Mubadalah.id – Saat ini kita sedang menyaksikan suatu babak yang mencekam dalam relasi manusia dan alam. Akhir November hingga awal Desember tahun ini, pulau Sumatra terlanda banjir bandang dan tanah longsor yang memporak-porandakan Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat.
Ribuan kampung tergenang, sebagian di antaranya bahkan ada yang hilang tersapu banjir. Akses ke berbagai tempat terputus, sekolah hancur, dan jutaan orang terdampak langsung. Menurut data BNPB per Sabtu 13 Desember 2025, korban jiwa sudah melewati angka seribu, tercatat 217 orang hilang, dan ribuan orang kehilangan tempat tinggal akibat hujan ekstrem yang terpicu oleh Siklon Tropis Senyar dan kondisi monsun luar biasa.
Kejadian alam Siklus Tropis Senyar, itulah yang kerap ditunjuk-disalahkan untuk musibah yang menimpa Masyarakat Sumatra hari ini. Tapi, benarkan demikian? Tentu saja tidak. Kata itu seolah mengkambing hitamkan alam sebagai penyebab tunggal segala nasib buruk yang masyarakat alami saat ini.
Peristiwa alam yang mengawali luluh lantaknya pulau Sumatra tentu tidak boleh kita jadikan alasan untuk menutupi fakta utama bahwa ada keputusan sosial dan potlitik di belakang itu yang mengubah sebuah peristiwa alam menjadi bencana ekologis.
Dalam buku There Is No Such Thing As Natural Disaster, suntingan Gregory Squires & Chester Hartman misalnya menyebutkan bahwa istilah natural disaster (bencana alam) kerap difungsikan sebagai alat depolitisasi untuk mengalihkan perhatian. Dari kebijakan tata ruang, ketimpangan ekonomi, dan kegagalan mitigasi.
Catatan Forest Watch Indonesia (FWI)
Oleh sebab itu kerusakan ini bukan sekadar “cuaca buruk biasa.” Para ahli dan organisasi lingkungan menyoroti bahwa deforestasi masif dan degradasi ekologis telah memperparah dampak banjir dan longsor. Hingga menyebabkan aliran air lebih cepat, tanah kehilangan daya serap, dan daerah aliran sungai menjadi kritis.
Catatan dari Forest Watch Indonesia (FWI) menyebutkan bahwa antara 2017 dan 2024, Sumatra kehilangan sekitar 2,1 juta hektar hutan alami. Ini setara dengan hilangnya puluhan ribu lapangan sepak bola setiap hari selama bertahun-tahun, atau setara dengan tiga kali pulau bali dalam perbandingan yang lebih besar. Sampai 2024, hanya sekitar 25% dari luas pulau itu yang masih ditutupi hutan alami, sisanya telah berubah menjadi perkebunan kelapa sawit, pertambangan, atau lahan pertanian.
Analisis lain dari peneliti Greenpeace Indonesia menyebutkan bahwa mayoritas DAS di Pulau Sumatera telah kritis dengan tutupan hutan alam yang kurang dari 25 persen. Kerusakan terparah terjadi di DAS Batang Toru yang mencakup Kabupaten Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, dan Tapanuli Tengah.
Selama periode 1990-2022 deforestasi mencapai 70.000 hektar yang meninggalkan tutupan hutan kurang dari setengah pada beberapa kawasan kritis. Deforestasi inilah yang berkaitan langsung terhadap meningkatnya intensitas banjir bandang karena hilangnya jaringan akar yang menahan tanah dan menyerap limpasan air.
Akar Krisis Ekologis
Krisis ekologis di Sumatra bukan hanya cerminan dari keputusan sosial, ekonomi dan politik yang gagal memitigasi bencana, namun juga adalah refleksi dari krisis spiritual yang akut, yang berpangkal pada modernitas. Modernitas menurut Syed Hossen Nasr telah mendorong manusia menjadi begitu sekuler dan mengabaikan keilahian dalam memandang dunia.
Dalam kaitannya dengan ekologi, manusia modern memandang alam semata sebagai objek yang disediakan Tuhan untuk memuaskan manusia. Pandangan inilah kemudian dimanifestasikan dengan mengeksplotasi alam tanpa batas demi pertumbuhan ekonomi.
Manusia mulai melihat hutan, sungai, dan tanah hanya sebagai “sumber daya” yang bisa diubah menjadi keuntungan materi, dan kehilangan kesadaran bahwa alam bukan sekadar komoditas, melainkan adalah kitab suci yang harus dibaca, dicintai dan dijaga sebagai jalan menuju Tuhan.
