Mubadalah.id – Tidak hanya istighfar, tahukah kamu kalau bertaubat dengan bismillah juga bisa dilakukan? Sebelum menjawab hal tersebut, setiap kita pasti telah berbuat salah. Beberapa malah sering berbuat salah. Tetapi biasanya juga kita akan merasa gelisah dengan kesalahan yang kita lakukan. Gundah gulana. Hati kita seringkali kesal dan kadang marah pada diri kita sendiri. Karena dosa yang kita lakukan. Kitapun merindu untuk bangkit. Beralih berbuat baik. Itulah kita. Manusia. Bukan malaikat. Tetapi juga bukan setan.
Kita mungkin bersalah kepada Tuhan. Tidak shalat, tidak puasa, atau mengkonsumsi minuman dan makanan yang diharamkan. Sesekali atau seringkali. Ini sesungguhnya keburukan yang akan berbalik pada kerugian diri kita sendiri. Bukan kepada Allah Swt. Persis seperti ketika kita cheating makanan yang tidak sehat. Terutama pada saat program diet kesehatan. Semua akan kembali pada kerugian dan kesakitan tubuh dan jiwa kita sendiri.
Begitupun ketika kita berbuat salah pada orang lain. Membenci, mencaci, apalagi menyakiti. Kesalahan atau keburukan tersebut, sekalipun terhadap orang lain, ia akan berbalik kepada diri kita sendiri. Marah dan benci, pada orang lain, ternyata menciptakan enzim-enzim perusak pada tubuh dan jiwa kita sendiri. Mempermudah datangnya stress. Mempercepat penyakit stroke.
Setiap salah atau dosa, apapun kepada siapapun, kata Nabi Saw, akan menjadi titik noda di dalam hati sang pelaku (Sunan Turmudzi, no. hadits: 3654). Ketika semakin banyak dosa dilakukan, maka titik itu akan membesar. Jika terus membesar, ia bisa menutup dan menyesakkan hati. Laksana sakit pneumonia yang sekarang lagi ditakuti dunia akibat virus corona. Yang pasti, dalam petuah Nabi Saw, semua dosa akan membuat jiwa kita gundah dan hati kita gelisah. “al-itsmu maa haaka fi al-qalbi wa talajlaja fish shadri”. (Musnad Ahmad, no. 18284 dan Sahih Muslim, no 6680).
Dan kitapun memerlukan penawar untuk jiwa kita yang resah, sesak, dan gelisah. Di sinilah istighfar dan taubat akan berperan dan memiliki makna dalam hidup kita. Kita yang memerlukan istighfar. Kita yang membutuhkan taubat. Semua itu untuk kebutuhan kita sendiri, dalam kehidupan ini dan akhirat nanti. Ya, kita yang butuh istighfar dan taubat. Bukan Allah Swt, yang Maha Kaya dengan segala.
Istighfar artinya meminta ampunan Allah Swt. Taubat itu kembali kepada fitrah sebagai orang yang merindu pada ketenangan dan kebaikan. Sebagai orang yang berjiwa yang condong (hanif) pada keimanan dan berbuat baik pada orang lain (QS. Ar-Rum, 30: 30). Kata Nabi Saw, setiap kebaikan itu akan menenangkan hati dan menentramkan jiwa. “al-birru ma thma’anna ilaihi l-qalbu wa thma’annat ilaihi n-nafsu” (Musnad Ahmad, no. 18284).
Karena itu, istighfar bukanlah dengan banyak menyalahkan atau menyesali diri, yang bisa jadi malah melemahkan jiwa. Bukan. Melainkan dengan taubat, atau kembali bangkit untuk menjadi manusia stabil yang siap berbuat baik. Sesuatu yang membuat jiwa kita lebih tenang, stabil, dan tentram.
Menyesali diri cukup sekali. Terkadang jiwa kita juga tidak cukup kuat untuk terus disalahkan dan disesali. Apalagi dimarahi dan dikerasi berlebihan. Lebih baik bangkit dengan melakukan kebaikan-kebaikan, kepada diri, orang lain, dan semesta. Dalam rumus al-Qur’an, kebaikan-kebaikan kita lah yang lebih mudah menghapus keburukan-keburukan yang telah kita lakukan. “Inna l-hasanaat yudzhibna s-sayyi’aat” (QS. Hud, 11: 114).
Kata kerja bertaubat (taaba) dalam berbagai ayat al-Qur’an, selalu dikaitkan dengan kata kerja keimanan (aamana) dan kata kerja berbuat baik (‘amila shaalihan). Misalnya ayat-ayat yang ada dalam QS. Maryam, 19: 60; QS. Taha, 20: 82; dan QS. al-Furqan, 25: 70. Hal ini menandakan bahwa pondasi taubat itu keimanan dan jalannya yang lebih lempang adalah berbuat kebaikan-kebaikan (‘amal shalih) dalam segala dimensi kehidupan, ritual, individual, marital, familial, dan sosial.
Setiap keburukan yang kita lakukan, dalam suatu pesan Nabi Saw, harus selalu diikuti kebaikan, agar bisa menghapusnya. “atbi’ s-sayyi’ah al-hasanah tamhuhaa”.
