Baru saja kita memperingati Hari Kartini, hari lahir pahlawan perempuan. Pada tanggal tersebut, kita banyak membaca kisah perannya, yang mana atas gerakan yang telah dia lakukan bisa berdampak besar pada semua perempuan di Indonesia hingga saat ini.
Namun, di tengah banyak tersebut rasanya akan sangat tidak adil jika kisahnya hanya dibaca dan disebarkan. Kita perlu merefleksi sejumlah isu perempuan yang masih selesai. Kita masih menemukan kebuntuan dalam menyelesaikan hal tersebut. Kehadiran Negara malah menjadi penghambat cita-cita yang diinginkan Kartini untuk perempuan di Indonesia.
Misalkan, pada bulan Februari lalu, kita dihebohkan dengan Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga (KK) yang menyeret kembali perempuan pada ruang domestik. Belum lagi, beberapa pasal yang tidak pro terhadap perempuan. Selanjutnya, sejumlah kekerasan terhadap perempuan masih sangat tinggi. Apalagi di tengah pandemic, sejumlah Negara sudah merilis angka kasus kekerasan pada perempuan selama masa pandemik.
Berdasarkan data dari Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyatakan terjadi kenaikan jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2019. Sepanjang tahun kemarin, terjadi 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan, meningkat enam persen dari tahun sebelumnya sebanyak 406.178 kasus. dari data tahun 2019, terjadi peningkatan kasus kekerasan terhadap anak perempuan (KTAP).
Kasus meningkat dari 1.417 pada tahun 2018 menjadi 2.341 kasus pada 2019, atau naik 65 persen. Kasus yang paling banyak terjadi adalah kasus inses dan ditambahkan dengan kasus kekerasan seksual, yakni sebanyak 571 kasus. Jumlah tersebut cukup mengejutkan dan tentunya perlu direspon oleh semua pihak.
Legislatif tidak perlu menimbang untung dan rugi bagi diri mereka sendiri. Angka kasus tersebut jika tidak direspon oleh kebijakan dan aturan, maka kasusnya akan semakin tinggi. Untuk itu, di tengah pandemic diperlukan kepekaan para legislatif untuk mengesahkan RUU PKS.
Sejumlah tempat kerja pun masih belum menerapkan cuti haid pada perempuan. Padahal, cuti haid ini menjadi hal yang dibutuhkan bagi pekerja perempuan. nyeri hari pertama akan sangat mengganggu. Pemerintah memang sudah menurunkan aturan tersebut dalam undang-undang, namun pada praktiknya masih belum diberlakukan terutama pada pekerja pabrik.
Isi dari sejumlah pasal yang disusun oleh para legislatif ini sangat berlawan dengan surat-surat Kartini yang sempat ditulis. Seakan para anggota legislatif perempuan tidak pernah membaca surat-surat tersebut. Dan, peringatan hari Kartini berjalan begitu saja tanpa punya makna. Angka kasus kekerasan perempuan semakin tinggi, sejumlah peraturan baru dianggap tidak pro terhadap perempuan.
Padahal melalui Instruksi Presiden No. 9 tahun 2000 tentang PengarusUtamaan Gender (PUG), Indonesia berkomitmen untuk mendorong tercapainya kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan secara menyeluruh. PUG telah melahirkan berbagai macam kebijakan yang mendorong senstiifitas gender baik dalam program maupun anggaran. []