Minimal dalam satu dasawarsa ini bumi manusia di sini tengah diganggu oleh orang-orang yang mengklaim diri paling benar dalam hal keyakinan keagamaan atau dalam hal pikiran/ kehendak, dan mereka bergerak untuk memaksakan keyakinan atau pandangannya itu kepada semua orang, karena menurut mereka orang-orang selain mereka itu sesat dan sebagian kafir dan itu akan mengantarkan ke neraka.
Tak pelak, akibatnya relasi antar warga negara mengalami ketegangan dan menjelang konflik serius. Padahal mereka dan hampir semua orang mendengar bahwa tidak boleh ada paksaan dalam hal keyakinan agama.
Al Qur’an menyatakan :
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama; sungguh telah jelas jalan yang benar dan jalan yang sesat.
Mengomentari ayat ini Ibnu Katsir mengatakan,
أي: لا تكرهوا أحدًا على الدخول في دين الإسلام فإنه بين واضح جلي دلائله وبراهينه لا يحتاج إلى أن يكره أحد على الدخول فيه، بل من هداه الله للإسلام وشرح صدره ونور بصيرته دخل فيه على بينة، ومن أعمى الله قلبه وختم على سمعه وبصره فإنه لا يفيده الدخول في الدين مكرها مقسورًا
Maksudnya, jangan kalian paksa siapapun untuk masuk agama islam, karena kebenaran Islam sudah sangat jelas, nampak, kelihatan, dan sangat terang bukti-buktinya, sehingga tidak butuh memaksa siapapun untuk memasukinya. Namun orang yang mendapat petunjuk dari Allah untuk masuk Islam, Allah lapangkan dadanya, Allah beri cahaya ilmunya, maka dia akan masuk islam atas dasar telah mendapatkan penjelasan. (Tafsir Ibnu Katsir, 1/682).
Pepatah mengatakan : الاكراه لا يورث ايمانا وانما يورث نفاقا
Pemaksaan tidak mewariskan keimanan melainkan kepura-puraan (hipokrit).
Aku mengajak mereka berpikir dan merenungkan bagaimana jika mereka dipaksa mengikuti keyakinan orang lain yang tidak sama?
Pikiran seperti halnya keyakinan agama, begitu juga pikiran atau ideologi. Jika tidak salah Maulana Rumi pernah mengatakan : ليس فى وسعك ابعاد تلك الفكر عنك ولو بمائة الف جهد وسعي
“tak ada kuasamu menjauhkan pikiran-pikiran itu meski dengan seratus ribu usaha keras.”
Maulana Rumi, membuat perumpamaan yang sangat menarik sekaligus indah. Katanya :
الفِكَرُ مِثْلُ الطَّير فِى الهَوَاء وَغَزْلانِ البَرِّ الَّتى قَبْلَ اَنْ تُمَسِّكَهَا وَتَضَعَها فِى الاَقْفَاصِ لَا يَحِلُّ لَكَ بَيْعُها فِى الشَّرْعِ. فَاِنَّهُ لَيْسَ فِى مَقْدُورِكَ بَيْعُ طَائِرٍ فِى الهَوَاءِ لِاَنَّهُ فِى البَيْعِ التَّسْلِيمُ شَرْطٌ. وَعِنْدَ مَا لَا يَكُونُ ذَلِك فَى مَقْدُورِكَ كَيْفَ تُسَلِّمُه. وهكذا فَالفِكَرُ مَا دَامَتْ فِى البَاطِنِ تَكُونُ دُونَ اِسْمٍ ودُونَ عَلَامَةٍ لَا يُمْكِنُ الحُكْمُ عَلَيهَا لَا بِكفْرٍ وَلَا بِإِسْلَامٍ
“Pikiran itu bagaikan burung yang terbang lepas di udara atau bagaikan rusa liar di sebuah hutan antah berantah. Sebelum kau menangkap dan memasukkannya ke dalam sangkar kau tak boleh menjualnya. Tak ada pula kuasamu menangkap burung yang terbang di udara. Penyerahan barang adalah syarat jual beli. Bagaimana mungkin kau bisa menyerahkan barang yang tak ada dalam genggamanmu. Begitulah pikiran. Sepanjang ia ada di dalam tempat tersembunyi ia tak memilik nama dan bentuk. Pikiran tak bisa dinilai kafir atau Islam.”
Jalan Emas
Nah begitulah. Syams-i al-Tabrizi, sang darwisy pengelana, guru spiritual Maulana Rumi, menawarkan jalan emas yang begitu indah saat mengatakan :
لا تحكم على الطريقة التي يتواصل بها الناس مع الله، فلكل إمرئٍ طريقته وصلاته به الخاصة إن الله لا يأخذنا بكلمتنا بل ينظر في أعماق قلوبنا. وليست المناسك أو الطقوس هي التي تجعلنا مؤمنين، بل إن كانت قلوبنا صافية أم لا.
“Janganlah engkau menghakimi cara manusia menempuh dan berhubungan dengan Tuhan, agar sesuai dengan dirimu. Masing-masing orang mencari cara/ jalan sendiri-sendiri. Tuhan tidak melihat kata-katanya melainkan mendengar suara hatinya. Bukan ritual itu yang menjadikan kita orang-orang yang beriman, melainkan apakah hati kita bersih atau kotor.”
Ah, andai saja semua orang mau merenungkan the golden rule ini, hidup akan terasa damai dan indah. []