Mubadalah.id – Jika merujuk pandangan Dr. Faqihuddin Abdul Kodir tentang penggunaan perspektif dan metode mubadalah, maka kita harus memastikan bahwa teks-teks mengenai prinsip-prinsip dasar dan norma-norma umum menyapa laki-laki dan perempuan.
Termasuk sebagai anggota keluarga (suami, istri, anak, orang tua, atau saudara) maupun sebagai anggota masyarakat.
Seperti teks-teks tentang keimanan, amal shalih, keadilan, kemaslahatan, dan kerahmatan, ia menyapa laki-laki dan perempuan secara bersamaan. Teks-teks mengenai bersyukur dan bersabar, misalnya, menyasar perempuan maupun laki-laki.
Sehingga, dalam metode mubadalah tidak tepat jika hanya istri yang diminta bersyukur pada suami atau bersabar dari keterbatasan suami. Seharusnya, teks-teks juga menyasar laki-laki dan menuntut mereka untuk bersyukur dan bersabar dari pasangannya.
Begitu pun teksteks mengenai anjuran belajar, bekerja, berdakwah, beribadah, dan menyelesaikan problem-problem sosial masyarakat, semuanya menyasar laki-laki dan perempuan.
Setiap teks, pada dasarnya, bisa di -mubadalah-kan atau kita jadikan sebagai sesuatu yang menyasar laki-laki dan perempuan. Terutama, jika bisa ditemukan makna yang prinsip dari teks tersebut.
Tetapi, metode mubadalah juga memungkinkan adanya eksepsi-eksepsi (mustatsnayat). Untuk hal-hal bersifat biologis, misalnya, tidak menerima mubadalah. Seperti soal menstruasi, kehamilan, dan menyusui.
Hal-hal yang menyangkut akidah dan berita juga tidak menerima kerja-kerja mubadalah. Kecuali jika kita maknai mengenai hikmah di balik isu-isu akidah, berita, dan hal-hal biologis tersebut.*
*Sumber: tulisan Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku Qiraah Mubadalah.