Mubadalah.id – Perempuan terlihat setengah tua itu tengah menyiapkan buku Qiroati (buku tuntunan belajar membaca Al-Quran) yang akan dibawa anak lelakinya untuk belajar mengaji. Sepulang sekolah dasar, anak lelaki itu tidak sempat bermain bersama teman sebayanya. Ia bergegas mandi, berganti baju lalu berangkat lagi untuk sekolah mengaji di sore hari.
Usai berpakaian rapi, ia meminta satu lembar uang lima ribu sebagai bekal, lalu bergegas mencium tangan ibunya. Sang ibu mendekap tubuh kurusnya dengan kuat, mencium kening, dan berpesan: ”Jangan nakal di tempat ngaji ya! Minggu depan ada hafalan surat pendek lho kata Abah Nu’man”.
Perempuan ayu berkulit kuning langsat dan berpostur tinggi itu itu nampak lebih tua dari usia sebenarnya. Ia biasa dipanggil Muna, tentu itu bukan nama sebenarnya. Umurnya baru mau mendekati kepala tiga. Cerita kelam yang ia lalui telah membuat semuanya melaju begitu cepat, melebihi teman-teman sebayanya.
Umur hanyalah bilangan angka, tetapi raut muka, kulit, rambut, tulang-tulang yang menyangga tubuhnya terasa begitu cepat sekali menua. Hidup di dunia malam yang lekat dengan pengaruh polusi asap rokok dan alkohol, mungkin menjadi musabab utamanya. Kepiluan hidup yang sudah ia alami sejak hamil di usia kelas 2 SMA akhirnya berakhir di sini, di Gang Dolly, kawasan lokalisasi prostitusi di Surabaya.
Jangan pernah bertanya siapa ayah anak lelaki semata wayangnya itu. Hingga kini pun ia belum mengurus akta kelahiran. Bukan soal biaya, ia sudah putus asa membayangkan rumitnya birokrasi dan berbagai pertanyaan yang akan menumbuhkan luka perih.
Meski ia tinggal dan mengais rezeki di Gang Dolly, Muna bertekad kuat untuk meneguhkan harapan kecil kepada Gesi, putra semata wayangnya. Ia bermunajat: ”Setelah Gesi tamat Sekolah Dasar, saya akan segera mengirimnya ke Pondok Pesantren untuk belajar agama. Setelah bekal agamanya kuat, saya pasrahkan kepada ALLAH untuk membawanya entah kemana”.
Harapan itu ia sampaikan sambil menghisap rokok dalam-dalam. Air matanya terus membanjiri pipi, meluruhkan bedak tebal di pipinya. Usapan dari berlembar-lembar tisu putih itu juga telah menghapus gincu merah di bibirnya. Tatapan matanya kosong, wajahnya menengadah ke langit, seolah sedang menyampaikan pesan sangat kuat kepada Sang Pencipta langit.
Kampung Dolly
Dulu, kawasan Dolly dipadati oleh ribuan perempuan pekerja seks komersial. Mereka menempati kamar-kamar ukuran 2X3 meter di antara ratusan rumah bordil. Kamar-kamar itu menjadi tempat transaksi seks, sekaligus tempat tinggal sementara. Para perempuan boleh tinggal di rumah-rumah itu selama masih bisa menghasilkan uang. Jika sudah tidak lagi produktif, mereka harus keluar dan pergi.
Tidak semua rumah di kawasan Dolly menjadi tempat transaksi seks. Banyak rumah yang berfungsi sebagai tempat tinggal biasa. Salah satunya adalah rumah Abah Nu’man. Di rumah itu ada tulisan ”Rumah Tempat Tinggal” yang tertempel tepat di tembok bagian depan. Itu sebagai pertanda yang harus dipahami oleh para pekerja seks dan para pengunjung kawasan itu.
Abah Nu’man adalah seorang santri alumni Pondok Gontor dan sekarang aktif mengajar Ilmu Agama di UIN Surabaya. Ia meraih gelar doktor Ilmu Agama dari UIN Jakarta. Sejak belia, dia memang tinggal di kawasan Dolly. Ayahnya seorang pendiri sekaligus imam masjid di kawasan itu.
