Mubadalah.id – Titik.
Prolog
Pagi itu, aku dengan Percaya dirinya duduk diatas tumpukan kasur yang tertera rapi. Semua orang dalam ruangan warna hijau berbentuk persegi panjang dan tak memiliki isi apapun itu memandangiku, aku langsung bertanya “ada ga yang lagi haid?”. Hari itu adalah hari pertama aku masuk pondok pesantren.
Hari-hari selanjutnya adalah hari-hari yang menyenangkan bagiku, tapi tidak bagi beberapa temanku. Mereka banyak yang menangis disetiap malam, ada juga yang minta dibestel (dijenguk) setiap pagi, banyak juga yang melamun. Dan itu semua menjadi satu kala hujan pertama turun; dingin, tidak ada makanan, tidak ada televisi, dan tidak bisa kemana-mana. Itu semua membuat serial melankolis menjadi satu. Dan hari hujan itu membuat akupun ikut menangis.
Kami, anak-anak baru yang terbiasa dengan kebiasaan rumah sangat sulit membiasakan diri dengan hal-hal Pondok Pesantren. Bangun pagi adalah salah satunya. Aku sangat mengeluh kala dibangunkan, apalagi ketika di kamar mandi sangat mengantri walau hanya untuk wudhu. Aku bertanya dalam hati saat itu “untuk apa dibangunkan sekarang? mengapa tidak dibangunkan saat kamar mandi telah sepi? Mubadzir sekali waktu untuk ngantri , mending untuk tidur!”
Belum lagi hal-hal lain yang serba mandiri, nyuci-menjemur-melipat baju, piket kamar yang cucian piringnya segunung juga piket halaman. Di piket halam itu tugas Kami adalah mengambil sampah, dan itu dilakukan tanpa serok, langsung dengan tangan! Ada juga piket dapur (Kami memasak untuk sekitar 500 orang dengan lauk yang sangat membosankan; tempe dan tahu). Tidak lupa juga piket kamar mandi yang luar biasa jorok, ditambah terdapat banyak santri MI, yang terkadang tidak tau dimana tempat meletakkan kotorannya. Huh.
Tugas Kami bukan hanya itu, ada juga roan (kerja bakti) pada hari jum’at. Semua santri di hari itu wajib bekerja; dibagi perkelompok. Terdapat banyak tugas di saat roan ini, yaitu membersihkan jemuran, membersihkan klambrukan baju, mencuci-menyetrika-melipet baju Ahlul Bait (keluarga kyai), juga tidak lupa menguras cemboran yang ada kuning-kuningnya.
Aku ingat, suatu Jum’at kelompokku mendapat giliran membersihkan cemboran. Saat itu mba-mba SMA memasukan tangannya ke cemboran yang berukuran 1 kali 1 meter tanpa ragu, padahal warna cemboran itu sudah hitam pekat, plus terdapat beberapa kuning-kuning kecil ditepian cemboran yang sudah pasti membuat orang yang melihatnya illfeel. Dan mba itu dengan entengnya malah berkata “enak kok, dingin-dingin gimana gituu”. Pernyataannya sontak membuat aku dan anak baru lainnya mangap.
Hari jum’at juga menjadi hari hisab bagi seluruh santri. Absen Sholat dikumpulkan, para jasus Lughoh atau mata-mata bahasa (Karena pondok berbasis bahasa, maka yang tidak menggunakan bahasa Arab/inggris akan mendapatkan hukuman) memberikan catatannya. Banyak santriwati yang Sholat Dhuha di lapangan, mengaji didepan Masjid, thawaf/ mengelilingi masjid sambil berkata “ana kaslanah /saya pemalas”. Ada juga yang memakai kerudung merah selama berhari-hari dengan tulisan spesial. Dan yang peling pedih adalah mengaji didepan rumah ahlul bait. Selain malu karena akan menjadi pemandangan ahlul bait, juga malu karena banyak santriwan yang bolak-balik ditempat itu. Semua hukuman itu tergantung berapa banyak kami absen sholat jamaah, juga berapa banyak kami tidak berbicara menggunakan bahasa.
Pondok kami adalah pondok pesantren berbasis bahasa di wilayah pondok pesantren salafy. Walaupun Pondok kami bahasa, tapi kami tetap belajar berbagai kitab kuning dimalam hari serta mengaji tafsir Jalalain dipagi hari.
Pondok kami dikelilingi sawah. Jadi jangan heran jika saat malam kulit kami memiliki banyak polkadot berwarna merah, juga jangan heran jika sewaktu-waktu menemui ular ikut mengaji.
