Cirebon, 10 Januari 2007
“Kapan kamu akan mengerti Sarah. Ayahmu sudah tiada, jangan kau bebani Ibumu untuk memenuhi semua keinginanmu.” Kata-kata Ibu masih jelas terngiang dalam ingatan. Teguran dan kemarahan Ibu aku anggap angin lalu. Ketika setiap keinginanku tak bisa diberikan Ibu aku akan pergi dari rumah diam-diam, dan menginap di rumah teman.
Tak sekali dua kali aku lakukan itu. Bahkan sering. Hingga kadang-kadang ketika jelang subuh aku baru pulang ke rumah, aku dapati Ibu menangis dalam sujud shalatnya. Dan seketika aku menyesal, tetapi hanya sesaat. Begitu mendengar keluhan Ibu tentang ekonomi keluarga yang semakin sulit, pendapatan keuangan yang semakin sedikit, kebiasaanku kabur dari rumah kembali lagi.
Dalam titik jenuh kehidupan, seringkali aku berpikir untuk meninggalkan bangku kuliah dan memilih kerja. Apa saja yang penting itu halal dan bisa aku lakukan di usiaku yang masih 20-an. Kalau perlu mencari pekerjaan paruh waktu, entah di kampus atau di sekitar tempat tinggalku, di Cirebon.
13 Januari 2007
Saat pikiranku sedang karut-marut. Kacau-balau. Sahabat dekatku, Nayla Azkia mengajakku nongkrong di kampus. Kongkow bareng sahabat-sahabat BEM Fakultas. Kebetulan saat itu, para pengurus BEM-F tengah mempersiapkan pelantikan pengurus baru. Mungkin karena melihat raut mukaku suntuk, tak jelas dan tak beraturan, Nayla menanyakan kenapa dengan mood boosterku tiba-tiba lemah, yang biasanya selalu full energi.
Lalu aku bercerita tentang kondisi keluargaku, Ibu yang sakit-sakitan dan semakin uring-uringan karena persoalan sepele. Sekedar minta uang untuk membeli pulsa hp, ceramahnya sudah kemana-mana. Belum selesai aku curhat ke Nayla, salah satu senior kampus Bang Hans datang menghampiri. Bang Hans itu, selain senior kami di kampus dia juga bekerja di salah satu harian lokal terbesar di Indramayu.
“Nay, kamu punya teman yang bisa nulis nggak? Kabar Cherbond lagi butuh jurnalis nih, tapi mintanya cewek.” Ujar Bang Hans.
Spontan saja Nayla melirikku. “Sarah ini kesempatan buat kamu, lumayan bisa nambah uang jajan dan beli pulsa, kamu kan hobby menulis”, bisik Nayla di sampingku.
Dan aku hanya menganggukkan kepala tanda setuju. “Siap Bang Hans. Di sebelahku ini jago nulis, dia namanya Sarah Amalia. Kapan proses interview dan kerjanya Bang?”, jawab Nayla dengan penuh semangat. Bang Hans melihatku sebentar dan menanyakan ulang apakah aku siap bergabung di media Kabar Cherbond. Aku bilang siap lahir batin. Siap kapanpun pekerjaan itu ada untukku.
Kemudian Bang Hans menyuruhku datang ke Kantor Biro Kabar Cherbond keesokan harinya. Kalau kata pepatah lama “pucuk di cinta ulam pun tiba”. Artinya sesuatu yang sedang di harap-harapkan tiba-tiba muncul di depan mata. Aku percaya bahwa jika manusia sebagai makhluk Tuhan yakin dengan kekuasaanNya, maka tidak ada yang tidak mungkin di dunia. Tinggal bagaimana cara kita berusaha untuk mewujudkan harapan itu.
14 Januari 2007
Sehari setelah pertemuan di kampus aku mendatangi kantor biro Kabar Cherbond di Jl. Jenderal Sudirman. Tidak lupa dengan membawa persyaratan sebagai mana orang mau melamar kerja. Ada daftar riwayat hidup. Ada surat keterangan masih menempuh pendidikan di salah satu kampus negeri. Ada foto copy ijazah terakhir dan beragam sertifikat pendidikan kilat kepenulisan jurnalistik serta sertifikat pendukung lainnya.
