Mubadalah.id – Lalu, apa sejatinya tujuan nikah? Mengapa kita harus menikah? Mengapa mereka harus menikah? Mengapa Anda harus menikah?
Mengapa seseorang mesti menikah? Jika setelah menikah keluarga diabaikan dan dicampakkan? Mengapa memaksakan diri menikah, jika hanya ingin membuktikan bahwa kita bisa menikah, bahwa kita bisa punya pasangan, bahwa kita bukan jomblo, atau bahwa kita Muslim?
Pertanyaan-pertanyaan itu kerap muncul di benak saya ketika mencatat salinan putusan perceraian dari pengadilan agama, atau saat mendengar kawan, tetangga, dan saudara, atau siapa pun yang tiba-tiba bercerai tanpa alasan yang jelas. Kadang-kadang tidak hanya pertanyaan yang muncul, tetapi juga rasa kesal, atau bahkan marah: mengapa begitu mudahnya melepas ikatan dengan dalih karena memang harus lepas, atau tanpa dalih sama sekali. Saya kesal ketika mendengar seorang tetangga (berjarak sekitar 500 meter dari rumah saya), menceraikan istrinya karena istrinya—yang sedang memasak—menolak diajak bersenggama. Bagi laki-laki macam itu, mungkin pernikahan hanyalah media untuk menyalurkan hasrat biologis. Ada banyak kasus serupa ini yang kita dengar atau kita lihat beritanya di koran dan televisi. Kadang, berita yang kita lihat lebih gila: laki-laki menyiksa atau bahkan membunuh istrinya karena tidak mau diajak bersenggama. Meskipun fukaha sepakat bahwa makna asali kata “nikâh” adalah al-waht’u—atau bersetubuh, tetapi rasanya terlalu nista dan merendahkan institusi pernikahan jika seseorang bercerai hanya karena pasangan tidak mau diajak bersetubuh. Apakah seorang laki-laki beranggapan telah memiliki istrinya yang telah dinikahi dan diberi mahar? Apakah ia menganggap mahar itu memberinya kuasa mutlak atas istrinya sehingga bebas melakukan apa pun atas diri dan tubuhnya?
Ada juga laki-laki yang menceraikan istrinya karena istrinya tak kunjung memberinya anak laki-laki atau perempuan. Setelah beberapa kali istrinya mengandung dan melahirkan, mereka tak juga mendapatkan anak yang diinginkan. Sang suami menjatuhkan talak karena istrinya tak mau mengandung lagi. Sejatinya, yang paling berkuasa atas tubuh seseorang adalah diri orang itu. Dirinyalah yang paling mengetahui keadaan tubuhnya dan dia pulalah yang paling berkuasa atas tubuhnya. Dia tahu apa yang baik dan yang buruk untuk tubuhnya sehingga hanya dia yang paling berhak mengatur apa yang mesti terjadi atas tubuhnya. Akad nikah adalah kontrak penyerahan tanggung jawab dan kepemimpinan atau kewalian (wilâyah) dari ayah, kakek, atau saudara laki-laki, atau sulthân kepada seorang suami, bukan kontrak penyerahan tubuh seorang perempuan kepada seorang laki-laki. Hanya istri yang mengetahui sakit, perih, dan juga nikmat mengandung serta melahirkan. Jadi, suami tak berhak memaksakan seorang istri untuk hamil dan melahirkan. Apa jadinya, janin dan anak yang dilahirkan dari tubuh seorang wanita yang sama sekali tidak ridha dan tidak suka mengandungnya?
Ada juga yang bercerai dan memutuskan menikah lagi karena istrinya tak juga memberinya keturunan. Jadi baginya, pernikahan hanyalah media untuk mendapatkan keturunan. Ia ceraikan istrinya tanpa pernah memeriksakan lebih dahulu, siapa sesungguhnya yang tidak subur, apakah dirinya, ataukah istrinya. Kisah-kisah dalam Al-Quran menunjukkan bahwa tidak adanya keturunan tidak selayaknya menjadi sebab perceraian. Beberapa orang nabi a.s. dikisahkan tidak mendapat keturunan hingga mereka berusia senja dan renta. Namun, keadaan itu tidak membuat mereka berpikir untuk menceraikan atau melepaskan ikatan suci perkawinan. Mereka terus memohon kepada Allah agar dikaruniai keturunan yang baik dan saleh.
Lebih mengesalkan adalah ketika mendengar kabar laki-laki yang menceraikan istrinya dengan dalih bahwa hak laki-laki adalah menikahi dan menceraikan. Seseorang menikahi perempuan, lalu empat hari kemudian menceraikannya. Ketika ditanya alasannya, ia menjawab, “Saya laki-laki. Hak laki-laki adalah menikahi dan menceraikan, sementara hak perempuan adalah dinikahi dan diceraikan!” Ungkapan semacam itu benar-benar menghina dan menistakan syariat, apalagi jika dikatakan seseorang yang sangat paham ajaran
agama dan ketentuan hukum. Lebih gagah lagi adalah ketika ia menambahkan bahwa ia menceraikan istrinya, karena istrinya itu tidak perawan lagi!
