Mubadalah.id – Kasus pembunuhan disertai mutilasi (femisida) terhadap seorang perempuan kembali menjadi perhatian publik. Seorang warga berinisial S menemukan potongan tubuh manusia di wilayah Pacet, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, pada Sabtu (6/9/2025) lalu.
Temuan tersebut kemudian dilaporkan kepada aparat kepolisian dan segera ditindaklanjuti dengan penyelidikan intensif. Berdasarkan penelusuran aparat, potongan tubuh tersebut diketahui merupakan jasad seorang perempuan berinisial TAS. Korban diduga kuat dibunuh oleh kekasihnya sendiri, seorang laki-laki bernama Alvin Maulana.
Pelaku kemudian memutilasi tubuh korban menjadi puluhan bagian. Sejumlah potongan tubuh dan tulang korban ditemukan disimpan di kamar kos pelaku, sementara kepala korban disimpan terpisah di dalam kamar yang sama.
Kasus ini menjadi perhatian luas masyarakat setelah beredar di media sosial dan dilaporkan oleh berbagai media nasional. Kepolisian menyatakan bahwa pelaku telah mereka amankan dan proses hukum tengah berjalan.
Bahkan, aparat masih mendalami motif pembunuhan, termasuk relasi personal antara korban dan pelaku. Serta dugaan adanya kekerasan yang terjadi sebelum pembunuhan.
Femisida
Peristiwa ini menambah daftar panjang kekerasan ekstrem terhadap perempuan di Indonesia. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dalam berbagai laporannya menegaskan bahwa pembunuhan perempuan oleh pasangan atau orang terdekat merupakan bentuk kekerasan berbasis gender yang kita kenal sebagai femisida.
Komnas Perempuan mendefinisikan femisida sebagai pembunuhan terhadap perempuan yang terjadi karena identitas gendernya, sering kali berawal dari relasi kuasa yang timpang, rasa memiliki, cemburu berlebihan, atau keinginan mengontrol tubuh dan hidup perempuan.
Dalam banyak kasus, femisida diawali dengan kekerasan dalam pacaran atau relasi intim yang sebelumnya tidak terdeteksi atau diabaikan.
Menurut Komnas Perempuan, femisida tidak hanya berdampak pada hilangnya nyawa korban. Tetapi juga meninggalkan trauma mendalam bagi keluarga, komunitas, dan masyarakat luas.
Bahkan, kekerasan semacam ini semakin memperkuat rasa takut perempuan untuk beraktivitas baik di ruang privat maupun publik. Sekaligus menunjukkan lemahnya sistem perlindungan terhadap perempuan.
Terlebih, kasus di Mojokerto ini menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan kerap terjadi di ruang yang aman, yakni dalam hubungan intim.
Sedangkan, Komnas Perempuan berulang kali mengingatkan bahwa relasi pacaran bukan ruang bebas kekerasan, dan negara memiliki kewajiban untuk menghadirkan sistem pencegahan, perlindungan, serta penanganan yang komprehensif.
Selain itu, Komnas Perempuan menilai pentingnya peran masyarakat dalam mendeteksi dan melaporkan tanda-tanda kekerasan sejak dini.
Sikap permisif terhadap kekerasan, normalisasi posesivitas, serta anggapan bahwa urusan relasi personal adalah wilayah privat, sering kali membuat kekerasan terus berulang hingga berujung pada kematian korban.
Hingga kini, kepolisian masih melengkapi berkas perkara dan berkoordinasi dengan kejaksaan. Sementara itu, Komnas Perempuan mendorong agar penanganan kasus ini mereka lakukan secara transparan dan berkeadilan. Serta menjadikan kasus ini untuk memperkuat upaya pencegahan femisida dan kekerasan berbasis gender di Indonesia.
Kasus ini kembali mengingatkan bahwa kekerasan terhadap perempuan bukan masalah tunggal. Melainkan bagian dari persoalan struktural yang membutuhkan respons serius dari negara dan masyarakat. []



















