Setelah bertemu dengan Direktur Perusahaan, atau yang biasa disebut Bos Besar, aku tidak ditanyakan apapun terkait dengan pekerjaan atau sejauh mana aku bisa menulis. Bos Besar hanya menyuruhku bercerita tentang siapa diriku, bagaimana keluargaku dan kenapa aku tertarik bergabung dengan Kabar Cherbond. Karena aku terbiasa berbicara dengan banyak orang di organisasi maka aku tak menemukan kesulitan berarti. Malah membuat Bos Besar takjub. Heran mungkin, ada anak perempuan, yang masih ingusan nekad bekerja dalam dominasi laki-laki di tempat kerja.
Beliau lalu berdiri dan menjabat tanganku “Selamat datang di Kabar Cherbond. Selamat bergabung bersama keluarga Kabar Cherbond. Kami tunggu karya dan kreativitasmu bersama Kabar Cherbond. Besok kamu langsung ikut magang bersama jurnalis senior. Semua bidang harus kamu masuki, dari berita politik, kriminal, ekonomi dan bisnis.”
Aku tertegun. Begitu mudahnya masuk perusahaan media, apalagi Kabar Cherbond adalah salah satu media lokal terbesar di wilayah 3 Cirebon. Sesampai di rumah aku langsung mencium tangan Ibu dan menyampaikan kabar gembira ini. Ibu menangis terharu. Memandangku dengan mata nanar. “Semoga Ibu bisa terus melihatmu menapaki tangga keberhasilan hidup. Doa Ibu akan selalu menyertaimu Nak.”
15 Januari 2007
Aku pamit sama Ibu. Berangkat ke kantor pusat Kabar Cherbond di Kota Cirebon. Aku bilang sama Ibu, satu minggu aku akan meninggalkan rumah. Magang kerja menjadi salah satu jurnalis di media Kabar Cherbond. Saat itu aku tak punya firasat apa-apa. Aku hanya melihat wajah ibu yang nampak tua dan lelah. Meski saat itu Ibu kerap kali mengeluh sakit, tapi tak pernah mau di bawa berobat ke dokter atau rumah sakit. Ibu hanya bilang tak apa-apa nanti juga akan hilang sendiri.
21 Januari 2007
Aku pulang lagi ke rumah setelah satu minggu menyelesaikan salah satu syarat menjadi jurnalis tetap, yakni magang kerja bersama jurnalis senior. Aku benar-benar kerasan bersama para jurnalis di Kabar Cherbond. Mereka semua orang-orang yang penuh dedikasi, dan semangat kerja, produktif serta kreatif. Ada saja ide-ide segar yang bisa dijadikan bahan liputan atau tulisan.
Aku ikut termotivsi dan terinspirasi bersama orang-orang hebat itu. Sejenak bisa aku lupakan segala persoalan di rumah. Sesekali kadang aku juga mengabari Ibu yang kadang tak sabar ingin tahu bagaimana kondisiku di tempat kerja yang baru. Dan tak lupa aku menanyakan kabar Ibu dan kesehatannya.
Sesampai di rumah aku melihat Ibu malah semakin parah kondisinya. Kata para tetangga Ibu terlampau sedih di tinggal aku selama satu minggu. Sebagai anak satu-satunya dan perempuan lagi, tentu Ibu terlampau mengkhawatirkanku. Mengingat akhir-akhir ini di media televisi ada saja berita negatif tentang perempuan lajang yang tinggal sendirian di luar kota.
Setelah aku di rumah, dan aku bujuk rayu Ibu agar mau di bawa ke rumah sakit, aku bilang pada Ibu apakah masih ingin melihat anaknya sukses, menikah dan nanti punya cucu. Akhirnya Ibu mau aku antar ke rumah sakit. Karena mungkin penyakit Ibu sudah parah dokter menyuruh Ibu untuk opname dan operasi. Saat itu demi kesehatan Ibu aku iyakan saja. Yang penting Ibu bisa kembali sembuh seperti sedia-kala.
28 Januari 2007
Ibu telah usai di operasi. Setiap hari aku bolak-balik dari rumah sakit ke tempat kerja. Sesekali pulang ke rumah hanya untuk mandi dan ganti baju. Aku senang semangat hidup Ibu telah kembali lagi. Tetapi kadang aku tidak tega juga setiap kali perawat membersihkan bekas luka operasi. Ibu seperti menahan sakit dan menahan air mata agar tidak keluar. Selalu aku tanyakan apakah sakit Bu. Jawabnya tidak, hanya sakit sedikit. Tapi aku tahu mata Ibu tidak bisa di bohongi, ia terus mengeluarkan air mata tanda bahwa sakitnya tak tertahankan lagi.
