Mubadalah.id – Bila mendegar keluhan teman-teman yang mendedikasikan hidup sebagai ibu rumah tangga penuh waktu, saya tak pernah bisa benar-benar memahami. Bukankah waktu yang begitu lapang memudahkan seseorang untuk dapat berbuat banyak hal dan memaksimalkannya?
Namun, keluh-kesah senantiasa terdengar. Kadang keluhan terungkap di media sosial dan banyak juga yang mengeluh ketika tengah menjalin percakapan. Hal ini membuat saya terus bertanya-tanya: apa yang sebenarnya terjadi?
Bosan dan Hampa
Untuk memvalidasi perasaan tersebut, saya mencoba stay di rumah selama tujuh hari penuh. Saya memutuskan untuk cuti kerja dan berdiam dalam rumah. Lagi pula, saya memang tak pernah benar-benar stay dalam rumah tanpa melakukan apa pun kecuali untuk menyelesaikan tugas domestik, itu pun tidak setiap hari.
Sebelum menikah, saya dan suami sepakat untuk berbagi tugas domestik. Bila saya memasak, suami yang akan mencuci alat-alatnya. Jika saya mencuci baju, maka ia yang akan merapikan dengan setrika. Sepanjang tujuh hari itu, saya memutuskan untuk melakukan semuanya sendirian.
Pada hari-hari biasa, saya akan bangun pagi, mengerjakan pekerjaan domestik yang saya rasa perlu, dan memasak sarapan. Pukul setengah sepuluh pagi, saya pergi bekerja dan pulang di sore hari. Segera setelah pulang kerja, saya bergantian dengan suami memasak makan malam. Kami akan makan malam bersama dan saling bercerita. Bila tidak memasak, kami membeli masakan di warung dekat rumah.
Hari pertama, Senin, usai memasak sarapan, saya menonton series di Netflix hingga siang atau sore hari. Binge watching diselingi membaca buku, menggoda kucing-kucing tetangga, dan asyik scrolling media sosial. Bila sudah bosan, saya beralih ke dapur dan memasak. Di waktu-waktu itu, bila menyadari tengah sendirian, saya akan menghela napas panjang dan diam agak lama.
Dunia saya saat itu hanya sepetak bangunan yang membatasi saya dari dunia luar. Agar tidak pergi ke mana pun, saya membeli kebutuhan dapur di e-commerce dan memakai jasa kirim instan.
Mengatasi Perubahan Pola Hidup
Pada hari ketiga, suami mulai khawatir. “Kamu tidak ke mana-mana?” tanya dia. Saya mengangguk penuh dan menjelaskan bahwa saya ingin merasakan menjadi ibu rumah tangga penuh waktu. Ia pun dapat mengerti mengapa saya melakukan ini.
Sepanjang tujuh hari, tak ada hal menarik yang bisa saya ceritakan pada suami bila sedang makan malam bersama. Bila di hari-hari bekerja saya akan bercerita ini-itu, di tujuh hari ini, saya hanya menceritakan kembali alur cerita series yang telah saya tonton, buku apa yang saya baca di hari itu, apa yang terjadi dengan kucing-kucing, dan mengemukakan bagaimana cara memasak menu sarapan, makan siang, dan makan malam.
Pada hari ketujuh, saya merasa kosong. Perut saya penuh, tapi tak ada tenaga. Sepanjang hari Minggu, saya lemas tak berdaya. Rutinitas yang itu-itu saya membuat tubuh saya ringkih. Bila bosan dan tak sengaja ketiduran, saya akan bangun dengan pening di kepala dan sesak dalam dada. Di hari terakhir itu, saya memutuskan untuk pergi ke kedai kopi dan melepas penat.
Tujuh hari yang saya alami tak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan tahun-tahun yang telah dilalui para ibu rumah tangga penuh waktu. Saya jadi merasa ngeri sendiri, bagaimana mereka dapat kuat secara fisik dan mental, terutama bagi para perempuan yang memutuskan untuk berhenti bekerja setelah menikah?
