Pembahasan mengenai RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (kemudian disingkat RUU PKS) kembali naik daun diperbincangkan. Bagaimana tidak, RUU PKS dicabut dari Prolegnas prioritas 2020 karena alasan pandemi Covid-19 membuat DPR tidak memungkinkan membahas semua RUU yang berstatus sebagai Prolegnas Prioritas. Jadilah ada penarikan 16 RUU dari prolegnas 2020.
Penarikan 16 RUU dari Prolegnas 2020 disepakati pada tanggal Kamis, 2 Juli 2020 dan RUU PKS adalah salah satu dari 16 RUU yang ditarik dari Prolegnas Priorotas. Kendati RUU PKS sudah diajukan sejak tahun 2016, dan di tahun 2020 ini harus kembali mangkrak pembahasannya dengan alasan “sulit dibahas.”
Supratman Andi Agtas, Ketua Badan Legislasi DPR menyampaikan, sekalipun RUU itu ada yang ditarik atau dikeluarkan dalam prolegnas, nanti masih bisa diusulkan lagi di dalam Prolegnas 2021. Kalau dipaksakan dan kemungkinan RUU tidak selesai dibahas tahun ini.
Penarikan RUU PKS dari Prolegnas 2020 menjadi hal yang amat menyedihkan dan tentunya mendapat protes dari berbagai pihak. Pasalnya Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat dalam Catatan Tahunan yang rutin dilucurkan setiap tahun, jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2019 yaitu sebanyak 431.471 kasus. Angka tersebut meningkat tajam hampir 800 persen sejak tahun 2008 yaitu sebanyak 54.425 kasus.
Sebelum penarikan RUU PKS dari Prolegnas di tahun 2020, RUU PKS sempat dituding dan diprotes oleh berbagai pihak sebagai RUU pro zina. Penolakan ini sampai-sampai terbit petisi penolakan dengan dalih pro zina tersebut. Padahal jika dibaca dengan seksama, isi dari RUU PKS diantaranya adalah hak atas penanganan, hak atas perlindungan, dan hak atas pemulihan.
Sebagaimana tertulis dalam Pasal 3 RUU PKS tercatat bahwa Penghapusan Kekerasan Seksual bertujuan untuk mencegah segala bentuk Kekerasan Seksual; menangani, melindungi dan memulihkan Korban; menindaklanjuti pelaku; dan mewujudkan lingkungan bebas Kekerasan Seksual. Kok malah dituding RUU pro zina?
Tujuan utama dari RUU PKS, jika dilihat berdasarkan perspektif Islam, sama sekali tidak bertentangan dengan hadis-hadis Nabi Muhammad Saw. mengenai perintah-perintahnya agar tidak melakukan tindakan kekerasan dan juga pelecehan. Seperti hadis berikut yang diriwayatkan oleh Turmudzi: “Ingatlah, aku berpesan: agar kalian berbuat baik terhadap perempuan karena mereka sering menjadi sasaran pelecehan di antara kalian. Padahal sedikit pun kalian tidak berhak memperlakukan mereka, kecuali untuk kebaikan itu. (H.R at-Turmudzi).
Dalam hadis ini, Nabi Saw. sudah memperingatkan untuk senantiasa melakukan kebaikan-kebaikan terlebih kepada perempuan karena perempuan sering menjadi sasaran pelecehan. Ini jelas sebagai sebuah hadis yang tujuannya memperingatkan kita agar selain berlaku baik juga tidak boleh melakukan pelecehan terhadap perempuan.
Selain itu, pernyataan dan pengakuan dari Umar bin Khattab ra, mengenai Islam yang ternyata juga memberikan hak-hak yang sama antara laki-laki dan perempuan. Hal ini adalah hal baru yang tidak ada dan tidak dimiliki sebelumnya oleh kaum perempuan pada masa Jahiliyah. Bunyi hadisnya adalah sebagai berikut:
Dari Ibn Abbas ra, berkata: Umar ibn Khattab ra berkata: “Dulu kami, pada masa Jahiliyah, tidak memperhitungkan perempuan sama sekali. Kemudian ketika Islam turun dan Allah mengakui mereka, kami memandang bahwa mereka memiliki hak atas kami”. (Sahih Bukhari).
Dari hadis ini, kita juga menjadi tahu bahwa perilaku diskriminatif terhadap perempuan sama sekali bukan ajaran Islam. Islam dengan jelas menyatakan bahwa antara perempuan dan laki-laki adalah memiliki hak-hak yang sama dan karenanya jika masih ada yang melakukan praktik diskriminatif terhadap perempuan, mereka jelas tidak mengindahkan perintah Nabi Saw. untuk meninggalkan perilaku diskriminatif terhadap perempuan tersebut.
Selain memerintahkan untuk berbuat baik dan meninggalkan praktik diskrminatif terhadap perempuan, Nabi Saw. juga memerintahkan untuk tidak memukul perempuan (melakukan tindakan kekerasan), seperti dalam hadis berikut: “Dari Abdullah bin Zama’ah ra, dari Nabi Saw. bersabda: “Janganlah seseorang diantara kamu memukul istrinya layaknya memukul hamba sahaya, (padahal) ia menggaulinya di ujung hari” (Sahih Bukhari, no. Hadis 5259).
Melalui hadis ini Nabi Saw. memperingatkan sekaligus menyentil para suami yang kerap kali melakukan tindakan kekerasan terhadap istrinya. Padahal dalam kesempatan lain para suami yang melakukan kekerasan terhadap istrinya. Pun ketika melakukan hubungan seksual dengannya. Seharusnya, jika memang mencintai istrinya hendaknya para suami tidak melakukan pemukulan atau kekerasan dalam bentuk yang lain. Dengan saling menghormati, memperlakukannya dengan baik, dan dan tidak merendahkan martabat perempuan.
Kiranya, tiga hadis di atas dapat menjadi gambaran bahwa andai saja pemahaman mengenai bagaimana memperlakukan dan melindungi hak-hak perempuan dipahami dengan sebaik-baiknya, tentunya kasus kekerasan terhadap perempuan tidak akan meroket tajam dari tahun ke tahun.
Mestinya dengan meroketnya angka kekerasan terhadap perempuan dan juga mangkraknya pembahasan RUU PKS menjadi evaluasi bersama bahwa hari ini kita seperti perlahan bergeser kembali ke masa Jahiliyah. Padahal hadis-hadis Nabi tentang bagaimana berlaku adil, mengakui hak kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, juga tidak melakukan tindakan kekerasan terhadap perempuan bertebaran dan dapat diakses melalui kitab, buku, juga tulisan-tulisan, tapi mengapa kita enggan membacanya ulang?
Padahal lagi, Nabi Saw. saja dengan tegas memperingatkan umatnya untuk berperilaku baik dan menghindari berbuat kekerasan, seharusnya DPR sebagai pemegang kendali dan memiliki otoritas harus gercep dan berkaca kepada Nabi Saw. yang lebih dahulu memberi peringatan kepada umatnya di seluruh dunia sejak berabad-abad yang lalu. []