Mubadalah.id – Pendirian Imam Malik menghargai tradisi lokal Madinah tersebut terus dipertahankan meski banyak ulama yang menentangnya dan meski harus berhadapan dengan penguasa.
Pada suatu saat, Khalifah Abbasiyah: Abu Ja’far Al-Manshur, memintanya agar kitab Muwattha yang menghimpun hadits-hadits Nabi karyanya dijadikan sumber hukum positif yang akan diberlakukan di seluruh wilayah Islam. Imam Malik menolak.
Katanya, Anda tahu bahwa para sahabat Nabi berbeda-beda pandangannya dan mereka telah berpencar di ke berbagai negeri.
Jawaban Imam Malik di atas memperlihatkan kepada kita di samping keluasan dan kedalaman pikirannya sekaligus juga menunjukkan kerendahan hatinya.
Ia sangat paham bahwa di berbagai wilayah negeri ini telah berkembang berbagai tradisi hukum yang berbeda-beda. Mereka memperolehnya dari para sahabat-sahabat Nabi.
Pandangan para sahabat Nabi tersebut tentu berdasarkan pada informasi yang ia peroleh dari Nabi. Mereka memahaminya secara berbeda karena berbagai sebab. Imam Malik menghormati semuanya.
Atas dasar itu, masyarakat berhak memilih dan tidak bisa boleh kita paksakan mengikuti satu pendapat dan tidak ada seorang pun yang berhak mengklaim kebenarannya sendiri seraya menyalahkan orang lain.
Imam Malik maupun tokoh pendiri aliran hukum (mazhab) yang lain seperti Abu Hanifah, Idris Asy-Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal sama-sama menolak absolutisme kebenaran pemikiran. Mereka mengatakan,
“Pikiran dan pendapat saya adalah benar, tetapi selalu mengandung kemungkinan salah. Sebaliknya, pikiran dan pendapat orang lain keliru, tetapi selalu mengandung kemungkinan benar.”*
*Sumber: tulisan KH. Husein Muhammad dalam buku Islam dan Toleransi.