Mubadalah.id – Bagaimana mengelola emosi, dan marah yang bijak ala Nabi Muhammad SAW? Sebelumnya mari membincang Islam di Indonesia populer dengan sikap lemah lembutnya, tidak ekstremis, tidak radikalis, dan lain sebagainya yang berkonotasi islam sebagai agama yang rahmatal lil alamin. Bahkan, dalam organisasi besar Nahdatul Ulama sikap toleransi (tasamuh) menjadi salah satu prinsip dasar dari tiga prinsip lainnya, yaitu moderat (tawassuth), seimbang (tawazun), dan adil (i’tidal).
Dengan penampilan wajah Islam yang sering seperti itu. Kemudian banyak muncul statement orang-orang tentang Islam yang kurang lebih demikian “Islam anti kekerasan, Islam anti sikap radikal, Rasulullah saja pemaaf, masak kamu tidak?”, dan statement-statement yang serupa. Hal itu tidaklah salah, karena islam memang senyatanya demikian. Namun, jikalau kita sampaikan pada situasi dan kondisi yang tidak tepat bisa kita pandang keliru juga.
Bahkan di antara mereka, ada yang memunculkan statement bahwa Rasulullah tidak pernah marah. Padahal jika mengaca kepada sejarah, Islam bisa berkembang salah satunya juga akibat peperangan atau ekspansi ke Negara lain.
Ketika Rasulullah Marah
Rasulullah pun terekam pernah marah dalam momen-momen tertentu, semisal tatkala Kisra kaisar Persia merobek surat utusan-Nya yang datang membawa misi ajakan untuk memeluk agama islam, juga semisal pada saat peristiwa pengepungan serta pengusiran Bani Qainuqa akibat melecehkan muslimah dan membunuh seorang muslim, dan lain sebagainya.
Hal ini wajar-wajar saja, karena marah adalah suatu kondisi manusiawi yang tidak seorang pun manusia tidak pernah melakukannya, termasuk Rasulullah. Karena pada sejatinya, marah merupakan emosi yang positif. Hanya saja, ia menjadi negatif tatkala tidak diekspresikan secara bijak (sesuai porsi dan proporsinya).
Dengan demikian, ekspresi marah tidak bisa manusia hindari. Melainkan hanya bisa dikendalikan dan digunakan secara bijak. Problemnya justru tidak terletak pada keburukan yang ditimbulkan oleh sifat marah, melainkan kapan, tujuan, dan dengan kadar seperti apakah seharusnya sikap marah diimplementasikan. Hal inilah yang sulit, sementara yang gampang bikin marah orang.
Lantas, seperti apakah marah yang bijak? Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita mengaca kepada Rasulullah, karena beliau adalah Uswah Hasanah untuk keseluruhan ummatnya.
Bentuk-bentuk Kemarahan Rasulullah
Wacana mengenai hal ini setidaknya akan menyebutkan beberapa poin penting yang akan kita bahas secara eksplisit maupun implisit. Di antaranya seperti kadar marahnya nabi, cara meluapkannya seperti apa. Semisal untuk kita kaji dengan tujuan mengambil pelajaran. Sehingga, jawaban mengenai pertanyaan bagaimana marah yang bijak ala Nabi Muhammad Saw bisa terjawab.
Secara umum, bentuk-bentuk kemarahan Rasulullah terbagi kepada dua macam yang penjelasannya bisa kita lihat sebagai berikut:
Pertama, emosi kemarahan beliau ekspresikan melalui raut wajahnya yang menunjukkan makna ketidaksenangan. Contohnya amatlah banyak, di antaranya sebagaimana Aisyah sampaikan dalam kitab Shahih Bukhari karangan Muhammad bin Isma’il Abu Abdullah al-Bukhari sebagai berikut:
عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَمَرَهُمْ أَمَرَهُمْ مِنَ الأَعْمَالِ بِمَا يُطِيقُونَ، قَالُوا: إِنَّا لَسْنَا كَهَيْئَتِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ اللَّهَ قَدْ غَفَرَ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ، فَيَغْضَبُ حَتَّى يُعْرَفَ الغَضَبُ فِي وَجْهِهِ، ثُمَّ يَقُولُ: إِنَّ أَتْقَاكُمْ وَأَعْلَمَكُمْ بِاللَّهِ أَنَا.
Dari Aisyah, dia berkata: Rasulullah Saw apabila memerintahkan mereka (para sahabat), beliau memerintahkannya dari perbuatan-perbuatan yang mereka mampui. Berkata (para sahabat): “sesungguhnya kami tidak seperti kondisimu ya Rasulullah, sesungguhnya allah sungguh telah mengampuni dosa-dosamu yang telah lampau dan yang akan datang. Maka, Rasul marah sampai-sampai diketahui kemarahannya pada ekspresi wajah beliau. Kemudian, berkata (Rasul): Sesungguhnya yang paling takwa dan yang paling mengetahui dari pada kalian adalah Aku.
