Mubadalah.id – Kalau orang sekarang menyebut jalan-jalan dengan kata healing-healing, maka melaksanakan ibadah salat Jum’at dengan berpindah-pindah tempat setiap minggunya adalah sebuah healing-healing bagi saya. Memang, baru dua bulan terakhir ini saya menjalaninya, namun suasana berbeda di tiap-tiap masjid mampu memberikan satu nuansa syahdu tersendiri yang cukup mengasyikkan dan membuat saya ingin melakukannya lagi dan lagi.
Halah, bilang saja ndak punya bujet buat jalan-jalan ke Lombok, Bali, Semarang atau bahkan Malang yang sebenarnya cukup dekat dengan tempat tinggal saya di Lamongan. Yah, itu ada benarnya juga, sih. Hahaha.
Pengalaman Salat Jum’at di Ragam Masjid
Bagaimanapun, tentu tidak setiap hari anda merasakan rasanya berwudhu dari truk pengangkut air, bukan? Itu yang saya rasakan saat salat Jum’at di Masjid dekat dengan kantor walikota Surabaya. Sayangnya saya tidak bisa menemukan plang nama masjid itu karena saya tidak lewat pintu utama.
Lalu bagaimana dengan keseruan salat Jum’at di Masjid Cheng Hoo Surabaya yang terletak di dalam area perumahan? Ukuran masjid yang tidak terlalu besar bila dibandingkan dengan rumah-rumah di sekitarnya membuat orang yang baru pertama kali ke sana pasti akan kesulitan menemukan masjid ini.
Juga, jangan bayangkan anda akan duduk di dinginnya lantai keramik, sebab kalau tidak berangkat jam 10 atau setengah 11 WIB, saya rasa anda pasti tidak kebagian tempat di dalam masjid dan terpaksa duduk di lapangan beralaskan plastik-plastik sepanjang kurang lebih 20 meter sebagai pengganti sajadah (plastik pengganti sajadah untuk satu shaf di lapangan itu memiliki panjang kira-kira 18-20 meter).
Kalau pas selesai salat dan angin berhembus kencang, dijamin anda akan mendapatkan keseruan tambahan. Bagaimana tidak, orang-orang yang mulai meninggalkan tempat duduknya membuat plastik panjang tadi tidak ada pemberatnya lagi dan terbang diterpa angin. Seru, bukan? Yah, walaupun karena hal itu hampir dipastikan tidak ada yang bisa menunaikan salat sunnah selepas salat Jum’at. Wkwkwk.
Oke, cukup sekian dulu cerita tentang jalan-jalan ke masjidnya. Kita balik lagi ke judul tulisan ini.
Persamaan di antara Ragam Masjid
Dari beberapa masjid yang sudah saya singgahi, tentu saja ada banyak persamaan dari masjid-masjid itu. Hanya saja ada satu persamaan negatif yang selalu ada di masjid-masjid itu.
Saat di Masjid Cheng Hoo, kebetulan saya melihat ada remaja berpakaian seragam sekolah yang bermain game saat khutbah Jum’at sedang berlangsung. Walaupun tidak terlalu keras, tetap saja suara game itu terdengar cukup jelas karena yang lain sedang berkonsentrasi mendengarkan khutbah. Ingin saya menegur kebodohannya itu dengan cara menowel bahunya, tapi apa daya anak itu berada dua shaf di depan saya.
Di masjid lainnya, seorang bapak-bapak terlihat memasukkan data-data di aplikasi Excel di hapenya. Di tempat lain, saya melihat sekilas seorang remaja sedang mengetik pesan di aplikasi WhatsApp. Dan memang, remaja atau pun orang dewasa yang sedang mengetik pesan di aplikasi chat seperti WhatsApp dan Telegram, adalah hal yang paling banyak saya temukan saat khutbah Jum’at.
Inilah yang saya katakan sebagai persamaan negatif dari pelaksanaan Salat Jum’at di banyak masjid-masjid di Indonesia. Fenomena banyaknya jamaah yang membuka dan melihat hapenya saat khutbah Jum’at. Satu kebodohan yang bukan hanya dilakukan anak-anak, tapi bahkan orang dewasa juga banyak yang melakukan.
Kewajiban Mendengarkan Khutbah Jum’at
Kenapa saya bilang itu satu kebodohan? Kita lihat lebih dulu pendapat dari Imam Hanafi, Imam Hambali, dan Imam Maliki. Ketiganya sepakat berkata bahwa wajib hukumnya mendengarkan khutbah Jum’at. Imam Abu Hanifah bahkan lebih ekstrem lagi dengan mengatakan: “Semua hal yang diharamkan ketika salat, haram juga dilakukan ketika sedang mendengarkan khutbah”.
Kalau khutbah Jum’at itu adalah sesuatu yang wajib dilakukan, kenapa banyak orang yang malah melakukan hal-hal lain seperti berbicara dengan orang di sebelahnya, melihat hape, dan bahkan bermain di hapenya itu. Bukankah itu menjadikan amalan Salat Jum’atnya sia-sia? Dan melakukan hal yang sia-sia adalah kebodohan bukan? Kenapa tidak sedari awal nongkrong saja di warung kopi kalau hanya untuk ngobrol dan bermain hape?
Mungkin anda akan bertanya-tanya kenapa kok tidak menegur orang-orang tersebut saat selesai salat Jum’at? Kenapa malah hanya menuliskannya?
Begini, ada dua alasan. Pertama, dengan menuliskannya saya ingin menjangkau lebih banyak orang daripada dengan hanya menegur orang tersebut secara langsung.
Untuk alasan kedua, saya belum siap kalau orang yang saya tegur tadi malah menjawab: Nggak usah ngurus urusan orang lain, Mas! Bagaimana kalau orangnya menjawab seperti itu? Mak jleb, bukan? Kalau saya tanggapi, pasti ada kemungkinan terjadi debat kusir kecil-kecilan di antara kami. Dan, buat apa berdebat dengan orang bodoh? Menghabiskan waktu saja, kan? Nah, kalau saya tuliskan begini, tentu saja kemungkinan seperti itu tidak ada.
Yah, seharusnya sih penunjuk waktu bergerak yang ada di atas mimbar Masjid itu diganti tulisannya saat ada khutbah Jum’at. Ganti dengan: “Wajib Diam Saat Khutbah!” Juga kalau bisa ada tulisan atau pengumuman di sudut-sudut masjid yang mungkin tak terjangkau oleh penunjuk waktu bergerak tersebut. Tulisannya sama: “Wajib Diam Saat Khutbah!”
Nah, kalau ada orang yang masih berbicara atau bermain hape saat khutbah, saya tinggal menowelnya dan menunjuk ke arah tulisan-tulisan itu. Karena kalau saya mengingatkannya dengan berbicara, sia-sia juga amalan Salat Jum’at saya. []