Mubadalah.id – Fase perkawinan salah satu fase yang penting dalam kehidupan manusia. Bagi kebanyakan individu, pernikahan sebagai langkah untuk memperoleh keseimbangan hidup. Baik keseimbangan secara psikologis, biologis, maupun sosial dalam kehidupan rumah tangga.
Ini sesuai dengan tujuan ikatan pernikahan, yakni membangun hubungan antara laki-laki dan perempuan untuk membangun rumah tangga bagi kebahagiaan (sakinah) mereka berdua dan kebahagiaan seluruh anggota keluarga yang menjadi tanggung jawabnya. Mengingat tujuan pernikahan yang amat baik itu, maka pernikahan harus berdasar dengan kerelaan dan kemauan kedua calon mempelai.
Antara Perjodohan dan Pemaksaan
Bagi setiap individu, akad nikah jadi momen terindah dalam kehidupan. Akan tetapi, sebelum melangkah ke momen itu, terlebih dahulu setiap individu harus menemukan calon pasangannya. Bagi individu yang sudah menemukan sendiri calon pasangan yang sesuai, saling memiliki kerelaan dan kemauan, serta mendapatkan restu dari orang tua. Maka itu menjadi sesuatu yang tidak masalah dalam perkawinan. Setiap individu tentu mengharapkan menemukan pasangan yang sesuai dengan mudah.
Menjadi problem adalah bagi individu yang belum menemukan calon pasangan. Agar dapat menemukan calon pasangan, ada yang menempuh dengan tahap perjodohan, atau menjodohkan seorang laki-laki dengan seorang perempuan dan sebaliknya atas bantuan orang lain.
Dalam kebiasaannya, orang tua ikut membantu mencarikan calon pasangan. Ada pula, melalui teman atau komunitas tertentu, khalayak menyebutnya dengan mak comblang, yang membantu mencarikan calon.
Perjodohan atau menjodohkan seorang laki-laki dengan seorang perempuan atau sebaliknya, itu menjadi perbuatan yang baik, guna menemukan calon pasangan yang sesuai. Menjadi malapetaka, manakala perjodohan ini terdapat unsur pemaksaan, atau kawin paksa.
Yakni, seseorang terpaksa untuk menikah dengan seorang calon pasangan atas pilihan orang lain, dan ia tidak punya kesempatan untuk menolak atau menerima perjodohan tersebut. Sering kali pemaksaan pernikahan ini dilakukan oleh orang tua kepada anak perempuannya, dengan alasan membantu menemukan calon pasangan yang sesuai dan ideal.
Dampak Pemaksaan Perkawinan
Pemaksaan dalam pernikahan atau istilah lain, kawin paksa ini dapat menjadi malapetaka. Mengapa demikian? Melalui kawin paksa ini akan menumbuhkan bibit-bibit kebencian pada awal membangun rumah tangga. Bibit-bibit kebencian ini yang kemudian mengantarkan pada konflik dan permusuhan berkepanjangan, hingga terjadi tindakan kekerasan dalam rumah tangga.
Beban ini semakin berlipat ganda bagi anak perempuan yang menjadi korban kawin paksa. Karena perempuan akan mengalami kehamilan yang melelahkan, lalu melahirkan dan mengurus anak hingga besar. Fase-fase reproduksi yang perempuan alami ini akan menjadi semakin sulit menjalani, apabila rumah tangga dari sebuah kawin paksa.
Dampak lain dari kawin paksa adalah gangguan pada organ dan fungsi reproduksi, lebih-lebih yang bagi perempuan usia anak. Pemaksaan hubungan seksual akan berdampak pada pendarahan, iritasi, infeksi vagina, kanker serviks atau kanker leher rahim, lemah, sering pingsan dan lain-lain.
Fakta ini tidak hanya membawa dampak pada menurunnya kualitas kesehatan fisik, tapi juga melemahnya kesehatan mental perempuan, hingga mengakibatkan trauma yang berkepanjangan.
Fakta lain di lapangan, adanya kawin paksa ini menjadi penyebab perceraian yang ada di Indonesia. Sebagaimana data perceraian di Indonesia, tahun 2022, ada 377 kasus perceraian dengan alasan kawin paksa. Dari kasus perceraian akibat kawin paksa, tentu yang akan menjadi korban adalah perempuan dan anak dari pernikahan itu.