Abah sudah sangat terbiasa dengan bising lagu-lagu dangdut yang berkumandang nyaris 24 jam di sisi kanan, kiri, depan hingga belakang rumahnya. Suara itu terhenti sejenak di saat azan berkumandang. Ada ribuan pekerja seks dengan segala macam perilakunya yang telah ia temui. Mereka datang-pergi, hilir-mudik di sekitar tempat tinggalnya.
Mendirikan Pesantren
Ali-alih menjauhi, Abah Nu’man merasa tertantang untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya serta anak-cucu mereka yang tinggal di epicentrum itu. Tekadnya bulat, tahun 2008 bersama keluarga besarnya sepakat membangun Pondok Pesantren Jauharotul Hikmah.
Ia berdiri kokoh tepat di lokasi prostitusi. Bangunan tiga lantai itu setiap hari ramai oleh anak-anak yang mengaji dari pagi hingga malam hari. Secara bergantian para guru-guru tekun mengajari anak-anak, orang dewasa, hingga orang tua untuk belajar mengaji.
Saat berkunjung ke pondok itu, Abah Nu’man sedang bercengkrama dengan tiga orang guru pondok yang ternyata aktif berkegiatan di Muhammadiyah. Abah Nu’man memiliki tradisi keagamaan yang lebih kental dengan budaya NU, tetap merasa nyaman dibantu oleh guru-guru dari Muhammadiyah.
Setiap hari mereka tekun mengajar ngaji para anak-anak dan cucu-cucu para pekerja seks yang ada di kawasan itu. Saya sungguh kagum dengan tekad mereka yang begitu kuat dalam menemani proses belajar anak-anak dan orang dewasa di kawasan itu.
Memuluskan Jalan Pertaubatan
Abah Nu’man memiliki cara tersendiri dalam mengajarkan ilmu agama kepada mereka. Dia nyaris tidak pernah bicara tentang perbuatan dosa atau sebaliknya. Ia juga tidak pernah memberi materi tentang iming-iming surga ataupun neraka. ”Mereka, orang dewasa yang belajar di sini sudah pada tahu mana perbuatan baik atau sebaliknya” ujarnya.
Abah tidak ingin mengorek luka lama mereka, karena bisa menumbuhkan trauma. Ia hanya mengajari mereka mengaji, memahami sedikit demi sedikit kandungan dari ayat-ayat Al-qur’an secara pelan-pelan.
Berusaha memahami dan menerima dengan sepenuh hati, penuh cinta dan kasih sayang terhadap kehadiran mereka untuk mengaji di pondok, adalah cara agar ia terbebas dari prasangka buruk atas masa lalu murid-murid ngajinya.
”Saya tidak berhak menghakimi mereka. Semua peristiwa yang pernah mereka lalui sudah lewat, biarlah itu menjadi urusan ALLAH. Saya hanya mengajak mereka bertaubat, berzikir, menyucikan batin, dan hanya berharap ampunan dari ALLAH semata”.
Abah selalu menganggap bahwa mereka yang datang ke pengajian itu adalah sekumpulan orang yang berusaha ingin menjadi lebih baik dengan cara bertaubat dan kembali kepada ALLAH. Untuk itu, tugas utamanya adalah mengantarkan proses pertaubatan itu agar bisa berjalan dengan mudah.
Penutup
Kehidupan manusia memang penuh warna. Hidup tidak selalu indah seperti cerita Cinderella atau penuh nestapa seperti cerita-cinta antara Qais dan Laila. Selalu ada jarak di antara harapan dan kenyataan. Ada harapan mulia yang tumbuh di tempat-tempat yang sering dianggap nista, seperti munajat Muna kepada Gesi anak lelakinya.
Sebaliknya, ada niat dan persekongkolan jahat untuk membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar di tempat-tempat yang seharusnya terhormat dan mulia.
Kemuliaan itu tetaplah baik dan mulia, meski ia berada di tempat yang dianggap nista. Sebaliknya, kejahatan itu tetaplah buruk, meski ia berada di tempat yang dianggap terhormat dan dilakukan oleh orang-orang yang dipanggil yang mulia. []