Mubadalah.id – Beberapa kalangan ulama kontemporer, seperti Muhammad Baltaji, Nawal al-id, Sodiq al-Hadi, dan Ahmad Syarqawi, maka masih tetap menerima teks Hadis perempuan sebagai sumber kesialan ini.
Merujuk pada pemaknaan para ulama klasik, mereka menerimanya dan memilih memaknainya secara simbolik, dan bukan secara faktual.
Atau “kesialan” itu dimaknai untuk konteks dan kondisi perempuan tertentu, tidak bagi semua perempuan.
Beberapa tafsir, misalnya, menyebut kesialan itu untuk perempuan yang berakhlak buruk atau yang mandul. Artinya, kesialan itu bukan karena jenis kelamin, tetapi dari kondisi dan konteks perempuan tertentu.
Karena itu, sekalipun diterima sebagai Hadis yang sahih, Hadis tersebut tidak dianggap sebagai teks yang mendiskreditkan kemanusiaan perempuan.
Dalam bahasa lain, teks ini tidak bisa dijadikan dasar untuk mengatakan bahwa kemanusiaan perempuan itu memiliki kualitas yang rendah. Sama sekali tidak.
Jika pemaknaan kesialan perempuan yang berakhlak buruk dan mandul bisa ia terima, maka pemaknaan tersebut bisa kita baca dengan metode mubadalah. Sehingga laki-laki yang bersifat demikian juga bisa menjadi sumber kesialan.
Dengan metode mubadalah, karena laki-laki tidak kita beri label sebagai sumber kesialan, maka perempuan juga seyogianya tidak perlu untuk ia beri label secara tidak patut.
Pandangan Ulama Kontemporer
Salah satu ulama kontemporer yang menolak Hadis tentang perempuan sebagai sumber kesialan yang tercatat dalam Shahih al-Bukhari di atas adalah Abu Syuqqah.
Karena menurut Abu Syuqqah, redaksi Hadis tersebut bertentangan dengan redaksi Hadis lain yang berisi sebaliknya, yaitu
“Bahwa tidak ada sumber kesialan (dalam Islam), justru ada kebaikan dalam tiga hal: rumah, perempuan, dan kuda.”
Pertentangan ini lebih nyata lagi, karena juga sudah Aisyah r.a., kritik sebelumnya seperti tercatat Badruddin al-Zarkasyi dalam kitabnya al-Ijabah.
Artinya, teks Hadis itu kita tolak, bukan karena menolak Hadis Nabi Saw. Tetapi karena periwayatannya yang kita ragukan dan tidak beberapa kalangan terima. Sejak masa sahabat, telah terjadi penolakan terhadap teks Hadis “perempuan sebagai sumber kesialan”. []