Mubadalah.id – Di dalam ajaran Islam, langkah terbaik untuk menghindari perceraian adalah suami istri kembali kepada niat perkawinan, yakni menjadikannya sebagai lahan ibadah kepada Allah dan saran menjalin silaturrahim.
Hal ini diisyaratkan dalam al-Quran surat an-Nisa’ ayat 1:
يا اْيها النا س اتقو ربكم الدْي خلقكم من نفس وا حدة وخلق منها زوجها وبث منهما رجلا كثيرا ونساء واتقواالله الدْي تسا ءلوبه والارحا م ان الله كا ن عليكم رفيقا
Artinya: Wahai manusia, bertaqwalah kepada Tuhan kamu yang telah menciptakan kamu dari satu jiwa itu pasangannya dan menebar dari keduanya (keturunan) laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang kamu saling meminta (bantuan) atas namaNya dan (bertakwalah) menyangkut sanak kerabat. Sesungguhnya Allah Maha Ada atas kalian sebagai pengawas. (QS. an-Nisa ayat 1)
Sakinah
Perkawinan juga diselenggarakan dalam rangka mencapai sakinah, mawaddah dan rahmah, sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur’an Surat ar-Rum ayat 21:
ومن اْياته آن خلق لكم من أْنفسكم اْزوجا لتسكنوا اليها وجعل بينكم مودة ورحمة ان في دْلك لايات لقوم يتفكرون
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda (kemahaan)–Nya Dia telah menciptakan untuk kamu dari golongan kamu sendiri pasangan-pasangan hidup agar kamu bisa tenang mengarah kepadanya dan dia telah menjadikan di antara kamu rasa saling cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (Kemahaan-Nya) bagi kaum yang berpikir. (QS. ar-Rum ayat 21)
Semua dilakukan dalam kesadaran penuh bahwa suami dan istri adalah manusia yang sama-sama menginginkan kebahagiaan, keadilan, dan kesetaraan perlakuan.
Niat yang dilakukan di atas asas keadilan, kesetaraan dan kebahagiaan bersama, akan mencegah munculnya egoisme, dominasi, beban berlebih dan kekerasan. Niat yang demikian juga akan membentengi pasutri dari perselingkuhan dan pengkhianatan cinta. Bahkan menghindari dari perceraian.
Sebaliknya, niat yang demikian akan melahirkan pola pikir dan pola perilaku saling tolong menolong, dan saling memahami. Hingga akan berujung pada keluwesan berbagi peran demi kebahagiaan keluarga.
Sebaliknya, jika kesempatan untuk meraih kesejahteraan keluarga ada pada istri. Atau istri mendapatkan amanat tugas publik yang berat dan menyita waktu dan pikiran. Maka suami pun bisa menerima dan siap menghandle pekerjaan domestik yang bisa ia lakukan tanpa rasa rendah diri. []