Mubadalah.id – Sekitar pertengahan tahun kemarin, saya mengikuti kegiatan pelatihan menulis cerita perubahan di Kota Cirebon. Kegiatan tersebut diinsiasi oleh Fahmina Institute dalam program bersama We Lead. Saat kami sedang asik menikmati hidangan makan siang, Mbak Sari Narulita menegur salah satu teman kami yang juga menjadi peserta kegiatan.
“Kenapa makanan kamu nggak habis? Kamu tahu fatwa KUPI II kan? Kamu nulis soal isu sampah kan? Habiskan makanannya dong!” tegur Mbak Sari
Teman kami, Aida yang saat itu sedang menjalani kehamilan trimester awal mengaku tak sanggup menghabiskan makanan karena mual. Akhirnya teman kami yang lain, Yunk yang mengambil makanan milik Aida, dan ia habiskan segera.
Jujurly, saya salut banget. Kami di lingkar jaringan KUPI terus berupaya saling mengingatkan, bagaimana agar nol sampah mulai dari diri sendiri. Bahkan terus mempraktikkan nol sampah dari rumah.
Pelan-pelan Membangun Kesadaran
Meminjam kalimat Mbak Hijroatul Maghfiroh, salah satu tim penulis dalam modul panduan pendakwah isu lingkungan yang juga diterbitkan Mubadalah.id, bahwa keterlibatan kita dalam gerakan isu lingkungan itu tidak harus mengubah kita secara total menjadi enviromentalist sejati.
Setidaknya ada keinginan dan niat belajar saja itu cukup. Lalu pelan-pelan membangun kesadaran betapa pentingnya mencintai dengan menjaga dan merawat bumi yang sudah kian renta ini.
Kita bisa melakukannya minimal mulai dari sendiri. Kurangi penggunaan plastik, ke mana mana bawa tumbler, kalau makan jangan ada sisa, dan menerapkan gaya hidup minimalis. Itu praktik kecil.
Belum bicara ke praktik lainnya. Seperti pengelolaan sampah, memilah dan memilih sampah organik-non organik, bicara perubahan iklim, emisi karbon dan lain-lain, yang kerap isu ini melangit tak membumi. Seakan isu lingkungan itu bukan bagian dari kehidupan kita. Seolah-olah isu lingkungan berasal dari belahan dunia lain.
Mandat Dakwah KUPI
Founder Mubadalah.id Dr. Faqihuddin Abdul Kodir melalui kata pengantarnya dalam Modul “Dakwah Ekologi: Panduan Daiyah Ramah Lingkungan”, bahwa Mubadalah.id sejak didirikan sebagai mandat dakwah dari Kongres Ulama Perempuan Indonesia pada tahun 2017, di mana KUPI sudah terlibat dengan kerja-kerja untuk menumbuhkan harapan soal pelestarian alam.
Problem kerusakan alam ini cukup besar dan memanggil keterlibatan semua pihak. Menurut Dr. Faqih, kita tidak bisa hanya berpangku dan menyerahkannya kepada para pejabat atau korporasi. Sekalipun kita tahu, bahwa mereka yang memiliki tanggung-jawab besar atas hal ini. Namun, kita semua, sebagai warga bumi juga memiliki tanggung-jawab, sesuai dengan kapasitas dan kemampuan masing-masing.
Hal senada juga disampaikan oleh Ibu Nyai Masruchah, Sekretaris Majelis Musyawarah KUPI dalam agenda “Halaqah Sedekah Sampah dan Peresmian Laboratorium Pengelolaan Sampah di Pondok Pesantren Kebon Jambu Al-Islamy”. Kegiatan tersebut telah berlangsung pada Sabtu, 27 Januari 2024.
Pandangan Keagamaan KUPI II
Dalam konteks KUPI II problem-problem yang ada di masyarakat salah satunya adalah soal sampah, sebagaimana dijelaskan juga oleh Ibu Nyai Masriyah Amva dalam sambutan pembuka, bahwa sampah ini adalah persoalan lama.
