Mubadalah.id – Ada seorang rahib Yahudi yang sering bertandang ke rumah Nabi Muhammad Saw. Ia sesungguhnya sudah terkesima dengan akhlak mulia nabi. Ia juga sudah sering mendengar tentang sikap lemah lembut nabi dan sikap maaf nabi yang begitu tinggi, terutama pada situasi yang memaksa banyak orang justru marah besar.
Sang rahib Yahudi beberapa kali bertandang ke rumah Nabi Muhammad Saw., masih juga belum melihat sikap lemah lembut dan pemaaf pada situasi genting. Ia tidak ingin hanya mendengar. Ia ingin melihat sendiri. Untuk itu, ia berpikir mau menguji sendiri secara langsung.
Tibalah saatnya, ketika Nabi Muhammad Saw. sedang bersama Ali bin Abi Thalib Kw. Ada seorang laki-laki dari kampung datang menghadap. Ia bercerita bahwa ia telah mengislamkan suatu kampung.
“Namun, aku menjanjikan mereka: jika kalian masuk Islam, kalian akan memperoleh bantuan serta rezeki yang banyak. Ndilalah, sekarang musim paceklik. Tanaman tidak tumbuh, makanan kurang, dan semua kebutuhan serba tersendat.”
“Ya Rasul, aku khawatir mereka akan kembali keluar dari Islam karena diiming-imingi sesuatu oleh orang tertentu, sebagaimana mereka masuk Islam, karena aku iming-imingi dengan bantuan dan rezeki yang banyak,” kata laki-laki tersebut kepada Nabi Muhammad Saw.
“Lalu, apa maumu?” tanya Nabi Muhammad Saw.
“Bisakah engkau memberiku sesuatu untuk aku kasihkan kepada mereka, agar mereka tetap dalam agama Islam?” pinta laki-laki dari kampung tersebut.
Memberi Isyarat
Lalu, Nabi Muhammad Saw. menoleh kepada Ali bin Abi Thalib Kw., memberi isyarat untuk diberikan kepadanya sesuatu dari perbendaharaan yang masih tersedia.
“Semua persediaan telah habis, wahai Rasul,” jawab Ali bin Abi Thalib Kw. sambil menggelengkan kepala.
Kemudian, sang rahib Yahudi itu memiliki kesempatan untuk mendekat kepada Nabi Muhammad Saw. untuk menawarkan sesuatu.
“Aku punya uang. Aku bisa kasihkan kepadamu, dan sebagai gantinya, aku minta kurma yang dimiliki si Fulan, saat panen semuanya menjadi milikku,” kata rahib yang bernama Zaid bin Sa’nah itu.
“Tidak begitu, wahai teman Yahudiku. Takutnya, kurma si Fulan tidak berbuah saat panen. Begini, aku terima uangmu sebagai bayaran atas kurma dalam jumlah tertentu, yang nanti saat panen aku kumpulkan dari berbagai tempat, seharga uangmu itu,” jawab Nabi Muhammad Saw.
“Ya, aku terima,” kata sang rahib sambil memberikan sejumlah uang tersebut. Nabi Muhammad Saw. menerimanya dan memberikan kepada laki-laki kampung tersebut.
“Ini kamu bawa dan berikan kepada orang-orang kampung itu untuk memenuhi kebutuhan mereka,” kata Nabi Muhammad Saw. kepada laki-laki yang dari kampung itu.
Saat panen kurma tiba, namun masih kurang dua hari dari perjanjian pembayaran, sang rahib datang menemui Nabi Muhammad Saw. Sambil memasang muka marah, dengan menarik baju dan selendang Nabi Muhammad Saw., sang rahib menagih dengan suara lantang.
“Muhammad, bayar kurma-kurma yang menjadi utangmu itu sekarang juga, jangan ditunda-tunda! Bukankah keluargamu sudah dikenal tidak menunda pembayaran utang?” pekik sang rahib itu.
Beberapa sahabat Nabi Muhammad Saw. marah melihat perilaku sang rahib. Umar bin Khathab Ra. maju dan menjawab sang rahib:
“Hai musuh Allah, kamu bicara keras begitu kepada Rasulullah dan berbuat seenaknya kepada beliau di hadapanku. Demi Allah, jika saja aku tidak khawatir perasaan beliau, aku akan penggal lehermu dengan pedangku ini.”
Penuh dengan Ketenangan
Rasulullah Saw. melihat semua kejadian ini dengan penuh tenang. Lalu, beliau memanggil Umar bin Khathab Ra. dan bersabda:
“Wahai Umar, aku dan ia (sang rahib) tidak membutuhkan caramu yang seperti itu. Mengapa kamu tidak memintaku untuk membayar utang dengan baik, dan kamu memintanya untuk menagih utang juga dengan baik. Umar, tolong kamu ambil kurma yang menjadi haknya itu, dan tambahkan 20 sha’ (52 kg) sebagai tebusan karena membuatnya ketakutan.”
Kemudian Umar bin Khathab Ra. pergi mengambil sejumlah kurma yang menjadi hak yang harus dibayarkan kepada sang rahib, dengan tambahan 20 sha‘ sebagaimana perintah dari Nabi Muhammad Saw. Ia memberikan kurma itu kepada sang rahib.
“Apa ini? Jadi banyak sekali,” tanya sang rahib.
“Ini kurma yang menjadi hakmu, dilebihkan 20 sha‘ atas perintah Rasulullah karena aku telah membuatmu ketakutan dengan pernyataanku tadi,” jawab Umar bin Khathab Ra.
“Oh, tidak perlu semua tambahan itu, wahai Umar,” kata sang rahib. “Aku memang sejak awal sengaja ingin memancing kemarahan Muhammad. Aku ingin menguji sejauh mana kebenaran sikap lembut dan pemaaf Muhammad. Dan, sekarang, aku telah menyaksikannya sendiri.” .
Kemudian, sang rahib terpesona dengan sikap lembut yang diteladankan oleh Nabi Muhammad Saw. Dengan diantar oleh Umar bin Khathab Ra., sang rahib datang menemui nabi dan masuk Islam.
“Asyhadu allaa ilaaha illallaah wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhuu wa rasuuluh,” tegas sang rahib dengan penuh keyakinan.”
Demikianlah kisah akhlak lembut Nabi Muhammad Saw. Terhadap non-muslim yang membuat terpesona seorang rahib Yahudi.
Kisah ini adalah teladan nabi bagi umat beliau untuk selalu berbuat baik, bersikap lembut, berelasi sosial secara bermartabat, membayar ketika berutang, menolong ketika orang-orang perlukan, dan menolak untuk berbuat zhalim. Termasuk kepada orang-orang yang tidak beragama Islam. Inilah ajaran dasar Islam yang rahmatan lil ‘alamin dan akhlak mulia Nabi Muhammad Saw. []