Mubadalah.id – Sore itu, telepon seluler Lita (25) berdering. Ada panggilan telepon dari nomor baru. Awalnya dia ragu, tapi dia pun mengangkatnya karena khawatir itu nomor penting.
“Halo benar Lita ya? Ini saya dari timses partai x. Lita apakah sudah menentukan pilihan untuk caleg DPR RI?” Cerita Lita mengingat kembali kejadian tersebut yang bertepatan saat menjelang Pemilu 2024.
Ternyata merupakan telepon spam yang mempromosikan calon legislatif pada pemilu 2024. Panggilan itu tak hanya satu kali tapi bisa 2-3 kali dalam seminggu. Tak hanya melalui panggilan telepon, pesan tersebut juga menyasar hingga WhatsApp.
Lita menjadi satu dari sekian banyak warga di Kabupaten Banyuwangi yang menerima panggilan spam saat masa pemilu 2024. Saat itu, ia memang belum menentukan siapa caleg yang akan ia pilih. Penelepon tersebut langsung mempromosikan calonnya.
Melalui sambungan telepon itu, Lita langsung menjawab bahwa ia tidak tertarik dan langsung mematikan telepon tersebut. Sejak itu, dia tak lagi pernah merespon panggilan dari nomor tersebut.
“Saya gak tahu mereka dapat nomor hp saya dari mana, yang jelas itu ganggu banget si. Apalagi gak cuma sekali dua kali mereka telefon itu,” curhat Lita.
Spam Telepon, Kampanye Door to Door, Hingga Politik Uang
Tak hanya Lita, Eva, bukan nama sebenarnya, 49 tahun, juga menjadi salah satu warga Kabupaten Banyuwangi yang menjadi target politik uang dalam pemilihan calon legislatif pada pemilu 2024.
“Pertama ada laki-laki setengah baya di warung saya tapi saya gak kenal. Orang ini tanya siapa di sini yang punya banyak kenalan dan punya hubungan baik sama warga sekitar,” cerita Eva.
Tidak tahu kepentingan dari orang tersebut. Eva pun merekomendasikan salah satu tetangganya yang menjadi pengurus RT setempat.
“Ternyata dia cerita kalau dia timses caleg dari partai x dan lagi cari korlap buat bantu-bantu dia,” tukasnya.
Setelah beberapa hari kejadian tersebut, tetangga tersebut memang mendatangi warga desa setempat satu persatu. Dia menawarkan sejumlah uang dengan syarat mencoblos caleg x.
“Dia mendatangi warung saya lalu bilang akan memberi saya uang Rp75.000 per kepala untuk mencoblos caleg dpr RI dan Rp25.000 untuk mencoblos caleg DPD,” tukas Eva.
Tidak semua keluarga mendapatkan penawaran yang sama. Korlap tersebut menawari Eva dan suaminya uang, sementara itu, dia tidak menawari anaknya yang berusia 19 tahun uang. Ada juga yang mendapat tawaran sembako.
“Dia bilang syaratnya cuma foto ktp saya dan suami. Ya saya berikan toh cuma KTP, kan lumayan uangnya bisa buat beli beras,” terang Eva.
Data Pemilih Sebagai Peta Politik Uang
Kang S, bukan nama sebenarnya, seorang timses salah satu caleg DPR RI dari partai X, bercerita mengenai bagaimana perannya saat Pemilu 2024 sembari mengeluarkan beberapa berkas yang dia bawa.
“Atasan menyuruh saya untuk mencari koordinator lapangan (korlap) untuk setiap TPS. Lalu saya berikan data ini kepada mereka agar mereka melakukan kunjungan ke warga yang ada di daftar ini,” ungkap Kang S.
Data tersebut adalah Daftar Pemilih Tetap (DPT) di beberapa kecamatan di Kabupaten Banyuwangi yang berisikan informasi mengenai nama, alamat lengkap, usia, jenis kelamin, dan tps. Data ini, katanya menjadi pedoman dalam memetakan preferensi masyarakat.