“Sejak hadirnya manusia, sampah itu sudah ada. Indonesia juga punya kebijakan terkait sampah. Dan tahun-tahun sebelum KUPI II digelar, kebijakan itu sudah ada. Hal itu menjadi kegelisahan ulama perempuan, sehingga persoalan sampah ini menjadikan KUPI II mempunyai pandangan keagamaan terkait pengelolaan sampah dan isu pelestarian alam.” Jelasnya.
Jika menilik visi KUPI, menurut Masruchah, sampah tidak sekadar bermakna untuk santri, untuk lingkungan pesantren, tetapi juga bermakna untuk kehidupan bangsa Indonesia. Jadi ketika sampah terkelola dengan baik, bagaimana agar sampah ini tidak merusak, tetapi sampah ini bisa menjadi emas untuk kehidupan kita. Karena dampak sampah untuk kehidupan santri, baik laki-laki maupun perempuan itu luar biasa.
Dengan demikian, Masruchah menyambut baik upaya yang telah dilakukan Yayasan Fahmina, Jaringan Pesantren Emas, dan Ponpes Kebon Jambu Al Islamy Babakan Ciwaringin Cirebon, yang telah menginsiasi laboratorium pengelolaan sampah. Harapannya langkah ini juga bisa menyasar, dan menyebar ke pesantren-pesantren lainnya.
Sampah Berdampak Buruk bagi Lingkungan
Karena berdasarkan data, setiap tahunnya Indonesia menghasilkan jutaan ton sampah makanan mulai dari tahap produksi, distribusi, sampai konsumsi. Hal ini tercatat dalam Laporan Kajian Food Loss and Waste di Indonesia (2021), hasil riset kolaborasi Kementerian PPN/Bappenas dengan Waste4Change dan World Resource Institute.
Laporan tersebut mengategorikan sampah makanan menjadi dua jenis, yaitu food loss dan food waste. Food loss adalah pangan yang terbuang pada tahap produksi, pascapanen dan penyimpanan, serta pemrosesan dan pengemasan.
Kemudian food waste adalah pangan yang terbuang pada tahap distribusi dan pemasaran, serta sisa konsumsi. Adapun sampah makanan Indonesia paling banyak berupa food waste dari tahap konsumsi, yakni bisa mencapai 19 juta ton per tahun.
Selain menjadi pemborosan, sampah makanan dari hotel, restoran, dan rumah tangga juga menghasilkan emisi gas rumah kaca yang berdampak buruk bagi lingkungan, bahkan bisa memicu pemanasan global.
Nol Sampah dari Rumah
Sementara itu Dr. Faqihuddin Abdul Kodir melalui penjelasannya dalam “”Halaqah Sedekah Sampah”, memberi pemahaman tentang mengapa menggunakan istilah “sedekah sampah”. Beliau memaparkan bahwa sedekah adalah memberikan hal-hal baik sebagaimana ungkapan Kullu Ma’rufin Shadaqatun.
Sebagaimana artikel yang ditulis Shella Carisaa, bahwa jika sampah dipilah dan dikelola dengan baik maka akan menjadi benda bermanfaat bagi komunitas, seperti pupuk, kerajinan, dll. Selain itu pengelolaan terpadu akan memberi berdampak baik bagi tanah, lingkungan, ternak, alam hingga menjadi warisan bagi anak-cucu dan keturunan bangsa ini.
Berlandaskan harapan sedekah sampah dapat memberi manfaat itulah, maka pengelolaan sampah menjadi kewajiban kolektif baik individu, kelompok, organisasi maupun pemerintah. Semua pihak harus ikut serta menjaga kelestarian lingkungan dengan peduli terhadap sampah-sampah yang dihasilkan oleh manusia setiap harinya.
Maka dengan demikian, setiap dari kita bisa mengupayakan nol sampah dari rumah. Ponpes Kebon Jambu telah memulai insiatif baik tersebut. Saatnya kini, kita pun bersama-sama mengimplementasikan Fatwa KUPI II terkait pengelolaan sampah untuk keberlanjutan lingkungan dan masa depan umat manusia. []