Bagaimana cara mereka mengatasi perubahan pola hidup yang biasa berangkat pagi—pulang sore/malam untuk bekerja dan menjadi ibu rumah tangga yang sepanjang waktu berada di rumah?
Rentan Stres dan Depresi
Kebosanan dan kehampaan yang saya rasakan hanya secuil dari apa-apa yang para ibu rumah tangga alami penuh waktu dan ibu yang bekerja di luar sana. Sebagai perempuan yang bekerja, saya memiliki ruang dan waktu untuk kehidupan lain, di luar urusan rumah tangga. Sementara bagi ibu rumah tangga penuh waktu, kehidupan yang lain tidaklah ada. Yang ada hanyalah rasa bosan dan kehampaan yang harus siap ia hadapi sepanjang hari.
Bila sudah memiliki anak, rasa bosan dan hampa akan lebih kompleks. Waktu-waktu yang mengawang itu bercampur dengan kesiagaan penuh untuk menjadi penjaga bagi anak. Apalagi tanpa pengasuh. Apalagi ibu yang bekerja tanpa pengasuh. Ditambah society yang menuntut peran ibu mesti sempurna tanpa cela. Belum lagi kerumitan berinteraksi dalam kondisi tertekan. Semuanya begitu rumit.
Pada 2019, WHO merilis data bahwa di seluruh dunia, sekitar 10% ibu hamil dan 13% ibu melahirkan mengalami gangguan mental. Mayoritas mengalami depresi awal. Di negara berkembang, angka tersebut bahkan lebih tinggi yaitu sekitar 15,6% selama hamil dan 19,8% setelah melahirkan. Gangguan mental muncul karena faktor lingkungan yang belum mampu menjadi support system yang kondusif bagi kesehatan mental ibu.
Dalam indepth Halodoc bertajuk Fakta Kesehatan Mental Ibu Rumah Tangga dan Ibu yang Bekerja (2021), dr. Rilla Fitrina Sp. KJ, dokter spesialis kedokteran jiwa, menyatakan bahwa stres dan depresi adalah dua masalah kesehatan mental yang sangat rentan terjadi pada ibu. Stres dideskripsikan sebagai kondisi saat seseorang tidak mampu lagi mengatasi tekanan mental atau emosional yang dialaminya.
Me Time yang Minim
Data dari Survei Orami, 40% perempuan di Indonesia merasa lelah, takut, dan marah setelah menjadi seorang Ibu. Kondisi tersebut muncul karena me time yang minim. Ibu yang tidak memiliki waktu untuk diri sendiri dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kurangnya dukungan dari lingkungan, pasangan dan keluarga.
Survei juga menunjukkan bahwa 7 dari 10 Ibu belum pernah mengakses layanan psikolog. Ada yang merasa belum membutuhkan, tidak memiliki waktu dan biaya, serta memiliki support system (suami, anak dan keluarga) yang cukup baik.
Data-data tersebut adalah fakta yang dapat menjadi pijakan. Kita tak bisa berpaling darinya dan tak bisa berpura-pura tidak mengetahuinya. Menjadi ibu rumah tangga penuh waktu bukanlah hal yang mudah. Kehidupannya adalah pengorbanan yang tak dapat semua orang berikan. Mereka bukan sekadar stay di rumah, mereka justru mampu melakukan banyak hal hanya dari dalam rumah.
Sampai di titik ini, saya pun sadar, betapa sulitnya menjadi ibu rumah tangga penuh waktu. Baik yang belum atau sudah punya anak, keduanya memiliki tantangan masing-masing. Di tengah kebosanan dan kehampaan yang mengintai, gangguan kesehatan mental juga berpotensi menggerogoti dari dalam diri.
Ketika merasa bosan dan hampa sepanjang tujuh hari itu, saya mendambakan teman bicara untuk mengobrol. Sayangnya, semua tetangga tengah bekerja dan kami tinggal jauh dari keluarga. Padahal, kehadiran dan support orang-orang terdekat adalah hal yang paling dibutuhkan.
Sudahkah kita menjadi support system yang baik untuk para ibu rumah tangga di sekitar kita? []