Itu hanya pembukaan, dari ribuan cerita lain yang ada didalam Pondok. Seperti juga pembukaan lain, pembukaan ini pun menorehkan banyak kesakitan dan adaptasi. Namun tetaplah didalamnya, karena keindahan mungkin akan menunggu di titik-titik selanjutnya.
Jadi para dede gemez, tak perlu minta boyong hanya karena beberapa hal yang baru dilihat didalam pondok, kau belum menemukan satu titik pun!
Titik satu.
Kalau kalian kira Pondok adalah tempat orang-orang yg tidak nakal, itu salah besar. Karena kebanyakan masyarakat kami saat ini menganggap Pondok adalah bengkel, dimana ada anaknya yang rusak, maka dimasukkan ke Pondok, agar dapat diperbaiki. Walaupun pemikiran ini salah, namun ini juga yang menjadikan pengalaman mondok sebagai pengalaman bertemu dengan berbagai budaya, sifat dan kebiasaan orang-orang.
Suatu sore, anak-anak kamar kami sangat kelaparan. Namun nasi jatah sore belum juga tiba. Seperti yang sudah kami ceritakan sebelumnya, bahwa pondok kami dikelilingi oleh sawah, dan khusus untuk pondok putri, juga dikelilingi oleh pagar yang terbuat dari tembok sepanjang 2 meter. Kamar kami dekat sekali dengan pagar, disamping pagar itu terdapat pohon kresem yang menjadi andalan tempat kami mencari kutu, juga tempat kami untuk mengintip santri putra dari atas pohon dan tak lupa; tempat ngerumpi sebelum mengaji.
Karena sore itu kami sangat lapar, maka muncullah ide gila dari Syala; teman paling pemberani. Ia mengajak kami untuk menanjak pohon kresem, kemudian meloncati pagar lewat pohon kresem, lari melewati sawah dan membeli makanan di Bi Juriah; penjual makanan murah meriah di daerah Pondok kami. Dan gilanya lagi, kami menyetujui! alhasil kami berempat langsung menaiki pohon kresem. Syala loncat terlebih dahulu, ia tergesek di tembok dan menyebabkan beberapa kulitnya terkelupas, dan itu sontak menjadikan kami bertiga yang masih ada diatas pohon ngilu, juga tentu membuat nyali kami ciut. Namun Syala menguatkan kami, juga mengambil satu buah kursi yang biasa dijadikan tempat ronda satriwan. Dan akhirnya kami semua sudah ada di sawah.
Kami jalan dengan sangat pelan, namun karena kami juga tertawa terbahak-bahak, terdapat salah satu pengurus satriwati yang mendengar, ia langsung berteriak “man hunaka?siapa disana?”, tanpa ditanya lagi kami langsung mengumpat.
Setelah semua terasa aman, kami berjalan menuju kuburan. Kuburan itu berada dibelakang pondok putra, itulah satu-satunya jalan menuju warung Bi Juriah. Namun tanpa disangka, terdapat ami-ami (panggilan untuk pengurus Putra, yang memiliki arti Paman) dan langsung memelototi kami. Ternyata ia sudah melihat kami sejak kami masih berada diatas Pohon dan akhirnya kami dipaksa pulang lagi ke Pondok. Dengan sangat malu kami pulang melewati Pondok Putra yang ramai; mereka menyoraki kami. Jangan lupa, hukuman juga sudah menunggu.
Bukan hanya itu kelakuan nakal kami, kami juga pernah kabur (pergi keluar Pondok tanpa izin) untuk menonton bioskop di Kota. Saat sedang santai-santainya di Kafe sekalian menunggu waktu masuk ke bioskop, tiba-tiba terdapat pengurus Santriwati, mereka menanyai kami, dengan pertanyaan skak mat.
“Ijin ke siapa?”
Dan akhirnya, hukuman menanti lagi setiba di Pondok.
Terdapat banyak kenakalan yang pernah dilakukan saat mesantren, saat itu kami mengganggap itu adalah keharusan, agar kehidupan nyantri dapat dikenang. Ya padahal tidak seperti itu juga. Kenangan di Pesantren harusnya dibangun dengan hal-hal yang baik. Bukan malah dengan kenakalan-kenakalan (HAHA)
Tapi semuanya mengandung banyak pelajaran, bahwa kami harus lebih baik lagi untuk mencari siasat. Dan akhirnya kami melakukan kembali kenakalan yang lain, yang tidak kalah mengasyikkan untuk diceritakan.
Pernahkah kalian merasa butuh untuk dianggap berani? Ini juga merujuk pada kenakalan kami, para santriwati. Kami membawa handphone atau gawai, yang jelas-jelas dilarang di Pondok Pesantren.