29 Januari 2007
Hari itu aku lelah sekali. Ada lebih dari lima titik liputan dari pagi hingga sore. Padahal malamnya aku begadang menemani Ibu di rumah sakit. Pagi sebelum berangkat aku tanya pada Ibu ingin di bawakan apa. Ingin dibelikan apa. Ingin makan apa. Dan Ibu menjawab ingin makan dendeng daging sapi dan buah durian.
Aku titipkan Ibu pada para perawat. Hari ini lagi-lagi aku tak punya firasat apa-apa. Aku berangkat seperti biasa, dengan membawa kamera digital, buku notes kecil dan flashdisch. Sesuai permintaan Ibu, pulang kerja aku bawakan apa yang Ibu inginkan. Ibu makan sedikit dendeng sapinya, sedangkan buah durian belum disentuh sama sekali.
Dan tiba-tiba malam sekitar jam 10 malam ibu kejang-kejang. Luka operasinya mengalami infeksi. Malam itu Ibu tak sadarkan diri dan koma. Aku terjaga menunggu keajaiban itu datang. Berharap mata itu akan terbuka lagi. Ketika raga ini tak sanggup menahan kantuk aku tertidur di samping Ibu. Dengan tanganku tetap memegang tangan Ibu.
30 Januari 2007
Sayu-sayup adzan subuh terdengar. Aku terbangun namun mata Ibu masih tertutup rapat. Aku segera menjalankan ibadah shalat subuh. Berharap masih ada keajaiban, Ibu akan sadar kembali dan pulang ke rumah. Jam di dinding terus bergerak, dan tiba-tiba saja tubuh Ibu bergerak pelan sekali. Aku mendekati hanya kalimat “Allah” yang aku dengar lirih. Lalu Ibu pergi untuk selamanya.
Innalillahi wa Inna Ilaihi Roji’un. Aku tergugu menangis seorang diri. Ibu telah menyusul Ayah menghadap ke haribaanNya. Di usia 19 aku menjadi Yatim dan kini di usia 22 aku pun menjadi piatu. Maafkan anakmu Ibu, belum bisa membahagiakanmu. Maafkan anakmu yang belum bisa memberikan senyum kebanggaan di wajahmu.
Maafkan anakmu Ibu yang belum mampu mempersembahkan gelar sarjana. Maafkan anakmu Ibu yang kerap kali membuatmu menangis. Maafkan anakmu Ibu yang selalu menyusahkanmu. Maafkan anakmu Ibu yang meski aku tahu di malam-malam sunyimu ada namaku kau sebut dalam doa, namun aku tetap saja sering abai terhadap kehadiranmu.
Maafkan, begitu banyak yang ingin aku sampaikan padamu. Terimakasih telah menjadi Ibu yang hebat bagiku. Terimakasih telah mendidikku menjadi perempuan, gadis kecilmu yang tetap apa adanya. Terimakasih telah mengajarkanku untuk menjadi perempuan yang kuat, terimakasih telah mengingatkanku agar menjadi perempuan yang berdikari –berdiri di atas kaki sendiri-, perempuan yang tegar menatap masa depannya meski tanpa kepastian.
Damailah Ibu dalam tidur panjangmu. Sampaikan salamku untuk Ayah. Sarah akan baik-baik saja, karena kehidupan harus terus berjalan. Dan di hari itu juga Ibu di makamkan. Persis di samping makam ayah. Langkah kakiku akan terus berjalan, meski tanpa kehadiran orang tua. Di alam sana, aku percaya mereka akan tetap melihatku dari kejauhan. Akan aku tunaikan janjiku menjadi sarjana, meniti jalan masa depan dengan percaya diri dan langkah pasti.
Sayup-sayup terngiang lagu “Ibu” yang dinyanyikan Bang Iwan Fals. “Ingin kudekap dan menangis di pangkuanmu, sampai aku tertidur bagai masa kecil dulu. lalu doa-doa baluri sekujur tubuhku, dengan apa membalas ibu.” Dengan berurai air mata, aku mengantarkan jenazah Ibu menuju keabadian.[]