Sahabat Abu Dzarr al-Ghiffari ra pernah bercerita, bahwa Nabi Saw berpesan kepadanya: “Bertakwalah kepada Allah Swt dimanapun kamu berada, ikutilah perbuatan burukmu dengan kebaikan, agar bisa menghapusnya, berakhlaklah dengan akhlak mulia kepada semua manusia”. (Sunan Turmudzi, no. 2115 dan Musnad Ahmad, no. 21750 dan 21800). Bisa dikatakan, implementasi takwa pada Allah Swt adalah dengan perilaku akhlak mulia dalam berelasi dengan manusia dan selalu berbuat baik, terutama ketika bertaubat dari perbuatan buruk.
Bertaubat dengan Bismillah, Ini Penjelasannya
Peran Bismilah, dalam hal ini, adalah dzikraa, atau pengingat untuk selalu bisa kembali pada fitrah kebaikan, dengan keagungan Allah Swt (ismullāh), kasih dan sayang-Nya (arrahmān dan arrahīm). “Hal itu adalah bisa jadi pengingat bagi mereka yang mau sadar” (dzaalika dzikraa lidz dzaakiriin, QS. Hud, 11: 114). Seseorang yang telah berbuat salah pada Tuhan, dia ingat dan sadar, maka segeralah bertaubat dengan berbuat baik. Manusia memang akan bersalah, dan sebaik-baik orang yang telah bersalah adalah mereka yang mau bertaubat.
Bertaubat artinya kembali. Dalam perspektif mubadalah, kembali di sini artinya berproses untuk menjadi diri yang tenang (muthma’innah) sehingga bisa menjadi orang yang selalu cenderung pada keimanan dan kebaikan (hanif).
“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada (ajaran-ajaran kebaikan dari) Tuhanmu, dengan tenang, tentram, penuh restu dan direstui. (Kembalilah) menjadi hamba-hamba-Ku dan masuk ke dalam surga-Ku” (QS. Al-Fajr, 89: 27-30).
Siapakah “hamba-hamba-Ku” yang disebut Allah Swt dalam al-Qur’an ini? Mereka adalah orang-orang yang sujud berserah diri kepada-Nya, tidak sombong atau jumawa kepada makhluk-makhluk-Nya, seringa berdoa agar tidak masuk neraka, selalu bersikap dan menebar perdamaian bahkan kepada orang-orang yang mungkin bodoh dan dungu, dan selalu bersikat moderat dalam hidup, tidak kikir tetapi juga tidak boros, tidak takut tetapi juga tidak sembrono. (QS. Al-Furqan, 25: 63-67).
Bismilah adalah kunci untuk mengawali proses transformasi diri untuk merengkuh semua perbuatan baik dan mulia ini. Karena setiap perbuatan baik dan mulia, kata Nabi Saw, seyogyanya diawali dengan bacaan Bismilah. Perbuatan baik tanpa Bismilah akan membuatnya tanpa berkah dan kurang sempurna dalam menghasilkan efek ketenangan hati dan ketentraman jiwa (Musnad Ahmad, no. 8833).
Bismilah mengingatkan kita untuk tidak berbuat dosa. Karena ia tidak boleh diucapkan untuk hal-hal buruk dan dosa. Meninggalkan shalat tidak bisa diawali dengan Bismilah. Memakan yang haram tidak bisa dengan Bismilah. Mencaci orang juga tidak boleh diawali Bismilah terlebih dahulu. Begitupun menulis status-status kebohongan, kebencian, dan permusuhan. Tidak boleh. Apalagi menyakiti, mencuri, dan korupsi.
Bismilah semacam alarm dari dosa dan keburukan. Artinya, jika kita menjadi bagian dari orang-orang yang menerima dan meyakini Bismilah, ketika kita mengingatnya, kita harus meninggalkan segala perilaku buruk dalam kehidupan kita sehari-hari. Dengan Bismilah, no way perilaku jahat dan dosa. Bismilah justru mendorong kita untuk selalu berbuat baik dan hidup penuh makna.
Tetapi ketika kita melakukan keburukan itu, Bismilah menginspirasi kita untuk segera menyayangi diri dengan berbuat kebaikan yang akan menghapus keburukan tersebut. Jika kita ingin disayang Tuhan, kita harus menyayangi diri kita dan saling menyayangi antar sesama (Sahih Bukhari, no. 6063). Rasa sayang pada diri itu diwujudkan dengan menyegarakan berbuat kebaikan-kebaikan untuk menghadirkan ketentraman dan ketenangan jiwa.
Jadinya, bertaubat dengan Bismillah menjadi semacam alarm kebaikan dan kasih sayang. Baca Bismilah ingat kasih sayang. Baca Bismilah ingat kebaikan. Berbuat baik adalah inti dari taubat dalam Islam. Karena itu, kita bisa bertaubat dengan Bismilah. Atau bisa jadi, di dalam Bismilah, jika diucapkan secara seksama dan dengan komitmen utuh untuk mengaitkan apa yang diucapkan (kasih sayang) dengan apa yang dilakukan, adalah taubat itu sendiri. Bismilah menginspirasi bahwa sayangi diri dan orang lain adalah bentuk taubat kita yang paling paripurna. Wallahu a’lam.