Mubadalah.id – Asumsi superioritas laki-laki atas perempuan, dalam beberapa tafsir keagamaan, juga dilakukan dengan merujuk pada hadits shahih yang sangat terkenal, yang menyatakan: “Bahwa perempuan itu kurang akal dan kurang agama” (naqishat ‘aqlin waddin).
Teks pernyataan ini, sebagaimana dijelaskan oleh Abu Syuqqah, adalah penggalan dari teks yang sangat panjang yang mengisahkan suasana akrab antara Nabi Muhammad Saw dengan para perempuan pada suatu hari raya.
Dalam pandangan Abu Syuqqah, Nabi Muhammad Saw justru sedang memuji, atau setidaknya sedang bergurau dengan para perempuan.
Sebab, teks penuhnya bisa diartikan, kira-kira: “Saya kagum dengan para perempuan ini, (dianggap) hanya punya separuh akal dan agama. Tetapi sanggup mengalahkan laki-laki yang paling pintar dan teguh pendirian sekalipun.”
Ini tentu saja bukan pernyataan hukum, atau penetapan norma dan adagium, tetapi suatu metode komunikasi antara seorang tokoh, dalam hal ini Nabi Muhammad Saw, dengan para pengikutnya, yaitu dalam hal ini para sahabat perempuan Nabi Muhammad Saw.
Suatu metode memulai pembicaraan agar bisa masuk dalam substansi pesan yang ingin ia sampaikan kepada para pendengar.
Kitab Kaukab Siddique
Abu Syuqqah juga, seperti Kaukab Siddique, mengartikan “naqishat ‘aqlin” itu bukan “kurang akal”, tetapi “kurang berpikir” atau “kurang nalar”. Kekurangan ini terjadi karena struktur sosial tidak memberi kesempatan kepada perempuan untuk belajar dan berlatih berpikir.
Jika ada kesempatan, maka perempuan akan mampu berpikir secara baik. Sebagaimana laki-laki juga, jika tidak – belajar dan berlatih, akan kurang kemampuannya dalam berpikir.
Artinya, ungkapan ini bukan soal akal perempuan yang kurang dan rendah, melainkan soal kebiasaan berpikir yang bisa kurang dan bisa kuat, tergantung pada kesungguhannya dalam belajar dan latihan. Bukan tergantung pada jenis kelamin.
Sebagaimana pada kenyataannya, banyak perempuan yang lebih pintar dari laki-laki, jika ada kesempatan belajar. Dan tidak sedikit juga laki-laki yang jauh lebih bodoh dari perempuan.
Abu Syuqqah juga menegaskan bahwa “naqishat din” juga bukan berarti secara esensi perempuan adalah kurang agama. Ini hanya pernyataan simbolik dari kurangnya aktivitas perempuan terkait Shalat dan puasa, yang sering perempuan tinggalkan pada saat menstruasi. Seperti persis Nabi Muhammad Saw jelaskan.
Meninggalkan shalat dan puasa juga Islam perintahkan. Adalah aneh, seseorang yang Islam perintah untuk meninggalkan shalat dan puasa, pada saat yang sama kurang agama karena melaksanakan sesuatu yang ia perintahkan.
Jika persoalannya pada pahala dari aktivitas ibadah, seperti Abu Syuqqah tegaskan. Maka perempuan bisa melakukan banyak aktivitas lain untuk mengumpulkan pahala saat menstruasi. Baik aktivitas ibadah ritual, seperti dzikir dan baca doa, maupun ibadah sosial, seperti menolong orang lain. []