Kang S menceritakan para korlap akan melakukan survei berdasarkan data tersebut. Jika keluarga ekonomi menengah ke bawah, maka mereka akan masuk dengan menawarkan imbalan uang atau sembako, jika memilih calon tersebut. Namun, jika masyarakat adalah keluarga menengah ke atas maka mereka akan melakukan pendekatan yang berbeda.
Contohnya, dalam satu keluarga terdiri dari orang tua dan dua anak dewasa maka mereka akan menjanjikan uang atau sembako untuk orang tua jika mencoblos caleg mereka. Sedangkan ke anak muda, mereka biasanya mempromosikan melalui telefon.
“Ya kalau nomor hp kami juga punya daftarnya, tapi saya tidak bisa buka. Pokoknya ada lah,” jawab Kang S terkait sumber daftar nomor telepon warga.
Ia menjelaskan bahwa mereka menganalisis mana rumah yang bisa mereka masuki mana yang tidak melalui data tersebut. Selain itu, para timses biasanya juga sudah mempunyai peta masyarakat yang sudah menentukan pilihan dan belum.
Ketimpangan Informasi dan Eksploitasi Privasi Warga
Banyak kasus kebocoran data pribadi di Indonesia. Pada 27 November 2023, sebuah akun anonim bernama Jimbo di BreachForum mengunggah 252,327,304 data yang ia klaim berasal dari situs kpu.go.id merupakan salah satu contoh kebocoran data pribadi menjelang pemilu 2024.
Jimbo menjual data seharga $74000 ini paling sedikit terdiri atas NIK, NKK, Nomor KTP, passport, nama, tempat pemungutan suara, status difabel, jenis kelamin, tanggal dan tempat lahir, status perkawinan, serta alamat.
Skandal kebocoran data pemilih adalah isu berulang yang kerap mewarnai pesta demokrasi di Indonesia. Data ini sering kali menjadi sasaran empuk karena mengandung informasi lengkap yang krusial untuk pemetaan politik.
Tak hanya itu, banyak masyarakat tidak mengetahui bahwa KTP mereka adalah data pribadi yang seharusnya tidak boleh mereka berikan kepada sembarang orang.
Sama halnya dengan Eva, ia menganggap KTP bukanlah hal penting. Ia memberikan foto KTP nya kepada sembarang orang demi sejumlah uang.
Berdasarkan penelitian terbaru kita ketahui bahwa politik uang terjadi karena beberapa faktor, di antaranya: rendahnya pendidikan, lemahnya pengawasan, dan kebiasaan atau tradisi. (Fitriani et al., 2019)
Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Nurul Izmi menilai hal ini terjadi karena masih minimnya kesadaran tentang perlindungan data pribadi.
Padahal, Indonesia saat ini sudah memiliki Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) tetapi sosialisasi terkait data pribadi belum menyeluruh. Karena belum adanya lembaga yang khusus mengawasi terkait perlindungan data pribadi itu sendiri.
“Ada ketimpangan tentang pengetahuan pentingnya menjaga data pribadi juga salah satu masalah. Penyelenggara pemilu seperti KPU dan Bawaslu geraknya akan lebih terbatas dalam mengawasi perlindungan data pribadi dalam pemilu. Sehingga belum adanya kejelasan terhadap akses pemulihan bagi masyarakat yang menjadi korban kegagalan data pribadi,” jelas Izmi.
Tumpang Tindih Antara UU Pemilu dan UU PDP
Kasus timses parpol yang memiliki salinan DPT, Izmi menilai telah terjadi kegagalan data pribadi terkait confidentiality breach (pelanggaran kerahasiaan). Artinya ada pengungkapan yang tidak sah atau tidak disengaja atau akses ke data pribadi.
