipta. Sistem pengkaderan yang telah ada, kita harapkan dapat saling bekerja sama. Demi Indonesia sebagai kiblat produksi kajian keislaman-keperempuanan sepuluh hingga dua puluh tahun selanjutnya. Terlebih, menjadi cita-cita luhur bagaimana mimbar musala hingga masjid Ibukota (juga) terisi oleh para ulama perempuan dan perempuan ulama. Hingga, tidak terdengar lagi khutbah yang menghimbau “seorang istri harus selalu memenuhi ajakan suami, bahkan hingga sedang di atas punduk unta”. Semoga saja. []