Modernitas, dengan paradigma materialistiknya, membuat manusia lupa diri. Kita memperlakukan hutan sebagai bahan bakar industri, sungai sebagai saluran limbah, udara sebagai tempat menampung emisi, dan bumi sebagai ruang tak terbatas bagi pembangunan. Ketika alam kehilangan kesakralannya di mata manusia, maka lahirlah keserakahan yang tak lagi mengenal batas. Inilah akar terdalam dari kerusakan ekologis yang kita saksikan hari ini.
Alam Manifestasi Kebesaran Illahi
Manusia dengan demikian telah mengambil alih tugasnya sebagai hamba Tuhan yang seharusnya memiliki kesadaran penuh untuk setiap akibat dari perbuatan menjadi pengganti Tuhan itu sendiri yang merasa berhak menguasai, menggeruk dan menukar nilai alam dengan kepuasan duniawi.
Padahal dalam ajaran agama, kita selalu diingatkan bahwa bahwa alam adalah manifestasi dari kebesaran Ilahi, bukan sekadar stok untuk dimanfaatkan. Dalam pandangan kaum sufi misalnya, setiap elemen alam mensucikan eksistensinya sendiri dengan berzikir kepada Tuhan. Makhluk-makhluk itu tidak ada semata untuk menjadi sumber bagi ambisi manusia. Ketika kita lupa akan dimensi sakral itu, kita membuka jalan bagi egosentrisme dan keserakahan yang menghancurkan keseimbangan ekologis serta dimensi spiritual kehidupan manusia.
Di tengah krisis ekologis yang semakin akut, seruan Nasr terasa semakin relevan. Kita memerlukan revolusi spiritual sebelum revolusi teknologi. Upaya teknis seperti energi terbarukan, reboisasi, dan pengurangan emisi memang penting, tetapi tanpa kesadaran spiritual, semuanya hanya menjadi solusi jangka pendek. Yang kita butuhkan adalah cara pandang baru yang sebenarnya adalah cara pandang yang sangat tua, melihat alam sebagai ayat-ayat Tuhan.
Saatnya kita berhenti memperlakukan bumi seperti barang dagangan. Saatnya kita bertobat, kembali rendah hati, dan mengakui bahwa alam bukan milik kita. Kita hanyalah penjaganya. Mengembalikan sakralitas alam bukan hanya tuntutan etis, tetapi prasyarat untuk menyelamatkan masa depan peradaban.
Mengembalikan Sakralitas Alam
Maka, yang kita perlukan dan sangat mendesak di samping kebijakan teknis yang berkaitan langsung dengan alam juga adalah taubat ekologis. Ini adalah panggilan mendalam untuk kembali melihat alam sebagai sakral, bukan sebagai objek semata.
Taubat ekologis berarti melihat setiap hutan sebagai tempat zikir yang hidup, dan setiap tanah sebagai amanah Ilahi. Kita perlu menghentikan logika eksploitasi tanpa sadar, lalu menggantinya dengan rasa hormat dan rasa syukur terhadap ciptaan yang Tuhan titipkan.
Taubat bukan sekadar penyesalan moral, tetapi perubahan cara pandang. Taubat ekologis berarti kembali menempatkan alam pada posisi yang mulia, sebagai amanah Tuhan, bukan objek eksploitasi. Ia menuntut kesadaran teologis bahwa merusak alam sama dengan merusak tanda-tanda kebesaran Tuhan.
Berhenti mengotakkan alam sebagai “sumber” atau “cadangan,” dan mulai memandangnya sebagai teman spiritual kita dalam perjalanan menuju Tuhan. Setiap tetes hujan, setiap desah angin, setiap hela kehidupan adalah zikir yang tak henti-hentinya.
Mengembalikan sakralitas alam berarti memerangkap kembali rasa keterhubungan spiritual dengan bumi, bahwa merusak bumi sama artinya dengan merusak tanda-tanda kebesaran Tuhan. Ini bukan sekadar slogan etis, tetapi syarat dasar untuk benar-benar menyelamatkan manusia dan seluruh makhluk hidup dari kehancuran ekologis yang semakin nyata.
Mengembalikan sakralitas alam juga berarti mengajak manusia kembali melihat dunia sebagaimana pandangan para sufi: bahwa pepohonan adalah para penyangga kehidupan, air adalah rahmat, dan setiap makhluk menjadi bagian dari simfoni kosmik yang terus bertasbih.
Ketika kita memandang alam dengan kacamata kesucian, maka etika ekologis akan tumbuh secara alami. Hanya dengan begitu relasi kita dengan alam dapat kembali membaik. Kebijakan-kebijakan akan lahir tanpa menyakiti alam. Dan manusia tidak perlu menanggung deretan krisis seperti yang hari ini dialami Sumatera. Karena alam sama berharganya dengan manusia.





















































https://shorturl.fm/wrq4x