Mubadalah.Id– Berikut ini berbagi peran suami dan istri di era kekinian. Berbagi peran suami dan istri seyogianya merupakan hal yang menarik untuk dibahas.
Nafkah adalah sesuatu yang dinafkahkan, dan bentuk jamak dari kata nafaqah adalah nifaaq, suatu kata yang biasa dipakai untuk sesuatu yang kamu belanjakan baik itu berupa makanan, sandang, tempat tinggal atau lainnya untuk dirimu sendiri atau orang lain.
Syari’at islam telah mengatur hak-hak dan kewajiban bagi setiap pasangan suami istri terhadap pasangannya. Seluruh ulama fikih dari berbagai madzhab yang berbeda telah sepakat bahwa sebab-sebab yang mewajibkan nafkah ada tiga: istri, kerabat dan harta milik. Nafkah wajib diberikan oleh suami kepada istrinya.
Nafkah wajib diberikan kepada saudara dekat yang membutuhkan bantuan dari saudaranya yang mampu. Dan nafkah wajib diberikan sang majikan kepada budaknya.
Nafkah istri yang dimaksudkan disini adalah tuntutan terhadap suami karena perintah syari’at untuk istrinya yang berupa makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, ranjang, pelayanan dan yang lainnya, selama masih dalam lingkaran kaidah-kaidah syari’at.
Oleh karena itu, nafkah wajib atas suami meskipun istrinya kaya raya. Landasan kewajiban ini adalah nash al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan dalil akal. Sudah sepantasnya seorang suami berusaha sekuat tenaga dalam mencari nafkah untuk istri. Meskipun jalan yang harus dilewati cukup sulit. Selama yang diusahakan itu halal maka dengan kondisi apapun tetap harus diusahakan.
Lalu bagaimana jika suami bermasalah dalam urusan kepemimpinannya di rumah tangga? Tidak mampu bekerja? Atau bahkan tidak mau bekerja dengan sengaja? Tidak punya penghasilan? Tidak menafkahi istri dengan sebenarnya dalam artian kurang?
Dalam kondisi seperti itulah, seorang istri tentu tidak akan diam dan berpangku tangan. Tidak sedikit di luaran sana seorang istri yang bekerja, menjadi tulang punggung dan mencari nafkah, yang dilakukan karena berbagai alasan berbeda-beda. Tapi mengapa lagi-lagi istrilah yang disalahkan jika ia mengambil alih tugas, dianggap istri yang durhaka, dipandang miring, dan dicemooh dilingkungan masyarakat.
Padahal kalau ia diam saja, rumah tangganya, anak, suami bahkan dirinya sendiri bagaimana nasibnya, mau makan apa? Pertanyaannya, apakah betul seorang istri tidak boleh turut menafkahi dalam rumah tangga? Sehingga ketika ada seorang istri yang menafkahi keluarga hukumnya haram?
Syekh Yusuf Qaradhawi mengatakan jika hukum seorang perempuan yang bekerja adalah diperbolehkan dan bisa menjadi sunnah atau wajib apabila perempuan tersebut memang menbutuhkan seperti ketika ia menjadi janda dan tidak ada yang bisa menanggung kebutuhan ekonominya. Meskipun perempuan yang bekerja dan menafkahi suami diperbolehkan, akan tetapi ada beberapa syarat yang wajib untuk dipenuhi yaitu tidak boleh melanggar sumber syari’at islam seperti bekerja di bar.
Sebenarnya istri yang mencari nafkah sudah ada sejak masa Nabi Muhammad SAW, yakni istri dari sahabat Rasulullah bernama Zainab ats Tsaqafiyyah yang merupakan perempuan tangguh dan memiliki bisnis sebagai pengrajin.
Meskipun istri diperbolehkan bekerja, bukan berarti menjadi alasan seorang suami terbebas dari kewajiban memberi nafkah. Karena nafkah dari seorang suami merupakan hak yang harus didapatkan seorang istri. Mengapa tidak dalam kehidupan berumah tangga dibangun relasi yang seimbang antara suami dan istri guna mencapai prinsip kepercayaan dan kesadaran.
Sehingga jikalau kebutuhan keluarga tidak mencukupi maka suami dan istri saling bekerjasama membangun ekonomi rumah tangganya. Nah, jika tanggung jawab mencari nafkah bisa ditanggung bersama, maka pekerjaan dalam ranah domestik juga bukan hanya menjadi tanggungan seorang istri saja.
Mengapa tidak, laki-laki juga turut serta berperan dalam mengurus domestik. Karena, bukan suatu kesalahan apabila suami turut membantu mengurus rumah tangga seperti memasak, mencuci, menyetrika dan mengurus anak, karena itu adalah taggung jawab bersama.
Oleh karena itu, kewajiban mencari nafkah dan mengurus berbagai urusan pekerjaan rumah dapat disepakati bersama antara suami dan istri. Bahkan Rasulullah SAW pun biasa melakukan pekerjaan rumahnya sendiri tanpa membebani istrinya.
Menurut Aisyah, seperti yang diriwayatkan Bukhari, Nabi juga menyibukkan diri dalam pekerjaan rumah tangga. Misalnya menjahit baju yang sobek, menyapu lantai, memerah susu kambing, belanja ke pasar, membetulkan sepatu dan kantung air yang rusak, memberi makan hewannya.
Bahkan Rasulullah pernah memasak tepung bersama-sama dengan pelayannya. Dalam kehidupan berumah tangga, suami dan istri itu sama mempunyai hak dan kewajiban masing-masing yang harus dijaga untuk saling mencintai, menghargai, menghormati dan menggayomi satu sama lain demi terwujudnya kebahagiaan dan keharmonisan rumah tangga, hingga terciptanya keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah.[]