Mubadalah.id – Sepanjang periode 1 Januari hingga 27 Desember 2025, Badan Nasional Penanggulangan Bencana Indonesia mencatat 3.165 kejadian bencana ekologis. Dari keseluruhan kejadian tersebut, banjir menjadi jenis bencana yang paling dominan dengan 1.610 kejadian, disusul tanah longsor sebanyak 546 kejadian dan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) sebanyak 231 kejadian.
Mencatat Bencana Ekologis Indonesia Sepanjang 2025
Selain itu, tercatat pula bencana cuaca ekstrem (690 kejadian), gelombang pasang dan abrasi (23 kejadian), gempabumi (36 kejadian), kekeringan (7 kejadian), erupsi gunung api (1 kejadian), serta tsunami (1 kejadian).
Distribusi bencana ekologis yang dialami oleh Indonesia merupakan bencana hidrometeorologis yang mendominasi lanskap kebencanaan nasional. Bencana ekologis tersebut erat kaitannya dengan perubahan iklim, degradasi lingkungan, dan tata kelola ruang yang tidak berkelanjutan.
Dampak kemanusiaan dari rangkaian bencana tersebut tergolong signifikan. Sepanjang tahun 2025, tercatat 1.552 orang meninggal dunia, 248 orang dinyatakan hilang, dan 7.751 orang mengalami luka-luka. Lainnya, bencana menyebabkan 10.302.163 jiwa menderita dan mengungsi (angka yang menunjukkan skala krisis sosial yang melampaui”sekadar” kerusakan fisik).
Tingginya jumlah pengungsi menjadi sebuah indikator lemahnya kapasitas mitigasi dan adaptasi bencana. Pada sisi yang lain, tingginya angka tersebut sekaligus memperlihatkan bagaimana kelompok masyarakat rentan menanggung dampak paling besar dari kerusakan lingkungan.
Dari sisi kerusakan material, bencana sepanjang 2025 mengakibatkan 195.621 unit rumah rusak, yang terdiri atas 102.136 rusak ringan, 41.063 rusak sedang, dan 52.422 rusak berat. Selain hunian, kerusakan juga terjadi pada fasilitas publik dan layanan dasar, yakni 1.242 satuan pendidikan, 1.041 rumah ibadat, serta 250 fasilitas pelayanan kesehatan, dengan total 2.533 fasilitas mengalami kerusakan.
Apa yang Terjadi Jika Pemerintah Terus Diam atau Tidak Bertindak Cepat?
Tingginya frekuensi dan dampak bencana tidak dapat kita pahami semata sebagai fenomena alam. Bencana merupakan hasil dari interaksi kompleks antara perubahan iklim global, eksploitasi sumber daya alam, serta kebijakan pembangunan yang mengabaikan prinsip keberlanjutan atau sustainable living.
Deforestasi, alih fungsi lahan skala besar, pertambangan ekstraktif, dan urbanisasi tanpa kontrol ekologis telah melemahkan daya tahan ekosistem. Penyebutan “bencana alam” sering kali menutupi peran manusia dan negara dalam menciptakan kondisi rentan tersebut.
Berdasarkan data 2025, dilakukan forecasting (peramalan) berbasis skenario “business as usual”, yakni kondisi di mana pemerintah tidak melakukan intervensi signifikan dalam mitigasi bencana serta perlindungan lingkungan. Dengan asumsi laju degradasi lingkungan dan intensitas cuaca ekstrem terus meningkat, jumlah kejadian bencana terproyeksi mengalami kenaikan 5–10 persen per tahun.
Dalam rentang lima tahun ke depan, Indonesia berpotensi menghadapi lebih dari 20.000 kejadian bencana kumulatif, dengan estimasi tahunan mencapai 4.000–5.000 kejadian pada 2030. Peningkatan jumlah kejadian tersebut berimplikasi langsung pada eskalasi dampak kemanusiaan.
Dalam skenario tanpa intervensi, jumlah korban meninggal terproyeksi meningkat menjadi 1.700–2.000 orang per tahun, sementara jumlah penduduk terdampak dan mengungsi berpotensi melampaui 12–15 juta jiwa per tahun.
Kerusakan rumah dapat mencapai 220.000–260.000 unit per tahun, hal tersebut beserta peningkatan kerusakan fasilitas publik yang berdampak pada keberlanjutan layanan dasar. Sehingga bencana tidak lagi bersifat episodik. Bencana telah menjadi krisis struktural yang berlangsung terus-menerus.
Mencatat Pengalaman Masyarakat Penyintas Bencana
Dalam sebuah kesempatan saya mencatat berbagai poin-poin yang membuat masyarakat penyintas bencana menjadi resah. Sebagai penyintas bencana, masyarakat merasakan bahwa kerusakan lingkungan tidak terpisah dari perubahan ruang hidup yang cepat dan sering kali tidak melibatkan suara warga. Hutan di sekitar pemukiman menyusut, daerah resapan air berubah menjadi kawasan terbangun, hingga sungai kehilangan fungsi alaminya.
