Mubadalah.id – Jika perempuan dalam teks Hadis Tirmidzi dianggap sebagai aurat, maka sebaiknya, yang harus kita pahami dalam konteks makna ayat tersebut, bukan sekadar aurat badaniah. Melainkan lebih utuh secara sosial.
Sehingga perempuan, mereka anggap sebagai aurat ketika mereka lemah, bodoh, mudah mereka berdaya, mudah menjadi alat oleh individu. Atau pihak-pihak tertentu untuk memperdaya dan menghancurkan masyarakat secara umum.
Namun, ketika mereka menjadi kuat, pintar, mandiri, bijak, dan paham situasi. Sehingga tidak lagi mudah mereka perdayakan, mereka bukan lagi aurat.
Sebaliknya, laki-laki yang lemah, bodoh, mudah mereka berdaya, dan mudah menjadi alat oleh individu-individu. Atau bahkan pihak-pihak tertentu untuk memperdaya dan menghancurkan masyarakat secara umum, adalah aurat.
Seperti anak-anak yang lemah atau laki-laki yang sudah uzur, dalam konteks situasi perang, sering mereka anggap sebagai aurat.
Atau laki-laki kuat sekalipun, tetapi akal dan hatinya lemah, yang mudah orang-orang berdayakan dan menjadi alat adalah aurat yang harus kita lindungi, berdayakan, dan perkuat.
Ketika perempuan lemah dan mereka anggap sebagai aurat yang perlu penguatan, maka laki-laki lemah adalah aurat yang perlu pemberdayaan.
Tidak semua laki-laki kuat dan mampu melindungi, sebagaimana tidak semua perempuan itu lemah dan perlu perlindungan.
Siapa pun bisa menjadi aurat dan perlu perlindungan, laki-laki maupun perempuan. Siapa pun, baik laki-laki maupun perempuan, dengan kapasitasnya masing-masing bisa menjadi pelindung, penguat, dan penolong mereka yang lemah. []