Meskipun fakta dan data menunjukkan dampak negatif yang kompleks dari kawin paksa ini nyata, sampai sekarang praktik kawin paksa masih terjadi. Pemaksaan dalam pernikahan masih ada, dan masyarakat yang melakukannya dengan dalih budaya, agama, sosial dan ekonomi.
Larangan Kawin Paksa di Indonesia
Secara jelas, di Indonesia telah mengatur bahwa perkawinan harus berdasarkan atas persetujuan kedua calon. Sebab kawin paksa ini dapat memicu terjadinya perceraian dan itu sesuai fakta di lapangan dengan adanya perceraian akibat kawin paksa.
Ini sebagaimana diatur dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pada Bab Syarat-syarat Perkawinan, pasal 6 ayat (1): “Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai”.
Sebagai lanjutan dari pasal tersebut, pada Bab Pencegahan Perkawinan, pada pasal 13 tertulis: “:Perkawinan dapat dicegah apabila ada orang yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”. Sehingg jelas, Indonesia melarang adanya kawin paksa.
Islam Melarang Pemaksaan dalam Perkawinan
Islam tidak membenarkan adanya tindakan pemaksaan dalam perkawinan. Mengenai larangan pemaksaan ini sebagaimana tergambar dalam salah satu riwayat hadis dari Imam al-Bukhari, Nabi Muhammad berkata:
لا تُنكَحُ الأَيْمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلَا تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ إِذْبُهَا قَالَ أَنْ تَسْكُتَ
“Seorang janda tidak boleh dinikahkan sebelum dimintai pendapatnya dan seorang gadis tidak boleh dinikahkan sebelum dimintai persetujuannya. Para sahabat bertanya: “Ya Rasulallah, bagaimana bentuk persetujuannya itu?” Nabi menjawab: “Bila ia diam (ketika engkau tawari).” (Shahih al-Bukhari, No. 5191).
Dalam kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, Al-Jaziri mengatakan bahwa para ulama sepakat atas akad perkawinan yang tidak sah jika ada unsur pemaksaan.
واتفق الثلاثة على عدم انعقاده بالإكراه، مثلا إذا أكره شخص آخرعلى أن يقول قبلت زواج فلانة لنفسي بوسائل الإكراه المعروفة شرعا فإنه لا ينعقد
“Tiga (imam madzhab) bersepakat atas akad pernikahan yang tidak sah jika disertai dengan pemaksaan, misalnya, ketika seseorang memaksa orang lain agar mau mengatakan: Saya terima nikah dengan perempuan tertentu untuk diriku, yang dilakukan dengan hal-hal yang dianggap sebagai pemaksaan, sebagaimana dikenal dalam syari’at, maka akad semacam itu tidak sah.” (al-Jaziri, 2003: juz 4, hal. 27).
Kerelaan Jadi Syarat Perkawinan
Bahkan jumhur ulama menjadikan keridaan dan pemilihan calon pasangan sebagai syarat perkawinan. Sebagaimana yang az-Zuhaily dalam kitab al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu, menuliskan:
الرضا والاختيار من العاقدين أو عدم الإكراه: هو شرط عند الجمهورغير الحنفية، فلا يصح الزواج بغير رضا العاقدين
“Keridlaan dan pilihan dari kedua mempelai, atau tidak adanya pemaksaan adalah merupakan syarat pernikahan menurut jumhur ulama, selain Hanafiyah, maka tidak sah pernikahan tanpa keridlaan dari dua mempelai” (az-Zuhaily, 1989: juz 7, hal. 78-79).
Kutipan di atas, mempertegas bahwa pemaksaan dalam perkawinan akan berakibat malapetaka dalam rumah tangga, terutama bagi perempuan dan anak. Oleh karena itu, perjodohan itu boleh dan bahkan perlu dalam rangka membantu menemukan calon pasangan.
Akan tetapi, jangan sampai perjodohan tersebut ada unsur pemaksaan, hingga seseorang tersebut tidak punya kesempatan untuk memilih, antara menerima dan menolak perjodohan tersebut. []