Mubadalah.id- Indonesia merupakan negara yang majemuk, terdiri dari berbagai suku, ras, agama dan adat budaya. Keberagaman merupakan fitrah, yang nilainya harus kita terima. Kerukunan umat beragama juga merupakan suatu tantangan sekaligus anugerah, tergantung bagaimana kita menyikapinya. Di beberapa daerah sering terjadi perpecahan karena perbedaan, entah perbedaan agama, suku, budaya maupun ras.
Salah satu penyebab terjadinya konflik ialah akibat lemahnya pemahaman dan pemaknaan masyarakat tentang sikap toleransi pada masyarakat plural. Misalnya terdapatnya perbedaan agama dan kepercayaan pada masyarakat menjadi salah satu penyebab terjadinya prasangka.
Rasa prasangka ini sangat sensitif akan mengakibatkan kesalahpahaman antar kelompok. Padahal, keberagaman merupakan inti dari kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Namun, tidak semua masyarakat Indonesia memiliki sikap intoleran, banyak dari masyarakat Indonesia yang hidup rukun beriringan di tengah beragamnya masyarakat. Salah satu contohnya yakni masyarakat Cigugur, Kuningan, Jawa Barat. Dalam masyarakat Cigugur terdapat kerukunan antar umat beragama.
Praktik Keagamaan
Dalam praktek kehidupan keagamaan, Cigugur merupakan suatu wilayah dengan jumlah pemeluk agama dan/atau kepercayaan yang beraneka ragam. Sebagian besar penduduk memeluk agama Islam (57,9%), Katolik (38,7%), Kristen (1,4%) dan aliran kepercayaan (1,9%). Ada beberapa warga yang memeluk agama Buddha dan Hindu walaupun sedikit.
Namun demikian, keberagaman yang ada pada masyarakatnya, kehidupan yang rukun dan damai tercipta oleh adanya karakter toleransi beragama yang sudah mendarah daging dalam jiwa setiap masyarakatnya. Perbedaan agama yang dimiliki warganya tidaklah menjadikan mereka hidup dalam ketegangan yang mampu menimbulkan sebuah konflik seperti konflik-konflik yang seringkali terjadi dewasa ini yang dilatarbelakangi oleh perbedaan agama.
Dari hal tersebut ada nilai-nilai tersembunyi yang jarang kita pahami sebagai anggota masyarakat yang beragam, berikut adalah pesan-pesan keberagaman yang bisa kita ambil dari masyarakat Cigugur:
Satu Keluarga, Namun Berbeda Agama
Sebagaimana yang telah saya uraikan di atas, bahwa masyarakat Cigugur hidup rukun tanpa perpecahan meskipun banyak sekali perbedaan. Kilas balik 5 tahun lalu saya pernah berkunjung di daerah Cigugur Kuningan, bahkan sempat menginap di rumah salah satu warga Cigugur. Kebetulan saya sedang melaksanakan kegiatan, saya bersama 3 kawan lainnya menginap di salah satu rumah yang sederhana namun menyejukkan.
Di dalam rumah itu terdapat foto yang terpampang di dinding ruang tamu, sekilas memang layaknya seperti foto keluarga biasanya. Namun uniknya, di dalam foto tersebut ada seorang lelaki yang mungkin suami dari perempuan pemilik rumah itu, memakai peci layaknya gambaran laki-laki muslim pada biasanya. Akan tetapi mata saya menerawang di sisi dinding lainnya, terdapat patung salib. Awalnya memang saya bersama kawan saya agak tercengang dan bertanya-tanya apa bisa satu keluarga berbeda agama?
Pagi harinya kami berkunjung ke rumah kawan lainnya yang menginap, tepat diseberang. Sembari makan siang kami sembari bercengkerama hangat, dan ketika kami bertanya soal bagaimana konsep beragama dalam keluarga di sini, ia menjawab “Kami membebaskan anak-anak kami untuk memilih agamanya sendiri, jadi sangat memungkinkan apabila dalam satu keluarga, namun agama kami berbeda,” Ucapnya.
Selepas ini kita benar-benar memahami bagaimana konsep saling menghargai, menerima, dan memberikan kemerdekaan yang penuh bagi setiap orang. Salah satunya kehendak memilih keyakinan mereka. Kebetulan acara yang waktu mereka usung memang bertema keberagaman. Pesertanya beragam, dari mulai penganut agam Khatolik, Kristen, Islam, Hindu, Budha bahkan kelompok penghayat seperti Sunda Wiwitan.
Nilai-Nilai Adat Pikukuh Tilu
Dalam masyarakat Cigugur tidak hanya diisi oleh beragam keyakinan beragama yang sudah Negara akui. Melainkan ada pula kelompok penghayat sebut saja Sunda Wiwitan. Salah satu kunci kerukunan umat beragama mereka perkuat dengan keyakinan nilai-nilai adat yakni Pikukuh Tilu.
Pikukuh tilu merupakan pedoman hidup masyarakat adat terkait dengan kehidupan yang baik melalui hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan Tuhan, dan manusia dengan alam. Adat Pikukuh Tilu adalah pedoman masyarakat Sunda Wiwitan Cigugur yang mengajarkan mengenai filosofi kehidupan manusia yang penuh dengan harmoni dan keselarasan.
Pikukuh Tilu sama dengan pedoman hidup orang islam yakni Hablum minallah, Hablum Minanaas, dan Hablum minal alam. Pada keyakinan hidup masyarakat Cigugur, menjaga kebebasan individu dalam beragama untuk menjaga keharmonisan dalam bermasyarakat, merupakan implementasi dari nilai menjalin hubungan baik sesama manusia.
Perihal penghormatan terhadap Tuhan, masing-masing rumah memasang simbolisasi agama di rumah meskipun berbeda. Selain itu di daerah tersebut terdapat tempat ibadah Gereja dan Masjid yang berdampingan. Dalam keyakinan masyarakat sunda wiwitan alam adalah penyeimbang dan penyelamat hidup kita. Penghormatan kita terhadap alam adalah suatu kewajiban. Karena jika alam rusak, maka kehidupan manusia akan tidak menentu.
Gotong Royong Masyarakat yang Masih Terjaga
Dalam adat tatar Sunda ada ciri atau penanda makam saja. Uniknya di daerah tersebut proses pembangunan makam hingga pemindahan batu penanda itu yang butuh waktu lama. Sehingga dalam prosesnya banyak melibatkan warga sekitar untuk gotong royong dalam pembangunan tersebut. Bangunan bakal makam tersebut berada di kawasan Curug Go’ong Desa Cisantana Kecamatan Cigugur Kabupaten Kuningan Jawa Barat.
Menurut Darman, penanggung jawab pembangunan bakal makam tokoh adat Sunda Wiwitan Cigugur mengatakan bahwa bangunan itu mereka siapkan untuk tokoh adat sepuh Sunda Wiwitan Cigugur. Yakni Pangeran Djatikusumah dan istri Ratu Emalia Wigarningsih.
Semangat gotong royong dan keberagaman sangat lekat dan sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka sehari-hari. Bahkan Darman mengatakan bahwa untuk mengangkut batu penanda membutuhkan waktu sekitar tiga bulan.
Potret kehidupan masyarakat yang sangat harmonis dan menjunjung tinggi pluralisme, serta kerukunan umat beragama inilah yang ditampilkan di Cigugur. Selain mengakui keberadaan hak yang sama pada agama lain, masyarakat Cigugur juga berupaya untuk memahami setiap perbedaan dan persamaan yang masing-masing penganut agama miliki. Hal ini terbukti dari adanya interaksi positif dalam lingkungan masyarakat di sekitar mereka. []