Bukan, bukan karena merasa bosan, bagaimana bisa bosan? bahwa nyatanya santrilah orang-orang yang paling sibuk sedunia. Kami hanya ingin dianggap berani. Kami janjian saat liburan, untuk membawa gawai, barang yang dianggap haram di Pondok.
Minggu-minggu pertama adalah minggu-minggu aman, para pengurus belum ada yang mencium kabar bahwa kami membawa gawai. Namun minggu-minggu selanjutnya, bau itu tercium, karena saat malam hari, kamar kami selalu terkunci rapat, jendela juga ditutupi oleh berbagai barang. Dan tentu kami juga menjadi malas mengikuti pengajian (Ini bisa menjadi alasan mengapa banyak Pondok Pesantren melarang membawa gawai, bukan karena mereka tidak peduli pada perubahan lo ya)
Para pengurus mencari cara agar dapat menangkap basah gawai kami. Mereka menuju kamar kami saat malam-malam, mereka juga mencoba mencari gawai kami dilemari ketika kami berangkat sekolah, mereka mencoba masuk tanpa salam agar kami tak mengetahui kedatangan mereka dan akhirnya tertangkap basah. Namun semua usaha itu sia-sia, kami sudah terlalu canggih mencari siasat.
Akhirnya, para pengurus mengadakan razia secara tiba-tiba. Semua santri dikumpulkan di Masjid, kunci-kunci lemari dikumpulkan, kamar-kamar menjadi serba berantakan. Setiap bantal dicurigai mengandung gawai, jemuran-jemuran yang terdapat kantongnya di gerogohi, tong sampah di bukai. Hari itu menjadi hari paling menakutkan bagi santri-santri nakal seperti kami.
Setelah setiap sudut kamar telah dirazia, kami diperbolehkan kembali ke kamar. Kami mengecek tempat persembunyian gawai kami; ada yang tersenyum getir, ada juga yang tersenyum tenang. Dan tentunya kamar kami menjadi seperti kapal pecah.
Esoknya, pengumuman berapa banyak gawai yang terkumpul dari hasil razia, juga mengumumkan bahwa gawai-gawai itu akan dijual, kemudian uangnya akan dijadikan pembangunan untuk pesantren. Iya, pengurus kami mengadakan banyak cara agar santri tidak lagi membawa gawai. Pengurus kami juga pernah menghancurkan banyak gawai yang disita setelah strategi sebelumnya dianggap kurang efektif.
Pada hari itu juga, para santriwati yang memiliki surat-suratan, memiliki poto lawan jenis, dan hal-hal lain yang berbau pacaran dipermalukan. Karena ternyata surat-surat itu sudah terpampang di Majalah dinding Pondok. Poto-poto pujaan hati yang disimpan di dalam lemari juga berpindah ke Majalah dinding. Majalah dinding menjadi ramai. Semua santri mengecek; apakah ada suratnya disana. Jika ada maka harus bersiap-siap menjadi tempat cemoohan, sekaligus menjadi ajang pertaruhan rasa malu.
Pesantren, jangan harap menemukan orang pelit ada disini. Kyai kami, setiap berdoa ia ndawuh “ ya Allah jauhkanlah kami dari bakhil atau pelit”. beliau juga ndawuh bahwa kepelitan tidak akan mendatangkan apapun kecuali kerakusan terhadap harta.
Kami,sebagai santri yang baik akan ikut menumpasnya. Seperti pada suatu hari, saat kami kelaparan, kami menyindir teman yang memiliki makanan didalam lemarinya, namun ia tak juga mengeluarkan makanan untuk kami yang kelaparan. Alhasil, kala ia ke kamar mandi, kami mendobrak pintu lemarinya, dan mengambil makanan itu. Saat ia kembali ke kamar, ia melihat makananya tengah kami makan bersama-sama; ia tidak memprotes, bagaimana mungkin ia berani melawan kami yang lebih banyak jumlahnya, kan? Akhirnya saat ia bestel (dijenguk orang tua) dan dibawakan makanan, ia langsung menaruhnya di tengah kamar. Ahh ternyata kejahatan kami menghasilkan pelajaran.
Itulah beberapa cerita titik satu kami, ya titik satu:kenakalan. Katanya, titik-titik itu akan sempurna, jika kami terus belajar di tempat ini; Pesantren.
Titik dua.
Setelah lulus SMP, ada yang ingin boyong (keluar dari Pondok Pesantren). Ada juga yang ingin pindah ke Pesantren lain, atau tetap melanjutkan di Pesantren ini. Saya adalah orang yang memilih nomer 2; pindah ke Pesantren lain.
Sebelum pindah ke Pesantren lain atau boyong, kami para santri pasti izin terlebih dahulu ke Kyai. Ada beberapa yang diijinkan, tapi ada beberapa juga yang tidak diijinkan. Dan kami sebagai santri percaya bahwa manut terhadap dawuhan Kyai adalah pilihan terbaik.
