Mubadalah.Id– Berikut ini penjelasan terkait kesalingan sejak dalam pikiran. Saat ini kesalingan sejak dalam pikiran sangat penting. Pasalnya, menjadi manusia dengan jenis kelamin perempuan di Indonesia ini harus siap dengan berbagai tantangan. Apalagi perempuan yang memiliki impian, karir, dan tingkat pendidikan lebih tinggi dari laki-laki kebanyakan.
Tidak sedikit teman yang saya kenal dihadapkan pada beberapa masalah dalam upayanya meraih pendidikan tinggi. Masalah yang muncul dari akar ketidaksetaraan baik dalam lingkungan keluarga maupun sosial.
Pengakuan dari salah satu teman dari salah satu daerah kecil di Jawa Timur. Tiket dia untuk bisa sekolah tsanawiyah (SMP) saja begitu berat. Dia harus bertunangan terlebih dulu. Bisa dibayangkan betapa masih sangat konservatifnya masyarakat kita.
Mereka beranggapan bahwa orang tua yang membiarkan anak perempuannya melanglang buana tanpa terlebih dahulu diikat (bertunangan) dengan anak laki-laki orang adalah termasuk orang tua yang sembrono.
Baca juga: Membangun Surga Rumah Tangga dengan Prinsip Kesalingan
Jika setelah selesai tsanawiyah ternyata si anak ingin terus melanjutkan pendidikan, alih-alih menikah dengan tunangannya, maka akan muncul permasalahan baru. Masalah tidak hanya dari lingkungan keluarga melainkan juga lingkungan sosial.
Lain ceritanya dengan laki-laki. Mereka bebas menentukan hidup macam apa yang akan mereka pilih tanpa larangan dan batasan dari siapapun. Hampir pada semua aspek, laki-laki memiliki kuasa penuh atas diri dan hidupnya.
Baca juga: Persamaan dan Kesalingan dalam Perjuangan Kartini
Dari kasus semacam ini kemudian muncul pertanyaan “kenapa masyarakat kita memandang beda antara laki-laki dan perempuan?”
Jadi, stigma masyarakat bahwa perempuan adalah (sekadar) pendamping tumbuh amat subur di lingkungan kita.
Bahwa perempuan lahir dengan mengemban amanah dari sang pencipta untuk (hanya) diposisikan sebagai gender kedua setelah laki-laki.
Mereka hidup untuk membantu dan mendampingi siapapun calon suaminya kelak yang itupun tetap akan dipilihkan dan disetujui oleh kedua orang tuanya.
Maka bukan “apa impian dalam hidupmu? Wujudkan!” melainkan, “apa impian hidup suamimu? Ikuti!.”
Al-Qur’an sendiri telah menjelaskan bahwa manusia adalah sebagai kholifah fil arl. Manusia sebagai pengganti Allah di bumi adalah manusia. Dalam konteks umum, tidak ada spesifikasi manusia dengan jenis kelamin laki-laki atau perempuan.
Tidak disebutkan di dalamnya istilah gender pertama dan gender kedua, maka apa dasar yang digunakan untuk membatasi ruang gerak manusia lain?
Karena setiap manusia memiliki potensi cemerlang yang dianugerahkan oleh sang pencipta maka seyogianya tidak boleh ada yang membatasi.
Baca juga: Tauhid untuk Keadilan dan Kesalingan
Masyarakat harus berani mengubah pola pikir bahwa anak laki-laki dan perempuan harus mendapatkan kesempatan yang sama. Laki-laki bisa memilih maka perempuan bisa, laki-laki boleh menolak maka perempuan boleh.
Laki-laki akan menentukan tujuan dan impian hidupnya sendiri maka perempuan akan juga seperti itu.
Dengan berangkat dari merubah pola pikir maka segala bentuk kesenjangan akan mulai terkikis habis. Laki-laki dan perempuan akan selalu berjalan beriringan, saling hormat dan menghargai gagasan. Bersama-sama mengembangkan potensi personal untuk mutu kehidupan yang lebih berkualitas baik domestik maupun sosial.[]