Mubadalah.id – Masyarakat Indonesia sedang sibuk-sibuknya sekarang, belum juga kering masalah koruspsi ‘pertamax rasa pertalite’, kini muncul kontroversi baru dari salah satu politikus yang kembali membuat kegaduhan.
Ahmad Dhani, anggota Komisi X DPR RI dari fraksi Gerindra, memicu perdebatan setelah pernyataannya dinilai rasis, seksis dan konservatif dalam rapat kerja bersama Kemenpora dan PSSI. Rapat tersebut membahas pemberian status Warga Negara Indonesia (WNI) kepada tiga pesepak bola keturunan Indonesia. Emil Audero Mulyadi, Dean Ruben James, dan Joey Mathijs Pelupessy.
Dalam pernyataannya, Ahmad Dhani menyatakan dukungannya terhadap naturalisasi pemain, namun ia menyarankan agar ke depannya Indonesia lebih memilih pemain dari Korea atau Afrika karena memiliki warna kulit yang lebih mirip dengan masyarakat Indonesia.
Tidak berhenti di situ, ia juga mengusulkan ide yang sangat out of the box. Menurutnya, naturalisasi juga bisa diterapkan pada pesepak bola yang sudah pensiun. Antara lain, sudah berusia 40 tahun ke atas, dan mungkin duda, agar dapat dijodohkan dengan perempuan Indonesia. Dengan begitu, ia beranggapan bahwa anak mereka kelak bisa menjadi pemain bola hebat di masa depan.
Lebih jauh lagi, ia berpendapat bahwa jika pemain naturalisasi beragama Islam, mereka bisa menikahi hingga empat istri. Dengan cara ini, ia berargumen bahwa Indonesia bisa mendatangkan pemain-pemain berbakat dari Jazirah Arab, Maroko, dan Aljazair. Whatttt? bukan out of the box lagi kalau ini, memang sepertinya enggak mikir hehe.
Apakah Skill Hebat Bapak Pasti Turun ke Anaknya?
Selain sebagai politikus, Ahmad Dhani juga terkenal sebagai musisi ternama dan pendiri band legendaris Dewa 19—salah satu grup musik terbesar di Indonesia sejak dekade 1990-an dan 2000-an, bahkan masih populer hingga kini. Ia juga sukses mengorbitkan banyak penyanyi serta grup musik, sekaligus menjadi pendiri dan pemimpin Republik Cinta Management.
Namun, pertanyaannya: apakah anak-anaknya—Al, El, dan Dul—memiliki nama yang sebesar Dhani atau Maia dalam industri musik? Tidak juga. Artinya, seorang musisi hebat belum tentu melahirkan anak yang sama hebatnya dalam bidang yang sama. Hal yang sama berlaku dalam dunia sepak bola. Pemain berbakat tidak serta-merta menghasilkan anak yang akan menjadi bintang di lapangan hijau. Maka, usulan yang Ahmad Dhani berikan sangat nihil.
Setiap anak terlahir unik. Keputusan mereka mengenai jalan hidup yang ingin ia tempuh, keterampilan yang diminati, dan impian yang dikejar merupakan hasil dari pengalaman hidup yang panjang dan beragam. Faktor seperti pola asuh, lingkungan, budaya sosial, serta pengalaman pribadi membentuk mereka menjadi individu yang berbeda dari orang tuanya. Menganggap bahwa seorang anak pasti akan mengikuti jejak ayahnya secara mutlak adalah pemikiran yang terlalu menyederhanakan realitas.
Alih-alih berfokus pada pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia dalam sepak bola, Dhani justru menawarkan solusi yang tidak ada gunanya. Memang kalau pinter, kritis, empati, punya perspektif gender itu jam terbang, bukan sesuatu yang bisa kita peroleh begitu saja hanya karena menjadi anggota legislatif hehe..
Dear Ahmad Dhani: Perempuan Bukan Sekadar Objek
Sepakat dengan pernyataan Susi Pudjiastuti, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan di X, yang menyebut bahwa “apa yang dikatakan seseorang mencerminkan apa isi kepalanya.” Pernyataan Ahmad Dhani menunjukkan bahwa ia, seperti kebanyakan orang di Indonesia, masih melihat perempuan sebatas objek seksual. Hanya untuk memenuhi hasrat laki-laki dan sebagai mesin reproduksi yang bertugas mencetak tenaga kerja baru, dalam hal ini pesepak bola.
Padahal perempuan juga manusia, seperti halnya laki-laki, mereka sama-sama juga sebagai makhluk sosial, intekeltual dan spiritual. Maka tidak adil jika aktivitas perempuan hanya kita lihat sebagai makhluk seksual, pemenuh hawa nafsu dan mesin reproduksi.
Terlebih, Dhani juga menyarankan agar pesepak bola Muslim berpoligami, seolah menjadi kaki tangannya orang-orang yang menginterpretasikan teks agama dengan tidak melibatkan pengalaman hidup perempuan. Benar-benar melukai perjuangan perempuan yang selama ini berjuang mewujudkan keluarga monogami.
Poligami Demi Kepentingan Sepak Bola, Memangnya Bisa?
Dalam Surah An-Nisa Ayat 3, Allah SWT berfirman:
“Dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
Dr. Faqihuddin Abdul Kodir menjelaskan bahwa ayat ini bukanlah anjuran untuk berpoligami. Memahaminya harus menyeluruh—melihat konteks sejarah, bahasa, dan alasan di balik turunnya ayat tersebut. Menurutnya, poligami mensyaratkan keadilan dalam semua aspek, baik nafkah, kasih sayang, maupun hak-hak lainnya. Jika keadilan tidak bisa terpenuhi, maka Islam justru menganjurkan monogami.
Lalu, jika poligami disarankan demi melahirkan pesepak bola berbakat, di mana urgensinya?
Pernikahan dalam Islam bertujuan untuk menciptakan kehidupan yang sakinah, mawaddah, dan rahmah, bukan sekadar alat mencetak atlet masa depan. Monogami justru menjadi sistem yang lebih menjamin keadilan dan ketenangan bagi pasangan suami istri.
Mau tidak mau, kita harus mengakui bahwa kebijakan yang para pemimpin ambil hari ini akan berdampak besar bagi perempuan. Karena itu, kita harus cermat memilih wakil yang memiliki perspektif gender dan keberpihakan yang jelas terhadap perempuan. Keputusan yang dibuat tanpa pemikiran matang, tanpa perspektif gender, dan tanpa empati hanya akan semakin merugikan perempuan. []