Mubadalah.id – Sayyidah Nafisah merupakan anak perempuan Hasan Anwar bin Zaid Ablaj bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Nama Sayyidah Nafisah cukup dikenal sebagai ulama perempuan terkemuka pada masanya. Artikel ini akan mengulik biografi Sayyidah Nafisah, ulama perempuan Guru Imam Syafi’i.
Biografi Sayyidah Nafisah Cicit Nabi Muhammad Saw.
Para ulama pada masa itu, kerap menyebutnya sebagai Nafisah al-‘Ilmi, karena ia merupakan sumber ilmu pengetahuan keislaman yang berharga.
Selain itu, cicit Nabi Muhammad Saw itu juga dikenal sebagai seorang pemberani, sekaligus ‘abidah zahidah (tekun menjalani ritual dan asketis). Bahkan sebagian ulama pada masa itu, mengategorikannya sebagai wali perempuan dengan sejumlah keramat.
Hubungan Erat Sayyidah Nafisah dan Imam Syafi’i
Ketokohan ulama perempuan Sayyidah Nafisah ini, menurut KH. Husein Muhammad di dalam buku Lisanul Hal, Kisah-kisah Teladan dan Kearifan, nampakya sudah lama didengar oleh Imam Syafi’i. Terlebih, saat Imam Syafi’i mendengar bahwa banyak ulama yang datang ke rumah Sayyidah Nafisah untuk mengikuti pengajian dan ceramahnya.
Karena rasa ingin bertemu dan belajar kepada Sayyidah Nafisah, kemudian Imam Syafi’i mengirim surat kepadanya yang berisi permohonan bisa bertemu dengannya di rumahnya, sekaligus mengaji kepadanya.
Merespon kedatangan surat dari Imam Syafi’i, seperti dikisahkan Buya Husein, Sayidah Nafisah menyambutnya dengan seluruh kehangatan dan kegembiraan. Sayyidah Nafisah juga sudah mendengar kecerdasan al-Syafi’i.
Perjumpaan itu, kata Buya Husein, dilanjutkan dengan pertemuan-pertemuan yang sering. Masing-masing saling mengagumi tingkat kesarjanaan dan intelektualitasnya. Bila Imam Syafi’i berangkat untuk mengajar di masjidnya di Fustat, Sayyidan Nafisah mampir ke rumahnya, begitu juga ketika pulang kembali ke rumahnya,” tulis Buya Husein.
Dikabarkan bahwa Syafi’i adalah:
“Ulama yang paling sering bersamanya dan mengaji kepadanya, justru dalam statusnya sebagai tokoh besar dalam fiqih”
Selain itu, Buya Husein juga menceritakan, pada bulan Ramadhan, Imam Syafii juga acap shalat tarawih bersama Nafisah di masjid perempuan ulama ini. (Kana Yushalli biha al-Tarawih fi Masjidiha fi Syahri Ramadhan). Kalimat ini, lanjut Buya Husein, diperdebatkan maknanya, apakah ia berarti bahwa Imam Syafi’i menjadi makmum dari Sayidah Nafisah, meski dalam ruang yang terpisah? Kali ini tak penting diurai.
Mendoakan Imam Syafi’i Disaat Sakit
Kedekatan Sayyidah Nafisah dengan Imam Syafi’i semakin erat, apalagi saat Imam Syafi’i sakit, Buya Husein menambahkan, Imam Syafi’i mengutus sahabatnya untuk meminta Sayidah Nafisah mendoakan bagi kesembuhannya.
“Begitu ia kembali, sang Imam Syafi’i tampak sudah sembuh,” imbuhnya.
Bahkan, Buya Husein melanjutkan, ketika dalam beberapa waktu kemudian Imam Syafi’i sakit parah, sahabat tersebut dimintanya kembali menemui Sayyidah Nafisah untuk keperluan yang sama. Mohon didoakan untuk sembuh. Kali ini, Sayidah Nafisah hanya mengatakan,
“Matta’ahu Allah bi al-Nazhr Ila Wajhih al-Karim” (Semoga Allah memberinya kegembiraan ketika berjumpa dengan-Nya).
Mendengar ucapan sahabat sekaligus gurunya itu, Imam Syafi’i segera paham bahwa waktunya sudah akan tiba. Sebentar lagi. Imam Syafi’i kemudian berwasiat kepada murid utamanya: Al-Buwaithi, meminta agar Sayyidah Nafisah menshalati di atas jenazahnya, jika kelak dirinya wafat. Ketika Imam Syafi’i kemudian wafat, jenazahnya dibawa ke rumah perempuan ulama tersebut untuk dishalatkannya. tukasnya (Rul).