Ekspresi Kemarahan Rasulullah
Kedua, emosi kemarahan beliau ekspresikan melalui sikap dan tutur kata. Hal ini bisa kita lihat ketika beliau berperang, mendengar informasi tentang orang-orang yang tidak memudahkan ajaran agama. Melihat kemunduran dan keterbelakangan Islam dari perkembangan zaman dan peradaban, dan lain sebagainya. Salah satu hadis mengenai hal ini adalah sebagaimana Aisyah riwayatkan dalam kitab Shahih Muslim karangan Imam Muslim berikut ini:
عن عائشة، قالت: “صنَع رسول الله – صلى الله عليه وسلم – أمرًا، فترخَّص فيه، فبلَغ ذلك ناسًا من أصحابه، فكأنهم كَرِهوه وتنزَّهوا عنه، فبلَغه ذلك، فقام خطيبًا، فقال: ((ما بال رجال بلَغهم عني أمر ترخَّصت فيه، فكَرِهوه وتنزَّهوا عنه، فوالله لأنا أعلمُهم بالله، وأشدُّهم له خشية))؛ رواه مسلم.
Dari ‘Aisyah ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan suatu keringanan pada salah satu perintah beliau. Lalu hal itu sampai kepada sebagian sahabatnya dan mereka pun seperti kurang suka dan berlepas dari dari hal itu. maka sampailah kabar mengenai sikap mereka itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sehingga beliau pun berdiri dan berkhutbah:
“Kenapa ada orang yang telah sampai kepada mereka suatu urusan dariku yang aku mendapatkan keringanan karenanya lalu mereka membencinya dan berlepas darinya?! Demi Allah, sungguh aku adalah orang yang lebih mengenal Allah dari pada mereka dan aku adalah orang yang paling takut kepada-Nya”. (H.R. Imam Muslim)
Berdasarkan keterangan di atas, dapat kita ketahui bahwa bentuk-bentuk kemarahan Rasul amatlah kompleks. Artinya, beliau bisa menjadi sangat tegas apabila dibutuhkan dan berada pada momen yang tepat. Sedangkan mengenai kadar dan cara mengekspresikannya tergantung pada besar dan kecilnya masalah yang beliau hadapi.
Faktor Pemicu Kemarahan Rasul
Rasulullah bukanlah tipe orang yang sedikit-sedikit marah. Beliau hanya akan marah tatkala agama Allah yang agung direndahkan, dihina, dan tidak dihormati. Rasulullah tidak akan marah hanya karena urusan pribadinya.
Keterangan ini sesuai dengan pernyataan Aisyah dalam kitab Shahih Bukhari karya Imam al-Bukhari berikut ini:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ عُقَيْلٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ مَا خُيِّرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ إِلَّا اخْتَارَ أَيْسَرَهُمَا مَا لَمْ يَأْثَمْ فَإِذَا كَانَ الْإِثْمُ كَانَ أَبْعَدَهُمَا مِنْهُ وَاللَّهِ مَا انْتَقَمَ لِنَفْسِهِ فِي شَيْءٍ يُؤْتَى إِلَيْهِ قَطُّ حَتَّى تُنْتَهَكَ حُرُمَاتُ اللَّهِ فَيَنْتَقِمُ لِلَّهِ.
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bukair telah menceritakan kepada kami Al Laits dari Uqail dari Ibnu Syihab dari Urwah dari Aisyah radliallahu ‘anha, mengatakan; “Rasulullah Saw tidak pernah diberi tawaran untuk memilih dua perkara, melainkan beliau memilih yang paling ringan selama tidak mengandung dosa, namun jika mengandung dosa, beliau adalah manusia yang paling jauh darinya. Demi Allah, beliau tidak pernah marah karena kepentingan pribadi, dan jika kehormatan Allah dilanggar, beliau marah karenanya.”
Akhiran, untuk bersikap bijak seseorang tak harus menunggu emosi marahnya muncul. Melainkan harus bijak dalam situasi dan kondisi apapun. Alasannya adalah lantaran agama islam merupakan ajaran yang mengusung paham moderat yang dalam istilah filsafat terkenal dengan sebutan bijaksana.
Kemarahan Rasulullah adalah sikap yang tidak mengandung unsur-unsur subjektif sama sekali. Rasul mengekspresikan kemarahannya secara objektif. Demikian, semoga manfaat dan bisa kita pahami. Wallahua’lam. []