Mubadalah.id – Beberapa hari yang lalu, saya datang ke Omah Petroek dengan satu tujuan, yaitu mengikuti pelatihan penulisan profil ulama perempuan bergaya storytelling yang diadakan oleh Madrasah Creator KUPI (Kongres Ulama Perempuan Indonesia). Selama di perjalanan, tak ada bayangan apa pun tentang bagaimana lokasinya. Saat itu, fokusku hanya pada pelatihannya.
Namun, ketika sampai di Omah Petroek dan melihat begitu banyak bambu di area itu, saya cukup kaget. Saya sama sekali tidak menyangka banyak rumpun bambu sebesar dan setua itu di lokasi yang jauh dari pusat kota.
Reaksi pertamaku adalah takjub. Bambu-bambu itu tinggi, besar, dan terlihat kokoh. Saya bahkan sempat berhenti beberapa kali untuk melihatnya lebih dekat. Pengalaman sederhana itu mengingatkanku pada Sembalun, Lombok Timur.
Daerah asalku ini punya banyak bambu, termasuk kawasan kebun bambu Sembalun yang dilindungi. Namun sekarang, sebagian area itu dibabat dan dialihfungsikan atas nama pembangunan. Akibatnya, banjir dan longsor mulai sering terjadi walaupun skalanya belum terlalu besar.
Menghubungkan Pengalaman Diri dengan Ekologi
Melihat bambu-bambu di Omah Petroek membuatku memikirkan kembali hubungan antara manusia, pengetahuan, dan lingkungan dalam pengalamanku sendiri. Pelatihan bersama Madrasah Creator KUPI memang tidak membahas ekologi secara khusus, tetapi justru mengajak kami melihat pengalaman perempuan sebagai sumber pengetahuan yang sah.
Pada titik ini, saya merasa bahwa apa yang saya alami, mulai dari rasa takjub melihat bambu, teringat kampung halaman, dan merasakan kegelisahan atas kerusakan lingkungan adalah bagian dari pengetahuan itu sendiri. Ia lahir dari pengalaman dan apa yang saya lihat secara langsung.
Ini membuat saya sadar bahwa pengetahuan perempuan sering muncul dari perjumpaan sehari-hari dengan lingkungan dan realitas sosial di sekitar. Kita tidak bisa mengabaikan pengetahuan semacam ini karena ia berangkat dari pengalaman nyata.
Di ruang diskusi, kami berbicara tentang bagaimana pengalaman perempuan masih sering diremehkan, padahal itu adalah bagian dari sumber pengetahuan. Maka, ruang untuk bersuara bagi perempuan harus terus diperjuangkan, dipelihara, dijaga, dan dihargai. Jika ruang itu hilang, dampaknya terasa pada banyak aspek kehidupan, termasuk hilangnya pengalaman-pengalaman penting yang seharusnya menjadi bagian dari pengetahuan publik.
Dalam konteks itu, bambu-bambu di sekitar kami menjadi pengingat yang kuat bahwa sesuatu bisa bertahan lama hanya jika lingkungan yang mendukung tetap ada.
Belajar dari Bambu dan Sembalun
Di sela-sela mentoring kepenulisan, saya beberapa kali keluar ruangan hanya untuk melihat bambu. Ada sesuatu yang membuatku ingin kembali melihatnya. Mungkin karena saya rindu suasana Sembalun, atau bisa jadi karena bambu itu menunjukkan hal yang sederhana tetapi penting, yaitu sesuatu bisa tetap kokoh kalau kita merawatnya dengan baik.
Dari situ saya mulai merasa bahwa apa yang terjadi di Sembalun dan apa yang saya lihat di Omah Petroek saling berkaitan. Di satu tempat, masyarakat menjaga bambu hingga tumbuh puluhan tahun. Di tempat lain, mereka menebang bambu dan mengalihfungsikannya. Dampaknya sangat berbeda, dan manusia menjadi bagian dari akibat itu.
Kenapa Bambu Penting: Memahami Fungsi Ekologis
Bambu bukan sekadar tanaman biasa. Di banyak wilayah Indonesia, termasuk Lombok, bambu adalah bagian dari ekosistem lokal yang sangat penting. Namun karena seolah tumbuh liar dan “ada di mana-mana”, orang sering melupakan perannya.
Akar bambu kuat mengikat tanah, sehingga mencegah erosi. Di daerah pegunungan seperti Sembalun, bambu membantu menahan air hujan agar tidak langsung menjadi aliran deras ke bawah. Ia menyerap air dan melepaskannya perlahan, menjaga kestabilan air tanah. Bambu juga menjadi penahan angin dan habitat alami bagi berbagai satwa kecil.
Ketika masyarakat menebang bambu sembarangan, tanah kehilangan penyangga alami. Itulah yang saya lihat sendiri di kampungku. Area yang dulu aman kini lebih rentan longsor dan banjir. Vegetasi yang hilang tidak hanya mengganggu ekosistem, tetapi juga keselamatan manusia.
Kerusakan lingkungan ini membuatku semakin sadar bahwa alam tidak bisa selamanya memberikan perlindungan jika kita tidak menjaganya.
Pelatihan Madrasah Creator KUPI tidak hanya mengajarkan teknik menulis. Mereka memberi ruang bagi perempuan untuk melihat pengalaman mereka sendiri sebagai sumber pengetahuan yang sah. Dan pengetahuan itu tidak selalu berasal dari hal besar. Ia bisa muncul dari hal-hal kecil sebagaimana yang saya alami, melihat bambu, mengingat kampung halaman, atau menyadari perubahan lingkungan yang terjadi diam-diam.
Masyarakat seringkali menganggap pengalaman seperti ini sebagai hal yang sepele, padahal di sanalah perempuan menyimpan informasi penting tentang lingkungan, perubahan sosial, dan kehidupan sehari-hari. Pengetahuan ini layak kita catat karena ia lahir dari pengalaman langsung perempuan
Menutup Pelatihan dengan Pemahaman yang Lebih Utuh
Saat pelatihan berakhir, saya menyadari satu hal bahwa bambu-bambu di Omah Petroek dan pelajaran yang saya dapatkan dari Madrasah Creator KUPI saling berhubungan. Keduanya mengingatkanku bahwa keteguhan tidak muncul begitu saja. Ia tumbuh ketika ada ruang yang dijaga dan dihargai.
Pengalaman kecil yang saya alami selama mengikuti kegiatan Madrasah Creator KUPI di Omah Petroek membuatku paham bahwa pengalaman perempuan bukan hanya cerita pinggiran. Ia adalah bentuk pengetahuan yang sah dan lahir dari kehidupan sehari-hari.
Mungkin ini juga yang harus kita lakukan sebagai perempuan, yakni dengan menjaga cerita, ruang, dan lingkungan, serta merawat pengetahuan yang lahir dari pengalaman kita sendiri. []












