“Mesantren itu ibarat menggali sumur, kalau kamu baru ngeduk sebentar tanah dan belum mendapatkan air kemudian kamu pindah mengeduk di tempat lain maka kamu tidak akan mendapatkan air itu, keduklah tanah dengan sabar, hingga kamu mendapatkan air”
Itu dawuhan kyai saat ingin boyong, beliau tidak menegaskan boleh atau tidaknya, namun isyarat tersebut menyadarkan. Karena ternyata selama ini kami hanya baru mendapatkan kerikil-kerikil saat menggali sumur berupa kenakalan, jadi kami harus tetap dipondok, hingga mendapatkan air!
Mondok ditempat yang sama saat SMA membuat kami ditakut-takuti akan karma. Karena saat SMA, kami tak dapat mengelak untuk menjadi pengurus di Pondok Pesantren, membantu para mba-mba senior yang telah lulus SMA.
Kami menjadi ketua Piket, Ketua Roan atau kerja bakti, masuk dalam daftar kepengurusan, membuat daftar absen, memilih jasus-jasus (mata-mata bahasa), melatih khitobahan (ceramah yang diadakan tiap minggu di Pondok), dan tentu menjadi ketua kamar.
Kami merasakan bagaimana sulitnya mengatur anak-anak agar dapat Piket di waktu yang tepat. Kami juga merasakan bagaimana sulitnya membagi tugas Roan, apalagi jika dianggap tidak adil oleh anak-anak kelompok. Kami merasakan pula mengoprak-oprak anak-anak agar berangkat mengaji, sekolah, mujahadah (berdzikir bersama-sama), dan kegiatan lainnya. Kami pula merasakan sulitnya membuat anak-anak agar insyaf untuk tidak solat berjamaah. Merasakan pula susahnya melatih para anak-anak kecil agar dapat menghapal teks khitobahan dengan sabar. Juga merasakan mengatur anak-anak kamar agar tidak melanggar peraturan, baik membawa gawai, keluar tanpa ijin atau lainnya.
Kami kini merasakan, sulitnya para pengurus terdahulu mendidik kami. Kami kini telah tumbuh menjadi perempuan-perempuan yang lebih baik, setidaknya dalam menaati peraturan Pondok, karena kini, kamilah para Pengurusnya.
Titik tiga.
Kami tau kini, hidup ini roda, bukan hanya karena berputar, tapi juga karena terkadang jalan dijalan yang lurus, atau berkerikil, atau terkadang menanjak juga menurun.
Kami telah merasakan kerikil itu, dititik satu kami; pada masa kenakalan. Nyatanya memang benar bahwa semakin bertambah usia maka semakin hilang juga keegoisan dalam diri kami. Dan akhirnya itu menunjukan kami pada titik lain, yaitu titik yang setidaknya mulai lurus -dititik dua kami; saat menjadi Pengurus.
Tapi hidup memiliki banyak titik lainnya, mungkin juga titik tiga ini yaitu titik perpisahan. Kami belum merasakan menjadi Roda yang harus menanjak juga menurun sekaligus dan tentu harus tetap berputar.
“oh Guru..hari ini hari keramat buatmu..
Jasamu..didalam ingatan, baktimu setiasa..
Oh ahli Syurga..
Keringatmu..menjadi mutiara,
mewangi semerbak..Wangian di Syurga..
bakti dan jasamu, diingat selalu, semua terjaga..didalam ingatan
jasamu tetap,dikenang..oh Guru,,,”
Kami menyanyi bersama-sama, dalam kesyahduan. Air mata sudah merembes sejak kali pertama Reff kami nyanyikan. Ibu Nyai tak dapat menahan air matanya, jajaran Guru sudah sejak tadi mengelap mata mereka dengan tisu, adik kelas ikut menangis haru. Kami sudah tak dapat memedulikan muka acak kami didepan panggung perpisahan ini.
Kyai ikut mengantar kami dengan sambutannya, beliau berdawuh:
“Hidup akan terasa saat kalian sudah keluar dari Pondok, kalian datang karena Allah, maka hiduplah bersama Allah, dan pergilah kemanapun, asal untuk Allah. Jadilah bermanfaat bagi yang lain!”
Kami sangat menyimak dawuhan Kyai kami. Ya Allah, saat ini kami siap untuk menanjak, juga untuk turun, untukMu. Kami akan menemukan titik-titik baru diluar sana yang menemani perjalanan mimpi kami dengan bekal PesantrenMu, maka bentuklah titik-titik itu menjadi keindahan yang luar biasa, bagi kehidupan diduniaMu, juga akhiratMu.[]