Mubadalah.id – Kemarin 25 Desember 2020, aku melalui Zoom, diminta bicara soal musik dan nyanyian oleh mahasiswa Perguruan Islam Mathali’ul Falah, Kajen, Margoyoso, Pati. Aku memulai dengan bercerita tentang Gus Dur. Maklum bulan Desember, bulan Gus Dur.
Gus Dur adalah kiyai dan ulama. Sebagian orang bahkan menyebutnya wali, atau kekasih Tuhan, sebagaimana walisanga. Tetapi berbeda dengan kebanyakan ulama, Gus Dur sangat senang mendengarkan musik dan nyanyian klasik, gubahan para maestro musik klasik dunia seperti Beethoven. Mozart, Chopin, Bach, Tchaicovsky dan lain-lain. Bila malam-malam sendirian, karena tak ada lagi tamu, beliau memutar kaset berisi musik klasik tersebut, sambil duduk di atas kursi.
Gus Dur sehati dan mengikuti jejak pikiran Imam al-Ghazali. Sang Hujjah al-Islam ini berbeda dengan ulama tekstualis konservatif radikal, yang mengharamkan musik, Imam al-Ghazali, sang sufi terbesar itu justru memberi apresiasi demikian tinggi terhadap musik dan nyanyian.
Dalam karya masterpiece nya, “Ihya Ulumiddin”, Sang argumentator Islam ini menyampaikan kata-kata indah seperti ini :
مَنْ لَمْ يُحَرِّكْهُ الرَّبِيْعُ وَأَزْهَارُهُ، وَالْعُودُ وَأَوْتَارُهَ، فَهُوَ فَاسِدُ الْمِزَاجِ، لَيْسَ لَهُ عَلاَجٌ (احياء علوم الدين ٢ /٢٧٥)
“Orang yang jiwanya tak tergerak oleh semilir angin, bunga-bunga, dan suara seruling musim semi, adalah dia yang kehilangan jiwanya yang sulit terobati”. (Ihya, 2/275).
Bagi al-Ghazali music dapat meningkatkan gairah jiwa atau ruh. Ia mengajak masyarakat untuk merenungkan suara-suara burung nuri atau burung-burung yang lain, seperti beo, cicakrowo, murai dan lain-lain. Suara-suara itu begitu indah, merdu dan menciptakan kedamaian di hati pendengarnya.
Seruling dan clarinet yang ditiup, piano dan organ yang ditekan satu-satu, biola, violin yang digesek-gesek atau rebana yang ditabuh adalah suara-suara. Suara-suara musik dan nyanyian ini hadir mengekspresikan lubuk hati yang dalam. Suara-suara itu tak ada bedanya dengan nyanyian para penyanyi. Katanya:
فَسِمَاعُ هَذِهِ الْاَصْوَاتِ يَسْتَحِيْلُ اَنْ يُحرَمَ لِكَوْنِهَا طَيِّبَةٌ اَوْ مَوْزُوْنَةٌ فَلاَ ذَاهِبٌ اِلَى تَحْرِيْمِ صَوْتِ الْعَنْدَلِيْبِ وَسَائِرِ الطُّيُوْرِ. وَلَا فَرْقَ بَيْنَ حَنْجَرَةٍ وَحَنْجَرَةٍ وَلَا بَيْنَ جَمَادٍ وَحَيَوَانٍ. فَيَنْبَغِى اَنْ يُقَاسَ عَلى صَوْتِ الْعَنْدَلِيبِ وَالْاَصْوَاتِ الْخَارِجَةِ مِنْ سَائِرِ الْاَجْسَامِ بِاخْتِيَارِ الْآدَمِي كَا لَّذِى يَخْرُجُ مِنْ حَلَقِهِ اَوْ مِنْ الْقَضِيْبِ وَالطِّبْلِ وَالدُّفِّ وَغَيْرِهِ.
“Mendengarkan suara-suara ini mustahil haram. Bagaimanapun ia adalah suara-suara yang indah dan berirama. Tak seorangpun yang mengharamkan suara burung nuri dan burung-burung yang lain. Tak ada beda antara tenggorokan satu dengan tenggorokan yang lain, antara benda tak bergerak dan binatang. Maka seyogyanya suara burung nuri disamakan suara-suara manusia atau suara-suara bambu, kendang, rebana dan lain-lain.”
Lalu aku juga bercerita tentang pengalamanku menghadiri dan menyaksikan Tari Sema, Whirling Darvishes, di Istambul. Begitu menarik. Konon tarian ini diciptakan oleh sufi penyair terbesar, Maulana Jalaluddin Rumi, paska ditinggal guru besarnya Syams Tabrizi.
Bagi Maulana, Tarian dan musik spiritual adalah audisi dan visi dari Kehadiran Tuhan. Katanya : “Sudah terlalu sering dan banyak kau menari untuk dunia. Kini saatnya kau menari bagi Kekasih. Sudahi mengejar bayang-bayang. Sekarang datanglah ke pangkuan Kekasih.”
Dakwah (ajakan/penyebaran misi) melalui seni dan budaya, dewasa ini tampak menjadi semakin penting di tengah-tengah orasi yang menggurui, indoktrinasi yang menciptakan kebodohan publik dan pidato agitatif yang menjenuhkan dan tidak membawa efek perubahan perilaku yang lebih baik.
Al-Isfahani, dalam bukunya yang terkenal “Al-Aghani” (Nyanyian-nyanyian), mengatakan bahwa “selama penyebaran Islam di berbagai wilayah: Arabia, Persia, Turki dan India, music berkembang sangat pesat, sebagai sarana dakwah.”
Di Indonesia, Sunan Kalijaga, seorang sufi besar adalah orang yang berhasil melakukan “pribumisasi” Islam di Jawa yang masih menganut agama Hindu dan Budha, melalui seni, budaya, musik dan nyanyian. Lirik-lirik lagu yang digubahnya, seperti “Gundul-gundul Pacul” dan “Lir Ilir” berisi nilai-nilai spiritualitas yang tinggi dan mengungkapkan ajakan kemuliaan hidup berdasarkan ajaran-ajaran Agama.
Sunan Bonang, sufi besar lainnya juga menggubah lagu Tombo Ati yang begitu manis sekaligus membimbing. Hanya mereka yang tak paham, yang menolak seni : tarian, lukisan, musik dan nyanyian. Mereka adalah orang-orang yang telah kehilangan rasa. Hati mereka menjadi keras dan kasar bagai batu cadas. []