Mubadalah.id – Jilbab secara sederhana adalah sejenis kain yang menutup kepala, mulai dari rambut kepala sampai ke leher atau sampai ke dada. Menurut pakar tafsir al-Biqa’i jilbab adalah baju yang longgar atau kerudung penutup kepala perempuan. Menurutnya, kalau jilbab diartikan baju, maka ia adalah pakaian yang menutupi tangan dan kaki, dan kalau jilbab diartikan kerudung, maka perintah mengulurkannya adalah menutupi wajah dan lehernya. Bagaiamana hukum memakai jilbab bagi muslimah?
Bentuk dan tata cara berjilbab perempuan muslimah menjadi bahasa komunikasi berbeda bagi setiap orang. Misal jilbab yang dipakai oleh Ibu Nyai dengan santriwati-santriwatinya pasti berbeda, meskipun secara harga dan fungsinya sama, ada semacam kesepakatan cara pandang yang membuat kita memberi stigma yang berbeda.
Ada salah satu teman saya bercerita pada hari minggu kemarin ketika dia membeli jilbab di pasar rakyat di stadion Bima Cirebon ada kejadian yang membuatnya lucu. Kata dia, ada pembeli yang sedang transaksi, tawar-menawar jilbab. Kata penjual, jilbab itu tidak bisa ditawar, sudah pas harganya, bahannya juga adem, sudah begitu bagus buat hijrah. Soalnya jilbabnya itu berukuran besar alias gede.
Dalam benak saya bertanya, kenapa berhijrah diidentikkan dengan jilbab? Mengutip dari salah satu kolom di mubaadalahnews.com, Bukan Hijab Syari, Inilah 4 Tanda Muslim Sejati, Asghar Ali Engineer menerangkan setidaknya ada empat hal penting untuk menjadi seorang muslim sejati: adil, berbuat baik, cinta Kasih terhadap sesama, dan bijaksana dalam menentukan sesuatu.
Jika kita menarik permasalah di atas, ternyata jilbab tidak bisa untuk menjadi acuan untuk berhijrah. Karena pada dasarnya ketika orang berhijrah atau orang mengganti pakaian lama dengan pakaian syar’i belum tentu prilakunya ikut menjadi syar’i. Tapi kita bisa menggunakan cara berhijrah yang sederhana bisa diawali oleh yang dikemukakan oleh Asghar Ali Engineer di atas.
Sementara menurut Prof. KH. Quraish Shihab mengatakan bahwa memakai jilbab bagi seorang muslimah bukanlah termasuk yang diperintahkan agama. Oleh karenanya tidak boleh dikatakan syari’at sebab tidak ada nash yang jelas. Beliau tidak mewajibkan perempuan muslimah di Indonesia memakai jilbab.
KH. Husein Muhammad memandang bahwa kita tidak boleh mewajibakan apalagi melarang seseorang untuk menggunakan jilbab karena itu hak yang bersangkutan. Senada, KH. Marzuki Wahid memberi pandangan bahwa yang wajib dalam Islam adalah menutup aurat, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Karena aurat adalah bagian tubuh yang kalau dibuka orang akan malu dan dilihat orang lain akan malu. Karena itu wajib ditutup.
Batasan aurat laki-laki semuanya sepakat antara lutut dan pusar. Sementara batasan aurat perempuan para ulama berbeda pendapat. Ulama Hambali dan Syafi’i berpendapat bahwa aurat perempuan adalah seluruh tubuhnya, termasuk wajah dan dua telapak tangan. Sementara pendapat ulama Hanafiyah dan Malikiyah, wajah dan kedua telapak tangan tidak termasuk aurat yang wajib ditutup. Ini berlaku jika perempuan bersama orang lain yang bukan mahram. Jika dengan mahram, aurat perempuan sama dengan aurat laki-laki. Begitu juga aurat perempuan dengan sesama perempuan.
Jilbab sendiri adalah bentuk budaya Arab untuk menutup aurat. Jilbab adalah penutup kepala yang menjulur hingga menutup dada. Dalam sejarahnya, jilbab digunakan oleh kalangan aristokrat di sana. Kelas bawah dan budak-budak tidak boleh memakai jilbab.
Jadi, jika jilbab dipandang dalam bentuk dan fungsinya adalah sebagai pakaian kesopanan. Dan yang terpenting dari jilbab adalah jika perempuan berjilbab kemudian kehidupannya semakin membaik dalam artian perilaku atau hidupnya mengalami kemajuan itu bukan disebabkan karena jilbabnya. Dan sebaliknya, jika perempuan berjilbab justru berprilakunya buruk itu terjadi bukan sebab jilbabnya tapi sifatnya dan perilakunya sendiri. []