Mubadalah.id – Dalam peribadatan di Islam, pernikahan adalah menjadi ibadah yang mempunyai periode yang panjang. Tentu, dalam mewujudkan hal itu menjadi sesuatu yang perlu butuh persiapan dan pertimbangan yang kompleks.
Sederhananya, pernikahan tidak dapat kita wujudkan hanya bermodalkan suka sama calon pasangan, tanpa harus memikirkan dan mempersiapkan hal lainnya. Misalnya kesiapan secara mental, materi, dan lain sebagainya.
Terlepas dari itu, pernikahan adalah ruang bersama antara suami dan istri dalam mencapai hak kebahagiaan, keadilan, ataupun kesetaraan.
Dalam hal ini, tidak ada satupun di antara suami dan istri membangun pernikahan hanya karena landasan untuk menyakiti satu sama lain.
Tetapi, dalam realitas kehidupan seringkali banyak di antara kita menemui sosok suami yang tiba-tiba ingin melakukan poligami karena alasan mengikuti sunnah Nabi atau untuk memenuhi kebutuhan hasrat hawa nafsu seksualnya.
Bukankah hal itu malahan dapat menyakiti perasaan perempuan dan merupakan bentuk manifestasi dari sikap ketidakadilan yang diperbuat oleh suami terhadap istrinya? Lantas apakah kita bisa menghindari poligami?
Prinsip Monogami
Padahal jika menilik terkait penjelasan dalam al-Quran mengenai poligami, misalnya dalam dua ayat berikut ini:
Q,S. An-Nisa, 4:3. Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki”.
Dan, dalam penjelasan Q.S. An-Nisa, 4: 129.
Artinya: “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istri kamu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian”.
Dalam penjelas dua ayat tersebut, saya kira sudah sangat jelas bahwa prinsip dalam mewujudkan pernikahan dalam Islam adalah monogami. Walaupun poligami dihukumi sah, tindakan poligami merupakan bagian yang tidak biasa dalam Islam, paling tidak telah menyimpang dari prinsip monogami yang menjadi prinsip dalam mewujudkan pernikahan yang ideal dalam Islam.
Dalam pandangan Islam, sebenarnya poligami tidak berarti bentuk penyimpangan seksual karena terdapat kehalalannya.
Namun, kehalalan ini tidak cukup, sebab kini terdapat kritik bahwa poligami merupakan bentuk tindakan yang tidak merepresentasikan sikap adil.
Adanya Kritik terhadap Ulama Klasik dalam Penafsirannya Terkait Makna Poligami
Tentang kritik terhadap makna poligami, muncul dari Fatima Mernissi, salah satu tokoh feminis Islam asal Maroko.
Menurut Mernissi, al-Quran tidak sama sekali menetapkan justifikasi, tapi ulama-ulama yang mempunyai otoritas (dalam konteks ini adalah Ghazali) yang memperlakukan ketetapan terhadap isi atau makna dalam al-Quran.
Tindakan pembenaran yang Ghazali lakukan ini, menurut Mernissi merupakan bentuk kecacatan dalam memaknai teori-teori kalangan muslim terkait seksualitas Islam.
Bagi Mernissi, poligami hanya sebatas ruang pemberian hak terhadap pihak laki-laki saja. Di mana hanya laki-laki yang diberikan keluasan seksualitasnya untuk memperturutkan nafsu sampai titik batas tanpa memperhatikan kebutuhan-kebutuhan kaum perempuan. Seakan perempuan hanya mereka jadikan sebagai alat pemuasan belaka.
Pendapat Mernissi memperlihatkan pada kita bahwa jika kita lihat dari aspek seksualitas, poligami dapat mendatangkan kerugian terhadap kaum perempuan. Alasannya karena pengaplikasian poligami tidak pernah mempertimbangkan kepentingan seksualitas perempuan.
Padahal dalam al-Quran sudah jelas mengatakan bahwa kepentingan seksualitas laki-laki sangat diperhatikan. Yakni dengan menghadirkan peringatan bahwa kamu (laki-laki) tidak akan mampu dalam menegakkan berbuat adil. Bahwa, ketidakmampuan berbuat adil tersebut tertuju kepada kalangan laki-laki yang akan melaksanakan poligami.
“Dan kamu tidak akan dapat berbuat adil di antara perempuan walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian.” (Q.S. an-Nisa’ 4: 129).
Menghargai Seksualitas Perempuan
Isyarat yang terkandung dalam penjelasan ayat ini sebenarnya juga memuat pemahaman bahwa laki-laki agar dapat menghargai seksualitas perempuan. Hal ini berdasarkan pada keinginan perempuan yang tidak ingin berada dalam pernikahan poligami.
Namun, hal ini seringkali gagal kita cerna. Kemudian menjadi petaka atau terjerumus melakukan poligami itu sendiri. Seperti memperlihatkan bagaimana ketidakmampuan kaum laki-laki dalam menegakkan keadilan, sementara di sisi yang lain dapat menyakiti perasaan perempuan (istri) karena diduakan.
Kita harus merenungkan kembali bagaimana poligami seringkali tidak memperhitungkan perasaan perempuan. Tidak seorang pun perempuan yang ingin dipoligami oleh suaminya. Oleh karena itu, menghindari poligami bisa menjadi wujud penghargaan terhadap perempuan.
Poligami bukanlah satu-satunya cara untuk memperluas ruang seksualitas laki-laki. Tetapi dengan menghargai kebutuhan seksualitas perempuan, kita bisa menciptakan hubungan yang lebih adil dan bermartabat dalam pernikahan. []