Mubadalah.id – Berbagai catatan sejarah peradaban manusia silam merekam pandangan, sikap, dan perilaku yang tidak manusiawi terhadap perempuan.
Peradaban Yunani yang dianggap sebagai sumber rasionalitas dan humanisme pada masa lalu juga tidak lepas dari pandangan dan perilaku misoginis.
Dalam tradisi Yunani, laki-laki boleh mengawini perempuan dalam jumlah tidak terbatas. Jika sudah dinikahi, perempuan menjadi miliki sepenuhnya laki-laki.
Sebagaimana diceritakan Laila Ahmad, bahkan filsuf besar Aristoteles berpandangan bahwa laki-laki adalah superior atas perempuan yang memang tidak memiliki akal yang cukup untuk mencerna dan memahami.
Peradaban yang lain seperti India, Tiongkok, dan Arab, saat itu, juga tidak jauh berbeda. Di berbagai belahan dunia, perempuan yang sekalipun memiliki jasa melahirkan. Tetapi ia selalu mereka hina, perlakukan kasar, tidak menganggapnya sebagai manusia yang bermartabat dan merendahkan derajatnya sekelas budak.
Masyarakat dunia saat itu masih bingung bagaimana memperlakukan perempuan, adakah jiwa kemanusiaan di dalamnya, apakah bisa berpikir layaknya manusia (laki-laki).
Apakah bisa berkembang akal dan budi mereka, mungkinkah mereka masuk surga kelak, dan berbagai pertanyaan filosofis yang ada di benak peradaban masa lalu.
Dalam kehidupan keluarga, hak milik penuh ada pada laki-laki. Perempuan tidak memiliki hak apa pun, tidak mewarisi.
Oleh beberapa penulis, deskripsi peradaban masa lalu ini sering jadi konteks sosial di mana Islam hadir untuk membebaskan dan memanusiakan perempuan.
Hadir Islam
Islam kita yakini telah melakukan revolusi peradaban secara radikal mengenai eksistensi perempuan. Dari yang awalnya sekadar benda dan barang pada tradisi masa lalu, dalam Islam perempuan menjadi manusia bermartabat.
Sebelumnya, perempuan hanya bisa mereka miliki dan menjadi warisan, lalu Islam memberikan hak kepada perempuan untuk memiliki harta kekayaan.
Islam memberi mereka hak waris atas harta yang kerabatnya tinggalkan. Perempuan tidak boleh kita paksa dalam pernikahan, memiliki hak untuk pasangannya gauli secara baik, memperoleh perlindungan rumah dan nafkah secara memadai, dan memiliki hak dalam perceraian.
Serta memiliki hak pengasuhan anak pasca-perceraian, dan perlindungan penuh pada tiga bulan pertama perceraian. Dengan melihat konteks sosial saat itu, sesuatu yang Islam bawa mengenai perempuan adalah sesuatu yang revolusioner.*
*Sumber: tulisan Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku Qiraah Mubadalah.