Mubadalah.id – Hari-hari ini kita merasakan kesedihan yang mendalam. Kita melihat melalui media sosial dan media lain, daerah di Pulau Sumatera sedang mengalami bencana alam. Bencana alam itu terjadi karema juga faktor kerusakan alam. Ketika kerusakan berjalan terus-menerus, persoalan itu tidak lagi muncul sebagai kesalahan individu, tetapi sebagai dosa struktural yang hidup dalam sistem ekonomi, politik, budaya, dan kebijakan negara.
Bencana ekologis yang terus terjadi di Sumatera menggemparkan banyak orang. Banjir merendam desa dan longsor merusak permukiman mengganggu kesehatan masyarakat. Kita sering menyebutnya sebagai bencana alam, tetapi kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa manusia berperan besar dalam menciptakan kondisi rentan tersebut.
Melalui cara pandang Mubadalah dan ajaran Gereja Katolik, kita perlu membaca bencana Sumatera sebagai panggilan untuk mengubah struktur yang rusak dan membangun relasi kesalingan yang sehat antara manusia dan alam.
Alam sebagai Anugerah dan Amanah
Tradisi Katolik memandang alam sebagai anugerah Allah yang menuntut tanggung jawab. Kitab Kejadian menegaskan bahwa Allah menempatkan manusia untuk “mengusahakan dan memelihara” taman ciptaan. Paus Fransiskus dalam Laudato Si’ menekankan bahwa manusia harus menjalankan peran sebagai penjaga ekologis, bukan penguasa arogan.
Prinsip ini sejalan dengan pendekatan Mubadalah. Prinsip mendasar adalah manusia dan alam harus menjalin relasi saling menghidupi, bukan relasi yang menindas. Namun kenyataannya, bencana Sumatera menunjukkan bahwa kita gagal menjaga relasi itu, dan sekaligus menunjukkan bahwa tata kelola hutan melemah.
Kebijakan tata ruang longgar dalam pengawasan. Warga kecil menanggung dampak dari dosa struktural dari keputusan ekonomi yang tidak adil. Ketika kerusakan ekologis muncul karena kesalahan kebijakan, kita sedang menyaksikan runtuhnya tanggung jawab yang menyebabkan dosa struktural.
Dosa Struktural dan Akar Bencana
Gereja menggunakan istilah dosa struktural untuk menyebut kejahatan yang muncul bukan dari niat individu semata, tetapi dari sistem yang menguntungkan sebagian pihak dan merugikan banyak orang. Dosa struktural terjadi ketika kebijakan publik mengabaikan keselamatan ekologis. Dosa struktural terbentuk ketika pemerintah, elite politik, dan pemilik modal menciptakan relasi timpang yang menekan masyarakat adat dan petani kecil.
Keprihatinan ini menguat ketika perusahaan memperoleh izin tanpa pengawasan yang memadai, sementara masyarakat harus menghadapi banjir, longsor, dan udara beracun.
Sumatera menjadi saksi bagaimana dosa struktural terjadi dan bekerja. Pembukaan lahan skala besar menghancurkan keseimbangan ekologis. Korupsi dalam perizinan memberi kekuatan struktural kepada pihak yang hanya mengejar keuntungan.
Ketika perusahaan merusak hutan, masyarakat menanggung risiko dari dosa struktural. Banyak hal yang mereka alami seperti kehilangan mata pencaharian dan meningkatnya bencana. Keputusan ekonomi yang tidak memerhatikan lingkungan memperkuat kerentanan struktural di daerah rawan bencana.
Perspektif kesalingan membantu kita membaca persoalan ini secara dua arah. Bencana tidak berdiri sendiri. Bencana muncul karena relasi manusia-alam kehilangan kesalingan. Ketika manusia mengambil dari alam tanpa memberi perlindungan, ketimpangan struktural tumbuh. Ketidakadilan struktural itu lalu berubah menjadi bencana ekologis.
