Manusia tidak pernah lepas dari kehidupan sosial, di mana dalam kehidupan sehari-hari segala sesuatu yang terjadi merupakan hasil buah dari pikiran dan tindakan yang dipelihara sebagai tindakan nyata yang seharusnya berdasarkan pada kesadaran (esensi). Namun hal tersebut sangat jarang disadari karena kecenderungan manusia hanya fokus pada kenyataan fisik lahiriah saja.
Jika kita berbicara mengenai konstruksi sosial di dalam masyarakat ini sangat kuat sekali, yang melahirkan aturan main yang dibuat oleh masyarakat itu sendiri. Dalam istilah lain bahwasannya konstruksi sosial merupakan pembentukan suatu sistem yang berkonsep pada sosial budaya yang dilakukan secara terus-menerus sehingga jika ada sedikit saja perbedaan maka akan dianggap tidak mentaati aturan atau sistem yang ada. Salah satunya adalah ketika perempuan memilih untuk tidak memiliki anak.
Adanya realitas sebuah rumah tangga tanpa anak akan mendapatkan stigma dari masyarakat, sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa satu-satu yang menyandang beban dan yang paling tersudutkan adalah perempuan. Berbagai stigma akan datang, mulai dari kemandulan, tidak becus menjadi istri, dan pelabelan perempuan tidak sempurna akan melekat pada diri perempuan.
Hal ini dikarenakan lingkungan masyarakat kita masih saja beranggapan bahwa perempuan yang sempurna adalah perempuan yang memiliki anak, jika belum memiliki anak maka belum bisa dikatakan sebagai perempuan yang sempurna dan seolah-olah belum bisa menjadi perempuan seutuhnya.
Setiap pasangan yang akan menikah, tujuan awal dari pernikahan tersebut adalah ingin memiliki anak, sebagai garis keturunan yang tidak terputus. Belum lagi tuntutan dari keluarga, sahabat, dan tentunya masyarakat. tuntutan dari keluarga terdekat pun tidak akan pernah berhenti sehingga setiap pasangan yang tidak atau belum mendapatkan karunia buah hati mencapai titik klimaks keputusasaan.
Itulah mengapa banyak sekali orang tua atau bahkan suaminya sendiri menginginkan menikah lagi dengan perempuan lain agar mendapatkan anak. Dan tentunya perempuan tidak punya banyak pilihan, hanya ada dua pilihan, berpisah atau rela diduakan. Jika memilih untuk bertahan, mau tidak mau, suka tidak suka setiap hari akan bergelut dengan rasa sakit secara lahiriah maupun bathiniah.
Sementara jika memilih berpisah akan menyandang status perempuan egois dan tidak tahu diri. Dari hal tersebut membuktikan bahwa, perempuan bukan hanya sering dianggap objek, namun juga sebagai mesin pencetak anak. Beban-berlapis tetap ditempatkan pada pundak perempuan. Lalu, bagaimana dengan perempuan yang memilih tidak menginginkan anak?
Saya sangat yakin, segala sumpah serapah akan menjadi makanan sehari-hari. Akan banyak komentar pedas dan tentunya pasti akan ada yang bilang “Menyalahkan kodrat”, hal ini sangat ironi sekali bagi saya, bahwa ternyata konstruksi sosial berhasil merenggut rasa empati dari diri seseorang, bahwasannya masyarakat kita masih saja berkutat pada pemahaman dan mempercayai bahwa kontruksi sosial sudah menjadi kodrati perempuan.
Seolah-olah sudah menjadi hal yang tabu jika perempuan memilih untuk tidak memiliki anak. Setiap hal yang dilakukan adalah pilihan termasuk memiliki anak. Saya sangat percaya bahwa ketika memilih tidak ingin punya anak pasti ada alasan konkrit yang memang perlu dipahami dengan penuh rasa empati dan dukungan, tanpa lagi banyak tanya yang semakin menyudutkan posisi perempuan.
Menjadi orang tua bukanlah hal yang mudah. Melahirkan anak manusia tidak sama dengan melahirkan anak kucing yang cukup hanya diberi susu dan makan saja lalu tumbuh besar. Tidak semudah itu. Banyak perhitungan dan pertimbangan untuk menjadi orang tua. Kesiapan mental yang harus dikedepankan, kebutuhan finansial yang harus dipikirkan.
Saya sering mendengar banyak yang bilang “banyak anak banyak rezeki” lanjutnya, tidak perlu takut untuk punya anak. Pertanyaannya cukupkah kalimat tersebut untuk memenuhi perut kosong? Tidak salah jika berpegang teguh dengan keyakinan tersebut. Namun tentunya kita harus realistis. Semakin banyak anak, maka semakin banyak pengeluaran ditambah jika pekerjaan yang dimiliki tidak memadai. Akan sangat tidak etis jika anak yang dilahirkan tidak mendapatkan hak-haknya seperti pendidikan, kesehatan, kehidupan sosial dan ekonomi yang mencukupi.
Apalagi jika secara mental dan emosi sebagai orang tua belum siap, menjadi ibu rumah tangga atau pekerja sama-sama memiliki tingkat stress tertentu. Berdasarkan data NICHD Study of Early Child Care and Youth Development (SECCYD), menjadi orangtua berarti kita harus memfokuskan pada aspek kesehatan mental, menangani konflik antara pekerjaan dan keluarga, terlibat dalam perkembangan anak di sekolah, dan sensitivitas lain mengenai parenting.
Jika tingkat emosi seseorang belum siap, ini akan sangat berpengaruh pada perkembangan keluarga dan kognitif anak. Maka memilih untuk tidak memiliki anak mungkin adalah hal yang masuk akal dan sebuah pilihan yang realistis. Kemudian tubuh juga hak sepenuhnya milik perempuan yang punya hak untuk melakukan apapun. Demi kesehatan mental, demi anak-anak yang dibesarkan oleh ibu yang sehat, bukan ibu yang pasrah.
Demikian yang disampaikan oleh psikolog Monica Sulistiawati, menjadi orangtua adalah proses belajar yang tidak pernah berakhir. Itu sebabnya, pasangan yang sudah menikah harus benar-benar mempersiapkan diri untuk menjadi orangtua. Alasannya sederhana, ketika orangtua saja tidak siap memiliki anak, maka ia tak bisa maksimal dalam merawat buah hati.
“Ketidaksiapan ibu memengaruhi emosi anak. Jadi orangtua perlu persiapan yang matang. Kalau tidak siap, tidak usah punya anak. Karena kalau tidak, akan berbahaya untuk psikologis anak,” ujar Monica dalam temu media yang dihelat Mothercare.
Dan tentunya, hingga kapanpun tubuh perempuan tetap merupakan otoritas dirinya. Ketidaksiapan memiliki anak harus tetap dihargai. Melahirkan dan memiliki anak itu adalah pilihan. Dan tentunya tetap dalam pertimbangan yang mendekatkan pada nilai-nilai kebaikan, ataupun sebaliknya.[]