Apa yang terlintas di pikiran anda ketika mendengar kata feminis atau feminisme? Persepsi anda tentu sangat beragam, namun pasti ada benang merah di antara seluruhnya. Tidak dapat dimungkiri dua kata tersebut telah sekian lama diliputi problematika, entah itu karena persoalan historisitas atau sentimen-sentimen lainnya.
Dalam tulisan ini, feminis adalah seseorang yang memperjuangkan hak orang-orang yang tertindas karena adanya peran gender yang timpang. Setidaknya demikianlah yang ingin disampaikan Chimamanda Ngozi Adichie dalam bukunya, A Feminist Manifesto: Kita Semua Harus Menjadi Feminis.
Pertengahan akhir bukunya berisi 15 anjuran yang ia tuliskan untuk sahabatnya tentang cara membesarkan anaknya menjadi seorang feminis. Sampai saat ini, saya kira apa yang dituliskan Adichie dalam bukunya sangat relevan dengan keseharian kita.
Ia bercerita dalam buku itu, tentang bagaimana perempuan selama ini diperlakukan, pun apa yang akan dilakukan para orang tua kebanyakan setelah mereka memiliki anak perempuan. Ini sangat realistis sekaligus membuka pikiran kita bahwa ternyata konstruksi patriarki sudah kita tanamkan semenjak kecil.
Anak yang tidak mengetahui apa pun sudah diajarkan tentang peran gender yang “perempuan”. Tidak jarang kita menemukan realita semacam “warna biru untuk laki-laki, sedangkan merah muda untuk perempuan”, atau keharusan anak perempuan untuk selalu tersenyum ramah dan lemah lembut kepada siapa pun.
Belum lagi jika kita menyebutkan persoalan mainan yang seolah sudah ditentukan: boneka untuk anak perempuan dan mobil-mobilan untuk anak laki-laki. Ini mendorong Adichie untuk menginginkan sahabatnya mengukur anak perempuannya berdasarkan skala ‘menjadi bentuk terbaik’, alih-alih peran gender.
Poin selanjutnya, anak-anak perlu diajari membaca dan memahami bahasa—yang penuh asumsi. Kata Adichie, buku akan membantu anak untuk memahami dunia dan mengekspresikan diri. Karena membiasakan anak untuk membaca cukup sulit, kita bisa memberi contoh atau memberi reward padanya.
Adapun bahasa, itu bergantung pada apa yang dikatakan oleh orang tua, tentang sesuatu yang kelak akan dihargai atau tidak dihargai anak. Kita bisa memilih untuk tidak mengatakan ‘tuan puteri’ kepada anak untuk menghindari asumsi yang mengiringi kata itu, dan menggunakan kata ‘bintang’ atau ‘malaikat’ sebagai gantinya.
Kecintaan terhadap diri pun sama pentingnya. Alih-alih mencoba untuk disukai, anak-anak perlu diajarkan untuk menjadi seseorang yang jujur dan sadar akan kemanusiaan yang setara satu sama lain. Mendengarkan pendapat orang tentang diri sendiri secara tidak sadar mencetak seseorang untuk mengubah diri menjadi sesuatu yang bahkan tak kasat mata.
Ajaran bagi anak perempuan untuk menjadi baik, penurut, dan pendiam perlu dikoreksi. Banyak gadis yang tetap diam ketika ia dilecehkan atau diperlakukan dengan tidak adil hanya supaya ia tetap terlihat baik. Pertanyaannya, apakah kita juga mengajarkan hal itu kepada anak laki-laki?
Masalah yang sama juga tampak ketika para orang tua mendoakan anaknya supaya menikah dan mendapatkan suami yang baik, yang kemudian menciptakan stigma yang kerap kali dipercayai para gadis bahwa pernikahan adalah sebuah cita-cita. Tetapi, apakah anak laki-laki juga didoakan hal yang sama oleh orang tua mereka?
Dalam masyarakat bahkan sudah lazim ditemui bahwa perempuan tidak boleh terlalu lama menunda menikah, sementara laki-laki masih bisa bekerja sesuai yang ia inginkan tanpa harus mengkhawatirkan usia.
Semenjak kecil anak sebaiknya diperkenalkan dengan identitas dirinya dan didukung untuk bangga terhadapnya. Seiring ia tumbuh, pasti akan banyak perbedaan yang ia temukan, dan ia harus diajarkan untuk terbiasa akan hal itu. Ia perlu mengetahui bagaimana menyeleksi hal-hal positif budayanya dan menghargai apa yang tidak sesuai jalan pikirannya.
Menjadi orang tua tentu merupakan tanggung jawab yang besar. Ayah dan ibu sama-sama memikul tugas mulia mendidik seorang anak. Karena bersama, tidak dinamakan sebagai bentuk atau sikap membantu ketika ayah mengganti popok sang anak atau menggendongnya ketika ia menangis. Tetapi merupakan kesadaran serta komitmen yang telah dibangun bersama.
Begitu pula ibu. Meskipun menjadi seorang ibu adalah hal yang membanggakan, itu tidak boleh mengalahkan kemanusiaannya. Jika ingin bekerja atau berkegiatan di luar rumah, maka ia berhak melakukan itu. Ibu boleh memiliki waktunya sendiri, bahkan waktu untuk merasa gagal. Bukankah dari keluarga yang demikianlah seorang anak yang feminis akan tumbuh? []