Mubadalah.id – Setiap memperingati tahun baru hijriyah, kita selalu diingatkan tentang sejarah hijrah Nabi Muhammad SAW. Kita tahu bahwa perjuangan Nabi dalam menyebarkan ajaran Islam di Makkah tidak lah mudah dan banyak mengalami rintangan. Hingga pada akhirnya kemajuan Islam mulai terasa nyata setelah pristiwa hijrah Nabi ke Madinah.
Namun siapa sangka. Ternyata di balik kesuksesan hijrah Nabi Muhammad SAW yang monumental tersebut, ada peran dan kontribusi perempuan tangguh bernama Asma’ binti Abu Bakar ra. Ia adalah putri sahabat Nabi, Abu Bakar ra sekaligus kakak dari Aisyah ra, istri Nabi.
Sejak kecil Asma’ sudah hidup dalam suasana rumah yang lekat dengan nilai-nilai keimanan dan perjuangan. Ayahnya, Abu Bakar ra, dikenal sebagai tokoh yang jujur, tegas, dan memiliki iman yang kokoh. Karakter ini lah yang juga diwarisi oleh Asma’.
Di sisi lain, satu hal yang menarik, ibunda Asma’, Qutailah binti Abdil-Uzza, saat itu belum memeluk Islam. Namun, Asma’ tetap menghormatinya tanpa sedikit pun menunjukkan sikap benci atau menjauhi. Dari sini, kita belajar, toleransi dan penghargaan terhadap keyakinan orang lain bisa kita mulai dari keluarga, bukan hanya lewat slogan sosial.
Keberanian Asma’ dalam Peristiwa Hijrah Nabi
Selama proses hijrah, Nabi ditemani Abu Bakar ra bersembunyi dari kejaran musuh kafir Quraisy selama tiga hari di Gua Tsur. Gua ini berada di atas bukit. Selama itulah, Asma’ berperan dalam menyuplai makanan dan kebutuhan lainnya kepada Nabi dan ayahnya di Gua Tsur.
Dalam keadaan hamil, setiap malam Asma’ berjalan keluar rumah menantang bahaya dan menghindari mata-mata kaum kafir Quraisy, mendaki bukit untuk mengantar makanan kepada ayahnya dan Nabi. Untuk menghilangkan jejak, setiap pagi pembantunya menggembala kambing di sepanjang rute yang Asma’ lewati, sehingga jejaknya tersamarkan.
Suatu hari, Abu Jahal mendatangi Asma’ di rumahnya dan memaksa ia untuk mengatakan keberadaan Nabi dan Abu Bakar. Bukan hanya mendapat serangan psikis, Asma’ juga mendapatkan intimidasi secara fisik.
Namun meski mendapatkan berbagai serangan, Asma’ tetap teguh dengan pendiriannya dan tidak membocorkan keberadaan Nabi dan Abu Bakar. Ia bahkan menghadapi kekerasan fisik tanpa menyerah. Keberanian dan ketabahannya dalam situasi tersebut menunjukkan kualitas kepemimpinan dan pengabdian yang luar biasa.
Peran Asma’ tersebut diabadikan dalam sebuat hadis yang berbunyi:
قَالَ ابْنُ إِسْحَاقَ: “كَانَتْ أَسْمَاءُ بِنْتُ أَبِي بَكْرٍ تَأْتِيهِمَا بِالطَّعَامِ، وَهِيَ الَّتِي شَقَّتْ قِطْعَةَ نِطَاقِهَا، فَرَبَطَتْ بِهِ السَّفَرَةَ، فَسُمِّيَتْ ذَاتَ النِّطَاقَيْنِ”.
Artinya: Ibnu Ishaq berkata: “Asma’ binti Abu Bakar biasa membawa makanan untuk Nabi dan ayahnya (Abu Bakar) ketika mereka bersembunyi di gua. Dialah yang mengoyakkan sabuk (ikat pinggang)-nya dan menggunakannya untuk mengikat bekal makanan, sehingga ia diberi julukan ‘Dzatun Niṭāqayn’ (Perempuan pemilik dua sabuk).” (Ibnu Hajar al-‘Asqalānī, al-Iṣābah fī Tamyīz aṣ-Ṣaḥābah).
Membangkitkan Semangat Asma’ dalam Kehidupan Kekinian
Dalam setiap lini kehidupan, nilai kebaikan seharusnya tak dibatasi oleh jenis kelamin. Baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak dan potensi yang sama untuk berkontribusi dalam membangun peradaban. Namun, realitas hari ini masih menunjukkan adanya ketimpangan ruang antara keduanya.
Perempuan kerap kali dipinggirkan, dibungkam, atau dianggap tidak layak tampil di ruang publik. Padahal, sejarah telah membuktikan sebaliknya. Buya Husein Muhammad dalam salah satu dawuhnya menyampaikan:
“Sesungguhnya perempuan berasal dari cahaya Allah. Ia bukan sekadar kekasih, bahkan bukan sekadar makhluk biasa, melainkan ia adalah makhluk yang kreatif, pencipta (khallāqah).”
Pernyataan ini bukan sekadar pujian simbolik, tetapi penegasan spiritual dan sosial bahwa perempuan memiliki kapasitas besar untuk mencipta dan membangun. Mereka bukan pelengkap, apalagi beban. Perempuan adalah bagian penting dari perubahan sosial dan kemajuan zaman.
Kisah Asma’ binti Abu Bakar adalah salah satu bukti kuatnya. Dalam sejarah Islam, Asma’ tampil sebagai sosok perempuan pemberani yang melawan ketidakadilan, bahkan terhadap tokoh sebesar Abu Jahal. Ia bukan hanya pendukung di balik layar, tetapi pelaku utama yang menyumbang peran besar dalam dinamika perjuangan.
Semangat Asma’ inilah yang perlu kita hidupkan kembali hari ini. Di tengah budaya yang masih membatasi perempuan, keberanian untuk menyuarakan kebenaran, keteguhan menjaga amanah, dan kesiapan untuk hadir secara aktif di tengah masyarakat menjadi kunci penting.
Perempuan harus kita beri ruang, bukan karena belas kasih, tetapi karena memang itulah hak dan kapasitasnya.
Sudah saatnya kita berhenti membatasi dan mulai memberdayakan. Perempuan bukan makhluk kelas dua, tetapi pilar utama peradaban. Jika kita ingin membangun masyarakat yang adil dan berkemajuan, maka perempuan harus bagian dari pembangunan peradaban tersebut. []