Gereja, Pertobatan Ekologis, dan Transformasi Struktural
Gereja tidak tinggal diam ketika melihat kerusakan lingkungan terjadi. Paus Fransiskus menyerukan pertobatan ekologis, yakni perubahan cara hidup, cara memandang alam, dan cara membentuk kebijakan. Pertobatan ekologis menuntut pertobatan dan keluar dari dosa struktural.
Gereja mengajak masyarakat memperbaiki sistem ekonomi yang merusak lingkungan dan menolak pola produksi yang membangun ketidakadilan. Gereja mendorong pemerintah membangun tata kelola ekologis yang adil. Pada akhirnya Gereja mengingatkan kepada semua orang bahwa dosa struktural merupakan dosa terbesar manusia. Karena ini tidak hanya hubungan dengan Allah, tetapi juga dengan alam,
Upaya pemulihan harus hadir sebagai kerja bersama. Manusia harus menjalin hubungan yang baik dengan alam, pemerintah harus memperbaiki kerangka hukum, dan masyarakat harus memperjuangkan keadilan ekologis. Ketika dosa struktural tidak ada lagi, maka luka ekologis mulai pulih.
Pemulihan ekologis membutuhkan keberanian moral. Gereja memanggil umat untuk menantang sistem yang korupsi., membongkar jaringan kepentingan yang menciptakan ketimpangan dan dosa struktural. Gereja menekankan bahwa keadilan ekologis hanya muncul jika kita melibatkan korban bencana dan masyarakat adat sebagai subjek, bukan objek dalam keputusan struktural.
Membangun Kesalingan dan Keadilan Struktural
Bencana yang terjadi di Sumatera tidak datang sebagai hukuman Tuhan. Bencana hadir sebagai cermin dari pilihan manusia yang salah dan struktur sosial yang rusak. Salah satu faktornya adalah adanya dosa struktural ini. Ketika kita menyaksikan banjir yang menenggelamkan desa, kita sedang melihat konsekuensi dari kebijakan yang membiarkan dosa struktural tumbuh.
Ketika tanah longsor menghancurkan rumah warga, kita menyaksikan dampak dari kelalaian struktural dalam menjalankan analisis dampak lingkungan.
Dalam perspektif Katolik, bencana ini mengajak kita berdiri bersama para korban. Gereja meminta kita untuk memperjuangkan pembaruan struktural yang melindungi kehidupan. Ini bisa menjadi langkah Gereja untuk mematikan dosa tersebut.
Perspektif mubadalah menegaskan bahwa seluruh pihak memikul tanggung jawab saling menjaga. Alam memberi kita kehidupan, maka kita wajib menjaga keseimbangannya. Pemerintah memegang kekuasaan, maka kekuasaan itu harus menciptakan keadilan dan bukan dosa. Masyarakat berjuang untuk bertahan.
Sumatera membutuhkan transformasi struktural yang sungguh-sungguh. Kita perlu mengubah cara produksi, cara membuka lahan, cara mengelola hutan, dan cara mengambil keputusan publik. Kita perlu memulihkan relasi manusia-alam melalui kebijakan yang membangun keseimbangan struktural. Dosa struktur menjadi keprihatinan yang sangat menyedihkan. Ketika struktur pulih, kehidupan bersama ikut pulih.
Bencana Sumatera mengajarkan kita bahwa kerusakan alam selalu berkaitan dengan kerusakan struktural. Ajaran Katolik dan pendekatan kesalingan mengajak kita melihat lebih dalam, bukan hanya pada gejala bencana, tetapi pada akar struktural yang memicu bencana itu.
Pertobatan ekologis menuntut keberanian untuk mengubah sistem, bukan hanya tingkah laku individu. Ketika kita berani membongkar dosa struktural dan membangun keadilan struktural, kita menciptakan dunia yang lebih manusiawi, lebih seimbang, dan lebih selaras dengan kehendak Sang Pencipta. []










