Emangnya pernikahan adalah laboratorium untuk mengetes keperawanan?!
Dalih yang terakhir ini kerap diungkapkan laki-laki yang entah karena alasan apa tak mau lagi bersatu dan hidup berrumah tangga dengan seorang wanita.
Pertanyaannya, mengapa perempuan yang selalu terpojok dan disalahkan? Mengapa ketidakhamilan dijadikan alasan perceraian? Mengapa keperawanan kerap dijadikan dalih perceraian?
Sementara, perempuan tidak bisa mengatakan, “Ternyata suami saya bukan jejaka!?” karena tak ada bukti indriawi yang menunjukkan kejejakaan seseorang.
Laki-laki selalu cerdik menjerat seorang wanita untuk masuk dalam ikatan pernikahan, ikatan yang membatasi kebebasan seseorang. Dan, laki-laki juga selalu cerdik dan banyak akal untuk tiba-tiba saja menceraikan dan memutuskan hubungan pernikahan.
Sebelum menikah, ia akan bilang kepada kekasih atau pacarnya bahwa pernikahan adalah perintah Allah dan Sunnah Rasulullah Saw.; bahwa pernikahan merupakan sunatullah; bahwa sifat atau kecenderungan alami manusia adalah menikah dan berpasangan; bahwa kehormatan seorang wanita akan terjaga dengan menikah; bahwa dia benar-benar mencintainya dan akan menjaganya hingga akhir hayatnya, dan bla bla bla …
Lalu, setelah beberapa lama menjalani kehidupan rumah tangga, rasa bosan, lelah, dan jenuh menyergapnya. Kejenuhan dan kebosanan menjadi masalah yang kerap dialami pasangan suami-istri karena selama bertahun-tahun mereka hidup bersama di satu rumah. Tanpa kejelian, kecerdikan, dan kecakapan mengelola perasaan, pasti mereka disergap kebosanan. Apalagi jika di tengah kebosanan itu muncul laki-laki atau wanita lain yang lebih sempurna, lebih bagus rupa, lebih menarik, lebih kaya, atau lebih muda. Mulailah akalnya bekerja lagi, mencari dalih, alasan, dan rasionalisasi untuk meninggalkan pasangannya.
Ketika seorang suami tak lagi berhasrat melanjutkan rumah tangga, ia akan bilang kepada istrinya, “Mah, kita tidak bisa hidup bersama lagi, karena ternyata kita memiliki tujuan yang berbeda. Aku ingin setelah menikah, kamu tetap tinggal di rumah, menjadi ibu yang mendidik anak-anak dengan baik. Tetapi kau memilih tetap bekerja, mengejar karir, dan menggenapkan cita-cita.”
Atau, “Kita harus berpisah, karena orangtuamu selalu ikut campur dalam urusan rumah tangga kita. Aku sudah tidak tahan lagi. Mereka selalu ingin ada di sisimu ketika kita menghadapi masalah. Apa artinya kehadiranku sebagai suami, penanggung jawab keluarga, jika bapakmu selalu ingin menyelesaikan masalah yang kita hadapi?”
Atau, “Maaf, aku harus menceraikanmu, karena kau terlalu sempurna. Seharusnya aku yang mendidik dan menjadi pemimpin keluarga, tetapi kau tampil sangat sempurna. Kau mencari nafkah, mendidik anak, dan juga melayani suami. Aku merasa terpuruk dan tidak punya harga diri saat berada di sisimu. Jadi, lebih baik kita berpisah.”
Atau, “Maafkan, lebih baik kau hidup bersama orangtuamu, karena perusahaan memecatku. Aku tak lagi punya pekerjaan. Aku tak bisa menafkahimu lagi.”
Atau, “Dasar perempuan tak tahu di untung! Kau habiskan untuk apa puluhan juta uang yang kuberikan tiap bulan, hah!!? Sudah! Aku bosan melihat mukamu.”
Ada juga yang mengatakan, “Pulanglah kepada orangtuamu. Aku tidak mencintaimu lagi, karena ternyata kau tidak perawan lagi!”
Atau, “Aku menalakmu dengan talak tiga! Ternyata kau masih saja berhubungan dengan mantan pacarmu itu!”
