Mubadalah.id – Aurat dalam perbincangan fiqh (hukum Islam) adalah bagian anggota tubuh manusia tersebut dianggap bisa menimbulkan daya tarik seksual orang lain jika dibiarkan terbuka.
Karena itu, para ulama fiqh berpendapat bahwa aurat harus ditutup. Pada uraian lebih lanjut, para ulama juga mengharuskan (mewajibkan). Terutama bagi perempuan untuk mengenakan pakaian yang tak transparan (tidak tembus pandang), tidak mengesankan lekuk tubuhnya dan sebagainya.
Pembahasan mengenai aurat dalam kitab-kitab fiqh klasik pada umumnya ada di dalam bab mengenai syarat-syarat melaksanakan ibadah shalat.
Mayoritas ahli fiqh berpendapat bahwa menutup aurat merupakan salah satu syarat sah shalat. Abu Hanifah dan Syafi’i berpendapat bahwa menutup aurat termasuk dalam kewajiban-kewajiban sembahyang (furudl al-shalah).
Berbeda dengan dua Imam ini, Imam Milik berpendapat bahwa menutup aurat dalam shalat adalah sunah (sunan al-shalah). Argumen mereka adalah teks al-Qur’an:
يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَّكُلُوْا وَاشْرَبُوْا وَلَا تُسْرِفُوْاۚ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَ ࣖ
“Wahai anak Adam, kenakan pakaianmu yang indah pada setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungghnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. al-Araf ayat 31).
Para ahli fiqh di atas mempunyai pandangan yang berbeda-beda dalam memahami kalimat perintah pada ayat ini. Sebagian ulama mengatakan bahwa “kenakan”, atau “pakailah”, dalam ayat ini merupakan perintah yang pada dasarnya menunjuk makna wajib.
Sementara sebagian yang lain, kata perintah itu bukan wajib, tetapi sunah saja. Bagi yang memahami perintah ini sebagai wajib, menutup aurat dalam ibadah adalah wajib. Bagi yang berpendapat bukan wajib, maka menutup aurat dalam ibadah itu adalah pilihan yang baik.
Sumber : Buku Jilbab dan Aurat Karya KH. Husein Muhammad