Kelompok masyarakat rentan menghadapi beban yang lebih berat. Perempuan, anak-anak, lansia, dan penyandang disabilitas mengalami dampak yang berlapis ketika bencana terjadi. Perempuan memikul tanggung jawab tambahan dalam memastikan kebutuhan air, pangan, serta kesehatan keluarga tetap terpenuhi di tengah keterbatasan. Perihnya, pengalaman dan pengetahuan lokal yang dimiliki masyarakat, termasuk perempuan, tidak pernah menjadi rujukan utama dalam pengambilan keputusan.
Ketiadaan perubahan kebijakan yang berpihak kepada masyarakat memperpanjang siklus kerentanan. Setiap tahun, warga selalu membangun kembali rumah yang rusak. Kemudian memulihkan lahan yang terdampak, mengolah kembali tanah yang rusak, hingga menata ulang kehidupan dengan sumber daya yang terbatas. Sejujurnya, proses yang warga lakukan sangatlah menguras tenaga, waktu, pikiran, kesehatan, dan uang. Sekaligus menimbulkan kelelahan yang berkepanjangan dan tiada habisnya.
Ketika Refleksi Tidak Cukup Membuat Alam Membaik
Kadang, sebagai seorang warga negara yang melihat banyaknya bencana tiap tahun, yang saya inginkan adalah bagaimana merubah apa yang terjadi saat ini dengan cepat. Memulihkan alam lebih cepat, mengobati luka-luka perempuan dan anak-anak lebih cepat, dan memeluk alam dengan erat. Namun, baru-baru ini saya sadari, bahkan dalam menulis refleksipun tak benar-benar menyelesaikan semuanya.
Bencana yang terjadi merupakan konsekuensi dari sistem tata kelola yang rusak. Kerusakan yang lahir dari kebijakan pembangunan yang mengabaikan daya dukung ekosistem. Sebuah gambaran kegagalan sistemik yang tercipta oleh keputusan politik dan administratif negara.
Kayu-kayu gelondongan yang mengambang dan terdampar di area pemukiman warga sessat setalah banjir Sumataer lalu juga membuat saya berpikir lebih bahwa yang terjadi bukan karena kerusakan tangan warga. Tapi, mesin-mesin berkapasitas besar yang meluluh lantakkan segalanya. Perihnya lagi, dari tangan-tangan kejam yang mengoperasikan seluruhnya, pemerintah menjadi aktor besar dibaliknya. Lucunya, pemerintah selalu cuci tangan atas apa yang mereka perbuat.
Pemerintah Perlu Tobat Ekologis! Buat Kebijakan yang Berpihak pada Alam dan Masyarakat!
Pemerintah perlu melakukan tobat ekologis. Kerusakan lingkungan lahir dari keberpihakan terhadap kepentingan ekonomi jangka pendek. Tobat ekologis pada level negara menuntut pengakuan atas kesalahan yang terjadi secara terstruktur.
Pemerintah tidak cukup hanya hadir sebagai aktor responsif yang bergerak setelah bencana terjadi. Pemerintah harus menjadi aktor preventif (pencegah) yang mampu menghentikan sumber-sumber kerusakan. Upaya penanggulangan bencana akan terus bersifat reaktif dan tidak menyentuh akar persoalan ekologis, tanpa perubahan kebijakamn.
Langkah cepat sudah tidak bisa ditunda lagi karena bencana terus meningkat, baik dari segi jumlah maupun dampaknya. Jika kebijakan terus ditunda, risiko kerusakan lingkungan dan masalah sosial yang harus ditanggung masyarakat akan semakin besar.
Karena itu, pemerintah perlu segera bertindak dengan memperketat perlindungan lingkungan, meninjau ulang izin-izin usaha yang merusak alam. Mmenata kembali tata ruang yang memperhitungkan risiko bencana, serta melibatkan masyarakat dalam setiap keputusan terkait lingkungan.
Semoga catatan akhir tahun tentang bencana ekologis menjadi sebuah catatan refleksi bagi siapapun yang memebacnya, bahwa Indonesia sedang berjalan menuju kiamat ekologis. Rentetan bencana yang terus berulang menjadi peringatan bahwa kita semua termasuk pemerintah dalam memperlakukan lingkungan telah melampaui batas daya dukungnya.
Doa dan harapan saya di akhir tahun ini, semoga negara mau mendengar suara rakyat, melibatkan masyarakat dalam keputusan dan kebijakan, menempatkan keselamatan ekologis sebagai prioritas utama, dan membangun masa depan yang selaras dengan alam. []
Sumber: Badan Nasional Penanggulangan Bencana. “Portal Satu Data Bencana Indonesia.” Bnpb.go.id, 2025, data.bnpb.go.id/. Accessed 27 Dec. 2025.




















































