Mubadalah.id – Identitas keulamaan yang selama ini dikonstruksi sebagai arus utama peran laki-laki dalam banyak konstelasi, terutama perihal habitus keberagamaan, sesungguhnya menyimpan ’’kecelakaan sejarah’’ yang banyak meminggirkan dan menegasikan keberadaan perempuan.
Muhammad Al-Habasy dalam buku Al-Mar’ah Baina al-Syari’ah wa al-Hayah memberikan gambaran miris bagaimana perempuan berada di ruang terbatas yang tidak bebas dengan akses sosial.
Melalui prinsip sadd al-dzari’ah (upaya preventif agar tidak terjadi sesuatu yang negatif) yang disampaikan banyak ulama laki-laki dalam serial fatwa dan alasan keagamaannya, perempuan dipandang semata-mata sebagai aurat yang harus dipelihara dan fitnah yang dihindari.
Dampaknya, fatwa yang bias gender tersebut berlangsung berabad-abad dan teramini berbagai budaya masyarakat yang berciri feodalistis.
Setidaknya, sejarah RA Kartini menjadi saksi bagaimana keberadaan perempuan menjadi korban feodalisme masyarakat saat itu. Sehingga keberadaannya hanya menjadi sosok pingitan.
Padahal, dalam dunia fikih, ada beragam corak pemikiran yang mencerahkan (tsarwatul fiqhiyah). Yaitu sebagai metode istinbath hukum yang memungkinkan perempuan bisa memainkan perannya sebagai makhluk sosial.
Setidaknya, konsep fath al-dzari’ah (membuka pintu alternatif untuk memperbolehkan sesuatu) merupakan konsep lanjutan dari sadd al-dzari’ah yang bisa memosisikan perempuan sebagai makhluk sosial yang bisa setara dengan laki-laki.
Tetapi, mengapa sadd al-dzari’ah selalu menjadi alasan untuk membatasi ruang gerak perempuan. Dan mengapa fath al-dzari’ah tidak menjadi panduan pula dalam fatwa serta keulamaan mereka.
Dalam kaitan ini, fath al-dzari’ah merupakan salah satu prinsip kemaslahatan yang dijadikan sebagai kerangka maqashid. Hal ini, untuk memberikan berbagai jalan alternatif terhadap berbagai ketidakmungkinan bagi seseorang untuk melakukannya.
Misalnya, bagi kaum perempuan yang ingin mengekspresikan potensinya di ruang publik. Karena selama ini tidak boleh lantaran berbagai aturan lokal dan pemilik kuasa pengetahuan telah sepakati. Terutama kaum laki-laki.
Bahkan atas dasar pertimbangan hukum agama yang diyakini, sesungguhnya melalui prinsip fath al- dzari’ah dapat diberikan jalan keluar lain yang bisa memfasilitasi peran perempuan dan tidak mengorbankan potensi perempuan hanya karena tubuh perempuan dipersepsikan sebagai aurat yang harus dijaga. []