Mubadalah.id – Pada abad ketujuh Masehi, Islam adalah agama yang telah menegaskan bahwa: Pertama, perempuan adalah manusia. Kedua, setiap manusia hanyalah hamba Allah Swt. Ketiga, setiap manusia adalah khalifah fil ardh yang punya mandat mewujudkan kemaslahatan seluasnya di muka bumi.
Artinya, laki-laki dan perempuan hanya hamba Allah Swt. Perempuan bukan hamba laki-laki, dan keduanya mesti aktif bekerja sama mewujudkan kemaslahatan seluasnya di muka bumi.
Selama 23 tahun, Islam melakukan perubahan besar-besaran terkait relasi laki-laki dan perempuan. Islam menegaskan bahwa perempuan adalah manusia, bukan harta benda.
Karenanya, mereka bisa memiliki harta melalui mahar, waris, dan bekerja. Bahkan, hak mereka atas harta diakui sampai setelah matinya. Setelah mati, harta perempuan tidak otomatis dikuasai suami atau ayahnya. Melainkan tetap menjadi hartanya yang harus dibagi kepada ahli waris yang terhubung dengannya. Peristiwa ini terjadi di abad ketujuh masehi.
Sementara itu, sampai 1805, Inggris masih mempunyai aturan perundangan yang membolehkan suami menjual istrinya. Pada 1882 mereka baru mengakui perempuan bisa memiliki harta. Peristiwa ini terjadi di abad kesembilan belas masehi.
Sampai sini, pertanyaan dalam judul sudah terjawab. Betapa bersyukurnya kita bisa memeluk Islam yang mempunyai ruh memanusiakan perempuan sejak kehadirannya. Tentu, pemahaman umat atas Islam belum tentu seindah agamanya. Sebab, dalam pemahaman ada proses ikhtiar manusia yang sangat menentukan.
Jika keadilan gender Islam, yakni Islam yang adil pada laki-laki dan perempuan adalah jiwa Islam, maka tanpanya, pemahaman Islam bagaikan tubuh tanpa jiwa. Lama-lama kaku dan menyeramkan. Pertanyaan lebih dulu Barat atau Arab, bukan untuk adu keren. Tetapi untuk menelusuri asal keadilan gender Islam, apakah dari luar atau dari dalam Islam. []