Atau, “Pergi sana ke rumah orangtuamu! Aku tak suka gaya bercintamu!” Atau, “Bu, Islam hanya membolehkan kaum muslim beristri empat orang, seperti diperintahkan Rasulullah saw. kepada seorang sahabat yang baru masuk Islam. Ayah berniat untuk menikah lagi, tapi karena istri ayah sudah empat, jadi Ibu harus Ayah ceraikan. Biarlah rumah, mobil, dan seluruh isinya Ayah serahkan untuk Ibu.”
“Aaaaargghhhh….”
Banyak pula laki-laki yang pergi begitu saja, meninggalkan istri dan anak-anaknya tanpa sepatah pun kabar berita, tanpa alamat, dan tanpa nafkah. Dengan mudahnya mereka berlalu, melanjutkan hidup, sementara istri dan anaknya menunggu penuh harap.
Laki-laki selalu cerdik dan banyak akal untuk menemukan alasan perceraian yang paling manis dan rasional.
Kasus yang terakhir ini kerap saya temui. Beberapa kali ada perempuan atau orangtua perempuan datang ke KUA untuk daftar nikah. Dia bilang bahwa dia janda, karena suaminya sudah dua atau tiga tahun meninggalkannya tanpa memberinya nafkah. Namun, kami menolak pendaftaran mereka karena tidak memiliki akta cerai. Perempuan seperti inilah yang banyak menjadi korban kesewenangan laki-laki. Mereka ditinggalkan begitu saja, tanpa diberi nafkah, dan tanpa mengetahui kejelasan status mereka, apakah masih istri orang ataukah sudah janda?
Sebagai contoh, suatu hari, seorang bapak datang ke KUA dan menyampaikan bahwa menantunya memberinya sepucuk surat yang isinya sangat singkat:
“Bapak, dengan surat ini, saya menceraikan istri saya dan menyerahkannya kembali kepada Bapak. Hal-hal yang berkaitan dengan perceraian akan saya urus dalam waktu sesingkat-singkatnya”.
Cigandamekar, 9 Desember 2012
Persis naskah proklamasi. Mungkin laki-laki itu pengagum Soekarno. Peristiwa di atas benar-benar terjadi. Bapak itu datang bersama anak perempuannya, bermaksud menanyakan prosedur perceraian. Ia menyangka, KUA, selain tempat mendaftarkan pernikahan, juga menjadi tempat mendaftarkan perceraian.
Banyak orang yang mengatakan dan berdalil bahwa ia menikah karena mengikuti perintah Allah Swt dan Sunnah Rasulullah Saw. Ia bilang dengan penuh semangat bahwa sebagai muslim, sudah seharusnya ia menikah; bahwa pernikahan merupakan sunat atau ibadah yang sangat dianjurkan. Lalu keluarlah berbagai dalil dan argumen yang mendukung dan menganjurkan pernikahan.
Namun, jika hanya itu semata, tanpa disertai kesadaran dan keridhaan hati serta kesiapan mental untuk menikah, pernikahan yang dijalaninya tidak akan menjadi ibadah. Sebaliknya, pernikahan hanya akan menjadi media dan jalan yang mendorongnya lebih jauh memasuki derita dan kepedihan. Memang benar, menikah adalah Sunnah Rasulullah Saw., sebagaimana disebutkan dalam hadis: “Pernikahan adalah sunnahku dan barangsiapa yang tidak mengerjakan sunnahku maka ia bukan golonganku.” Namun, semestinya hadis ini dipahami secara lebih menyeluruh dan lebih luas. Pernikahan (al-nikâh) yang dimaksud dalam hadis di atas bukan hanya akad nikah, melainkan seluruh kehidupan pernikahan dan rumah tangga. Jika kita benar mengaku sebagai muslim pengikut Rasulullah Saw. maka kita harus menikah dan menjalani kehidupan pernikahan mengikuti kebiasaan dan Sunnah Rasulullah Saw. Bagaimana memperlakukan istri dan keluarga pun seharusnya mengikuti cara-cara yang dicontohkan Rasulullah Saw. Dengan begitu, niscaya kita akan berjuang mempertahankan pernikahan dan keutuhan keluarga. Kisah para Nabi a.s. menunjukkan, seburuk apa pun perilaku dan perangai pasangan hidup, para Nabi a.s.—misalnya Nabi Nuh dan Nabi Luth—tidak sampai menceraikan istri mereka.
Namun, saat ini, banyak di antara kita yang menikah semata-mata untuk mengubah status sosial atau menghindari pandangan negatif manusia. Akibatnya, ketika mendapati masalah, kesulitan, dan petaka rumah tangga, dengan cepat mereka memutuskan untuk mengakhiri pernikahan. Ada banyak alasan yang mendorong seseorang untuk menikah, dan lebih banyak lagi dalih yang dapat dibuatnya untuk mengakhiri pernikahan.
Gandasoli, Oktober 2012
Oleh: Dedi Ahimsa