Mubadalah.id – Di mana pun kita tinggal dan menjalani hidup, tidak akan bisa terlepas dari kehidupandan berkah bertetangga. Baik apakah di perumahan, kampung, apartement, rusun, asrama, mess, dan berbagai macam tempat tinggal lainnya. Kita sadari maupun tidak, mau ataupun tidak, selanjutnya dalam kehidupan kita, tetangga juga menjadi bagian dari orang terdekat kita. Mereka dalam suatu kondisi mendesak, bisa menjadi orang yang sangat penting untuk keselamatan kita dan keluarga, bahkan melebihi saudara. Karena itulah, penting menjalin hubungan bertetangga dengan baik, penuh rahmah, dan bijaksana.
Ibarat istilah tangga di sebuah rumah, bisa berfungsi untuk naik ke atas dan turun ke bawah. Demikian halnya bagaimana kita menjalin hubungan bertetangga, bisa berfungsi untuk menaikkan derajat kita sebagai manusia di tengah-tengah manusia lain dan di hadapan Allah SWT, sekaligus juga bisa menjatuhkan kita dan tergelincir di mata manusia dan di hadapan Tuhan Yang Maha Esa.
Tentu menjadi harapan kita semua, mampu menjadikan kehidupan dari berkah bertetangga berfungsi sebagai tangga yang menaikkan derajat kita. Baik untuk di dunia maupun di akhirat kelak di hadapan Allah SWT. Lantas yang menjadi pertanyaan, bagaimana caranya? Namun sebelum menjawab pertanyaan tersebut, mari kita telusuri makna tetangga dan sebagai pranata sosial kita dalam kehidupan bernegera di Indonesia.
Menilik Arti Tetangga dari Bahasa
Kata tetangga memang unik. id.qoura.com mengulasnya dalam Bahasa Indonesia yakni “tetangga”. Asalnya merujuk kepada (orang yang tinggal di rumah dengan) tangga. Selanjutnya berkembang, tetangga bermakna sebagai orang-orang yang tinggal berdekatan. Kata “te”, bukan bentuk jamak seperti “tetamu”, atau “lelaki” dengan bentuk ulangan suku awal dari suatu kata asal laki-laki. Kata asal tangga, bila dihubungkan dengan kata lain, juga akan memiliki bentuk lainnya, seperti tangga nada, tangga sosial, tangga karir, tangga berjalan, dan lainnya. Tetapi, tangga lebih dekat pada arti “tumpuan untuk naik turun, juga pada tingkatan”.
Dalam bahasa Jawa padanan kata “tetangga” adalah tonggo. Kata “tonggo” sendiri dalam bahasa Jawa selain berarti tetangga, juga bermakna “tangga”, sebagai alat untuk naik dan turun. Meski penulis belum menemukan rujukan mengenai kata tangga merupakan serapan dari bahasa Jawa. Namun hal itu turut memperkuat filosofi arti penting dari sebuah tangga untuk bertetangga. Yakni, bisa untuk menjadi alat untuk naik ke atas, atau pun turun ke bawah.
Dalam Pranata Pemerintah
Bangsa Indonesia memiliki budaya sangat luhur dalam hal bertetangga. Di buku P.J Suwarno, Dari Azazyookai dan Tonarigumi ke Rukun Kampung dan Rukun Tetangga di Yogyakarta (1942-1989): Sebuah Tinjauan Historis, dijelaskan bahwa, jauh sebelum Jepang hadir di Nusantara telah terdapat perkumpulan atau paguyuban sosial seperti sinoman, pralenan dan sebagainya. Yakni dengan budaya kerukunan, kesetiaan kepada atasan atau raja, serta sifat kegotongroyongan. Hal itu bisa menjadi gambaran bagaimana budaya dalam bertetangga di Indonesia yang sudah ada sebelum merdeka.
Adapun selanjutnya setelah merdeka dalam pranata pemerintahan juga dibentuk Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) sebagai bagian dari Lembaga Kemasyarakatan Desa. Di mana banyak literatur yang menyebut terinspirasi dari sistem pemerintah Jepang, Tonarigumi dan Azazyookai.
Namun yang menarik dari penamaannya, ada kata “rukun” yang dalam KBBI artinya sebagai “baik dan damai; tidak bertengkar (tentang pertalian persahabatan dan sebagainya)”. Bisa kita artikan, itu juga mengisyaratkan bagaimana dalam pemerintahan kita, dalam bertetangga dan menjadi warga. Harapannya senantiasa baik dan hidup damai bersama-sama dalam bersisian.
Dalam pemerintahan selanjutnya juga terbentuk payung hukum yang mengatur tentang RT dan RW tersebut. Yaitu Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 18 Tahun 2018 tentang Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Lembaga Adat Desa, sebagai wujud perhatian bagaimana menciptakan kerukunan bertetangga yang merupakan bagian dari warga negara.
