Mubadalah.id – Beberapa hari yang lalu, tepatnya Selasa dan Rabu, 14-15 Februari 2023, saya mengikuti kegiatan Workshop Kepemimpinan Perempuan yang Fahmina Insitute gelar di Kota Cirebon. Adapun fasilitator dalam kegiatan ini adalah Mbak Desti dan Mbak Niken dari Jaringan We Lead. Sebelum masuk dalam sesi materi, kami para peserta diajak berbagi pengalaman pribadi, dengan dua pertanyaan kunci.
Pertama, apa yang paling membuat kita sebagai perempuan tidak berdaya? Kapan hal itu terjadi? Dan kedua, apa yang membuat kita sebagai perempuan merasa berdaya? Dan, kapan saat perasaan itu hadir?
Masing-masing peserta menceritakan pengalamannya dalam momentum yang kami semua sebut sebagai ruang aman. Dalam pengertian ruang aman ini, sesuatu yang juga baru saya pahami adalah tidak ada bahasa yang baku untuk menyebut ruang aman.
Tidak ada indikator yang menetapkan bahwa tempat itu bisa kita jadikan sebagai ruang aman. Karena perasaan aman itu berangkat dari hati, dan rasa percaya pada orang yang ingin kita bagikan cerita. Di mana ruang aman ini, tak bisa kita rasionalisasikan dengan bahasa yang logis sekalipun.
Karakter Kepemimpinan
Setelah melewati proses saling bertukar cerita dan mendengarkan di ruang aman itu, kami beranjak pada pembahasan tentang karakter kepemimpinan yang selama ini kita pahami. Setiap peserta diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya. Ini daftar karakter kepemimpinan yang terhimpun dari masukan para peserta. Antara lain, dominatif, otoriter, one man show, tegas, dan cenderung menggunakan kekerasan verbal. Seperti membentak atau marah-marah.
Selama ini di dalam alam bawah sadar kita, karena terbiasa melihat gaya kepemimpinan laki-laki, atau pemimpin yang kita lihat dan amati adalah laki-laki, maka yang muncul adalah daftar di atas tadi. Bahkan ketika perempuan menduduki posisi strategis sebagai pemimpin, gaya memimpinnya meniru laki-laki, sehingga abai dengan kondisi khas pengalaman perempuan.
Contoh dari pengabaian itu adalah misalkan tidak peduli pada perempuan yang sedang menstruasi. Di mana ketika setiap awal masa itu tiba, perempuan kerap mengalami kesakitan, sehingga membuatnya lamban bekerja. Atau tidak menyediakan ruang laktasi bagi ibu menyusui. Dan sederet contoh lainnya. Menurut mbak Desti, hal itu terjadi sebab role model karakter kepemimpinan yang seringkali kita lihat dan amati adalah gaya dari pemimpin laki-laki.
Membangun Karakter Kepemimpinan
Sampai hari ini, gaya kepemimpinan laki-laki tidak banyak menyelesaikan persoalan sosial di sekitar kita. Sebaliknya, kelompok rentan semakin jauh terpinggirkan. Dan suara perempuan seringkali tak terdengar. Dunia dan seisinya hanya milik laki-laki, dan semua tentang kehidupan laki-laki. Kepentingan dan kebutuhan perempuan dianggap angin lalu saja. Dianggap tidak ada. Tidak penting, dan tidak menjadi prioritas utama.
Dengan segala bentuk ketimpangan tersebut, gaya kepemimpinan laki-laki di atas tadi akan mengancam kehidupan kemanusiaan kita. Malah bisa jadi pada akhirnya perempuan semakin enggan untuk masuk ke ruang publik. Lebih memilih sepi dalam ruang sunyi kehidupannya. Hak-hak perempuan yang seharusnya diperjuangkan bersama menjadi hilang, tak ada jejak yang tersisa.
Menyadari kondisi ini, sudah saatnya kita membangun karakter kepemimpinan perempuan yang berangkat dari kebutuhan, dan pengalaman perempuan sendiri. Melalui sesi diskusi bersama para peserta yang terbagi dalam empat kelompok, untuk mencari dan menyusun karakter kepemimpinan perempuan, Mbak Desti membuat daftar kesimpulan delapan karakter pemimpin perempuan.
8 Karakter Kepemimpinan Perempuan
Pertama, kepemimpinan perempuan bersifat kolektif. Berbagi tugas dan peran sesuai dengan tugasnya masing-masing. Bisa pula dengan saling bersinergi dan berkolaborasi. Kata kunci dari sifat kepemimpinan ini adalah musyawarah. Artinya, keputusan apapun yang menjadi tanggung jawab seorang pemimpin dimusyawarakan dengan orang-orang di sekitarnya.
Kedua, egaliter atau setara. Posisi dan jabatan hanya soal identitas nama, sebagai ketua, sekretaris atau bendahara. Pada hakikatnnya dalam hierarki jabatan itu adalah sama jua, yang memegang amanat menjalankan roda kepemimpinan dengan sebaik-baiknya.
Ketiga, inklusif. Yakni memahami setiap kebutuhan orang sesuai dengan latar belakang. Keempat, mendengarkan. Dalam penjelasan Mbak Desti, sifat mau mendengarkan ini adalah karakter asli dari kepemimpinan perempuan. Terutama ketika bersedia mendengarkan pengalaman khas perempuan, yang tentu berbeda-beda pada setiap diri perempuan.
Kelima, ada keberpihakan pada kelompok rentan dan marjinal. Terutama bagi mereka yang terpinggirkan dan minoritas tertentu dalam lingkungan tertentu. Sikap seorang pemimpin yang adil dan berpihak pada kepentingan kelompok marjinal ini sangat penting artinya.
Konsisten, Ada Kaderisasi dan Terbuka
Keenam, konsisten. Salah satu yang seringkali dilanggar oleh para pemimpin adalah soal konsistensi ini. Di mana janji-janji kampanye saat mencalonkan diri tidak terealisasi. Sebaliknya, para pemimpin acap kali mengkhianati janji-janjinya sendiri, dan pura-pura lupa, amnesia atau hilang ingatan dengan janji yang sudah pernah terucapkan. Artinya, seorang pemimpin punya sikap antara perkataan dan perbuatan itu harus selaras.
Ketujuh, kaderisasi. Terkait point ini juga, biasanya para pemimpin yang sudah menempati posisi strategis dan memegang kekuasaan tidak mau bergantian peran. Seakan jabatan itu abadi hanya untuknya saja. Artinya ia hanya memikirkan dirinya sendiri, dan tak berpikir bahwa memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan itu butuh nafas panjang dan berkelanjutan. Tak bisa sendirian, dan mustahil selamanya akan sendiri.
Kedelapan, terbuka menerima masukan dan kritik dari orang lain. Atau dalam bahasa latinnya “Critica Amorosa.” Yakni mengkritik dengan rasa cinta, tanpa bermaksud menghujat, menghakimi atau bernada kecaman. Mengkritik dengan bahasa santun, dan untuk kebaikan bersama, niscaya akan berbuah kebaikan juga bagi semua.
Inilah delapan karakter kepemimpinan perempuan yang berhasil kami susun bersama para peserta workshop dan Mbak Desti sebagai fasilitator. Usai mengikuti workshop tersebut, kami pulang kembali ke komunitas masing-masing untuk mempraktikkan delapan karakter di atas. Harapannya, ketika semakin banyak pemimpin perempuan yang terlatih dan memahami persoalan perempuan serta kelompok marjinal, maka kehidupan masyarakat ke depan akan menjadi lebih baik lagi. Yakni untuk membangun peradaban kemanusiaan yang berkeadilan. []