“Liaison Officer (LO) partai menerima dan melakukan pengelolaan salinan DPT. LO biasanya hanya bertugas selama masa pemilu dan tidak termasuk struktur permanen partai. Sehingga menjadi kekhawatiran karena tidak ada standar pengamanan, pencatatan, atau kontrol akses terhadap data tersebut,” terang Izmi.
Timses memiliki salinan DPT merupakan salah satu dampak adanya tumpang tindih peraturan jika UU Pemilu tidak disesuaikan dengan UU PDP.
Di UU Pemilu memang diperkenankan bagi parpol untuk mendapatkan salinan DPT, tetapi pasca UU PDP disahkan belum dijelaskan lebih lanjut sejauh apa informasi yang dapat diberikan ke partai politik terkait salinan DPT.
Peneliti Perludem Haykal menilai pemberian salinan DPT kepada parpol perlu dievaluasi karena data-data itu bisa digunakan untuk hal-hal di luar tujuannya sebagai bagian dari transparansi pendataan dan pendaftaran pemilih dalam pemilu.
“Meskipun data tersebut bukan dari pencurian atau data yang bocor dari KPU, tetapi kedepannya harus ada pengaturan yang lebih rinci dan ketat terkait apa saja kegiatan yang boleh dilakukan dengan memanfaatkan salinan DPT tersebut,” tegas Haykal.
Haykal menjelaskan sangat mungkin melakukan micro targeting dan menyalurkan politik uang dengan menggunakan data seperti nama, alamat, dan usia. Sehingga perlu ada batasan dalam penggunaan data oleh parpol tersebut.
“Memang saat ini masih ada kekosongan hukum terkait dengan peran parpol dalam penggunaan data dalam pemilu karena penerapan UU PDP masih secara umum tidak spesifik dalam pemilu. Sedangkan di UU Pemilu sendiri kita belum melihat satu pasal yang mengatur pengelolaan data pribadi,” terang Haykal.
Sehingga masih ada ruang abu-abu tentang sumber data, pengelolaan, dan bagaimana pemrosesan data pemilih itu sendiri.
Urgensi Sinkronasi UU Pemilu dengan UU PDP
Dalam kasus penggunaan DPT untuk kampanye door to door dan politik uang, Haykal menilai yang menjadi permasalahan utama adalah penggunaan politik uang dan melakukan kampanye door to door tanpa sepengetahuan pemilih. Terkait politik uang tentu akan melanggar UU Pemilu dan dikategorikan sebagai tindak pidana pemilu.
“Lalu berkaitan dengan kampanye door to door yang dilakukan tanpa sepengetahuan dan persetujuan pemilih yang bersangkutan juga akan menjadi masalah meskipun hingga saat ini belum ada larangannya,” ungkap Haykal.
Kasus kebocoran dan kegagalan perlindungan data pribadi di pusaran politik menjadi alarm serius bagi integritas pemilu dan perlindungan fundamental hak warga negara.
“Bahkan dalam advokasi yang kami lakukan, dorongan itu tidak hanya melalui peraturan teknis KPU namun juga di dalam perubahan UU Pemilu,” tegas Haykal.
Sementara itu, Izmi menjelaskan bahwa dalam kasus tersebut sebenarnya bisa dikenakan sanksi pidana berdasarkan Pasal 67 ayat 1 UU PDP (Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi).
Namun, perlu identifikasi untuk mengetahui bentuk penyalahgunaan DPT yang terjadi. Inilah pentingnya peran penyelenggara Pemilu, terutama KPU dan Bawaslu berkolaborasi dalam setiap proses pemilu.
Penyelenggara pemilu harus menjamin penegakan hukum perlindungan data pribadi dan menyediakan saluran pemulihan bagi pemilih yang datanya dicatut, dipalsukan, atau disalahgunakan. []
Hingga berita ini tayang, upaya konfirmasi ke lembaga terkait yakni KPU masih terus dilakukan oleh penulis.***











