Meski ironinya, masih ada sempat mencuat di media pemberitaan tentang ketidakharmonisan dalam bertetangga, hingga membuat tembok tinggi dan menghalangi akses jalan tetangganya. Ada juga kasus meninggalnya satu keluarga, yang baru mereka ketahui setelah berhari-hari di tengarai karena kelaparan. Di mana secara tidak langsung menggambarkan masih ada sebagian masyarakat dalam bertetangga belum tercipta kedekatan emosional antar tetangga dan budaya saling tolong menolong.
Kedudukan Tetangga dalam Islam
Dalam pandangan Islam tetangga memiliki posisi sangat penting bagi seorang muslim. Allah SWT berfirman, “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (QS. An Nisa: 36).
Berdasarkan ayat di atas dapat kita pahami bahwa, kewajiban berbuat baik kepada tetangga memiliki tempat dan perhatian yang tinggi dalam syariat Islam. Di mana perintah kewajiban berbuat baik kepada tetangga kita sebut secara berurutan dengan perintah menyembah Allah dan larangan untuk menyekutukan-Nya. Hal itu secara tidak langsung juga sekaligus bisa kita maknai betapa penting posisi tetangga dalam Islam.
Nabi Muhammad SAW bersabda, “Demi Allah, tidak sempurna imannya, demi Allah tidak sempurna imannya, demi Allah tidak sempurna imannya.” Rasulullah SAW ditanya, “Siapa yang tidak sempurna imannya wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Seseorang yang tetangganya tidak merasa aman atas kejahatannya.” (HR. Bukhari). Di kesempatan lain, Rasulullah SAW juga bersabda, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah menyakiti tetangganya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Kedua hadis tersebut sekaligus turut meneguhkan posisi tetangga dalam pandangan Islam. Di mana kualitas keimanan seseorang, salah satu tolak ukurnya adalah sejauh mana ia mampu membuat tetangganya aman dan tidak menyakitinya. Bahkan dalam riwayat lain, Rasulullah SAW bersabda, “Tidak masuk surga seseorang yang tetangganya tidak merasa aman dari kejahatannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Lantas, siapakah yang kita sebut sebagai tetangga menurut Islam? Banyak ulama berpendapat, batasan tetangga adalah semua orang yang menempati 40 rumah dari semua penjuru arah rumah kita. Baik arah barat, utara, timur, maupun selatan. Sebagaimana dalam Mughni al-Muhtâj (4/95) Imam Syafi’i menjelaskan, “Tetangga itu adalah 40 rumah dari semua arah.” Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Auza’i pun berpandangan sama dengan Imam Syafi’i.
Kesalingan Bertetangga dalam Kebaikan
Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik teman di sisi Allah adalah orang yang paling baik di antara mereka terhadap temannya. Dan sebaik-baik tetangga di sisi Allah adalah orang yang paling baik di antara mereka terhadap tetangganya.” (HR. Tirmidzi).
Dalam Islam selanjutnya dijelaskan bagaimana untuk menjadi seorang tetangga yang baik. Rasulullah SAW bersabda kepada Abu Dzarr, “Wahai Abu Dzarr, apabila engkau memasak maraqah (sayur), maka perbanyaklah kuahnya dan bagikanlah kepada tetangga-tetanggamu.” (HR. Muslim dan Ad-Darimi).
Dalam kesempatan lain Rasulullah SAW juga bersabda, “Wahai para istri kaum Muslimin, jangan sampai seorang tetangga meremehkan (pemberian) tetangganya, meski hanya berupa kaki kambing.” (HR. Bukhari dan Muslim). Dari kedua hadits tersebut dalam bertetangga dianjurkan untuk saling berbagi dan saling menghargai atas pemberian tetangga, apa pun pemberiannya sebagai bentuk penghormatan.
Imam Al-Ghazali dalam Majmû’ah Rasâil al-Imam al-Ghazâli menjelaskan bahwa, “Adab bertetangga, yakni mendahului berucap salam, tidak lama-lama berbicara, tidak banyak bertanya, menjenguk yang sakit, berbela sungkawa kepada yang tertimpa musibah, ikut bergembira atas kegembiraannya, berbicara dengan lembut kepada anak tetangga dan pembantunya, memaafkan kesalahan ucap, menegur secara halus ketika berbuat kesalahan, menundukkan mata dari memandang istrinya, memberikan pertolongan ketika diperlukan, tidak terus-menerus memandang pembantu perempuannya.”
Bahwasanya inti dari bertetangga yang baik dalam Islam bisa kita simpulkan, adalah menekankan kesalingan dalam menghargai, tolong-menolong dan menjaga keharmonisan. Tidak beradu dalam hal paling dari diri dan keluarganya, baik paling dalam kekayaan, tingginya jabatan, pendidikan, status sosial, dan paling-paling lainnya. Di mana hal ini akan bisa memicu kesenjangan, jarak, dan perselisihan.
Namun Islam mengajarkan untuk saling dalam menjadikan tetangga sebagai tangga untuk menaikkan keimanan, amal saleh, dan kebaikan sosial lainnya, yang akan membawa kemaslahatan, kerahmatan, keadilan, dan keberkahan dalam bertetangga. Yang selanjutnya bisa mengantarkan kepada tangga kemuliaan di sisi Allah SWT, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Wallahu a’lam bish-shawab. []