Mubadalah.id – Tahun ini, perayaan Tahun Baru Imlek jatuh pada tanggal 29 Januari 2025. Kemeriahan perayaan ini akan berlangsung hingga hari ke-15, dengan upacara karnaval Cap Go Meh sebagai puncaknya. Keindahan nuansa Imlek tidak hanya terasa oleh masyarakat Tionghoa, umat etnis dan agama lain juga turut menikmatinya.
Gus Dur sebagai Representasi Ajaran Tasamuh dalam Islam
Kemeriahan Imlek dan Cap Go Meh di Indonesia sejatinya tidak lepas dari jasa Presiden ke-4 RI, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Beliau terkenal sebagai seorang pemimpin yang tidak hanya berjuang untuk kepentingan umat Islam, tetapi juga untuk kaum minoritas. Seperti kaum Tionghoa yang bertahun-tahun mendapat perlakuan diskriminasi di Indonesia.
Beliau mengambil langkah berani dengan menganulir Inpres No. 14/1967 tentang larangan agama, kepercayaan, dan adat istiadat China, melalui terbitnya Inpres No. 6/2000. Sejak saat itulah, komunitas Tionghoa yang tadinya merayakan Imlek secara sembunyi-sembunyi. Tidak ada kemeriahan, dan sangat menyedihkan, mereka bisa kembali bebas menjalankan kepercayaan sekaligus ragam budayanya yang sangat indah.
Intruksi Presiden Abdurrahman Wahid yang keluar pada tanggal 17 Januari 2000 itu membawa suka cita bagi umat Tionghoa dengan perayaan megah di Museum Fatahillah, Jakarta. Setahun setelahnya, Gus Dur juga meresmikan Imlek sebagai hari libur fakultatif dengan Inpres No. 9/2001.
Sebagai rasa terimakasih dan penghormatan atas semua ide dan gerakan Inklusif Gus Dur, masyarakat Tionghoa di Semarang memberi gelar kehormatan kepadanya sebagai ‘Bapak Tionghoa Indonesia’ dalam upacara Cap Go Meh pada tahun 2004 lalu di Klenteng Tay Kek Sie.
Warisan dan Teladan Rasulullah
Semangat toleransi dan inklusivitas Gus Dur ini sejatinya merupakan warisan dari Rasulullah saw. Di mana Rasul mengajarkan pentingnya menghormati sesama umat manusia, tanpa membedakan ras, etnis, atau agama. Rasulullah semasa hidupnya dikenal sebagai seorang yang sangat menghormati dan mencintai keberagaman.
Meskipun beliau adalah seorang pemimpin umat Islam, beliau senantiasa berusaha untuk menjaga hubungan baik dengan kelompok-kelompok yang berbeda, baik itu Yahudi, Kristen, maupun umat beragama lainnya.
Sebagaimana Prof. Quraish Shihab dalam buku Toleransi, menerangkan ketika umat Islam telah hijrah dan menetap di negeri Madinah, Rasulullah mendapati kenyataan bahwa Madinah merupakan kota yang majemuk. Baik agama maupun suku-suku yang tinggal di dalamnya. Kemajemukan itu dapat menjadi sumber persoalan dan rentan konflik.
Oleh karena itu, beliau saw. menginisiasi suatu perjanjian (Piagam Madinah) sebagai upaya untuk mendamaikan dan menyatukan keberagaman tersebut. Dalam naskah perjanjian itu, terdapat poin-poin yang mengharuskan mereka untuk saling terbuka, menghormati, dan toleransi satu sama lain. Hal itu antara lain tergambar dalam soal kebebasan beragama bagi pemeluk agama, pembelaan bagi kaum yang lemah, serta kewajiban bela negara.
Rasulullah adalah teladan dalam menjalankan ajaran Islam, sembari tetap menjaga hubungan baik dengan masyarakat yang berbeda keyakinan. Bahkan riwayat menyebutkan, beliau saw. memberikan jaminan perlindungan kepada umat pemeluk agama lain untuk melaksanakan ibadah sesuai agama mereka. Tindakan ini menggambarkan rasa hormat Rasulullah terhadap keyakinan mereka, meskipun berbeda dengan ajaran Islam.
Karenanya, menghormati perayaan agama lain bukan berarti menyetujui keyakinan mereka, melainkan bentuk penghormatan terhadap hak-hak mereka sebagai manusia. Rasulullah tidak merayakan tradisi di luar ajaran Islam. Tetapi beliau menghormati keberadaan komunitas yang berbeda dan tidak bersikap keras terhadap mereka.
Perayaan Imlek dan Umat Lintas Agama
Dalam tradisi masyarakat Indonesia sendiri, ketika Tahun Baru Imlek sebagian muslim Tionghoa juga ikut terlibat merayakannya dengan mengunjungi kerabat dekat (yang beragama Konghucu). Tradisi ini untuk mengeratkan hubungan (silaturahim) dengan keluarga besar mereka.
Perayaan Tahun Baru Imlek memang menjadi momen yang sangat berarti. Terutama dalam mempererat hubungan saudara sesama yang memiliki latar belakang berbeda.
Dalam skala yang lebih besar, Cap Go Meh Bogor Street Festival yang merupakan event tahunan menjadi contoh nyata bagaimana keberagaman bisa menyatu dalam semangat kerukunan antar-umat beragama dan antar-etinis.
Kehadiran para pemuka agama Konghucu, Islam, Kristen, Katholik, Hindu, dan Buddha serta partisipasi mereka dalam doa bersama juga menunjukkan bahwa meskipun ada perbedaan keyakinan, semua bersatu untuk kebaikan bersama. Yakni keselamatan dan kedamaian bangsa. Wallah a’lam.[]