Buku: Lebih Putih Dariku
Penulis: Dido Michielsen
Penerjemah: Martha Dwi Susilowati
Penerbit: Marjin Kiri
Tahun Terbit: Juli 2025 (Cetakan keempat)
Jumlah Halaman: 288
Genre: Fiksi Sejarah
Mubadalah.id – Lebih Putih Dariku adalah novel berlatar abad ke-19 hingga 20 yang mengangkat kisah seorang perempuan Jawa bernama Piranti. Kemudian berganti nama menjadi Isah, nama yang diberikan oleh seorang perwira Belanda bernama Gey. Novel ini menyingkap realitas sosial, kolonialisme, dan pergulatan identitas perempuan pribumi di tengah sistem feodal dan kolonial yang mengekang.
Isah lahir dari seorang ibu pembatik di Keraton Yogyakarta. Ayah biologisnya, Pangeran Natakusuma, seorang Bupati Indramayu, tidak pernah menikahi ibunya. Status anak luar nikah ini menempatkan Isah pada posisi sosial paling rendah di lingkungan keraton. Jauh berbeda dengan sepupu-sepupunya, Karsinah dan Yatmi, yang memiliki hak istimewa karena lahir dari perkawinan resmi.
Sejak kecil, Isah menyaksikan ketidakadilan yang ibunya alami. Karya batik yang diakuisisi oleh keluarga keraton, hingga perlakuan diskriminatif sebagai pelayan. Dari pengalaman-pengalaman inilah tumbuh benih perlawanan dalam diri dia. Perlawanan itu kemudian membentuk jalan hidup Isah, termasuk keputusannya menolak perjodohan dengan seorang bupati demi mencari kebebasan.
Langkah beraninya membawanya pada Gey, seorang perwira Belanda. Dari hubungan inilah lahir dua anak perempuan: Pauline dan Louisa, yang oleh Isah tergambarkan sebagai “Lebih Putih Dariku.” Namun, harapan Isah untuk dinikahi Gey kandas ketika sang perwira justru kembali ke Belanda dan menikah dengan perempuan sebangsanya.
Lebih pahit lagi, Isah harus merelakan anak-anaknya diangkat oleh keluarga Belanda, Arnold dan Nyonya Lot, dengan ganti sejumlah uang yang diberikan oleh Gey.
Agar tetap dekat, Isah bersedia tinggal di rumah mereka sebagai babu, tanpa boleh mengaku sebagai ibu kandung. Ia merawat anak-anaknya sekaligus anak majikannya dengan penuh kasih; Eduard dan Robbert, hingga akhirnya menarik simpati Arnold, suami Lot, yang jatuh hati kepadanya. Hubungan gelap pun terjadi, menambah lapisan kompleksitas dalam kehidupan Isah.
Potret Perjuangan Tanpa Ujung
Hidup Isah adalah potret perjuangan tanpa ujung untuk meraih kemerdekaan yang tak pernah benar-benar ia genggam. Buku Lebih Putih Dariku ini menutup kisahnya dengan akhir yang tragis dan menyisakan sesak di dada.
Dido Michielsen dengan berani mengangkat sisi kelam kehidupan seorang Nyai, perempuan pribumi yang ia jadikan pendamping informal bagi pria Belanda, sebuah tema yang jarang tersentuh secara mendalam. Lewat kisah Isah, pembaca diajak memahami bagaimana status sosial, kolonialisme, dan patriarki menjerat perempuan, bahkan hingga menghapus identitas dan jejak keberadaannya.
Penggambaran karakter Gey dan Arnold menarik untuk kita cermati. Keduanya tidak tergambarkan sebagai sosok kasar secara fisik, melainkan menampilkan bentuk kekerasan lain yang lebih subtil: verbal, psikologis, dan sosial. Stigmatisasi, subordinasi, serta marginalisasi menjadi instrumen yang menghancurkan Isah secara perlahan.
Keberanian penulis juga tampak dalam menguraikan isu yang kerap kita anggap tabu. Perempuan sebagai objek seksual, mesin reproduksi, hingga pengakuan akan hasrat biologis perempuan yang selama ini terbungkam.
Secara naratif, novel ini memikat sejak halaman pertama. Alurnya menghipnotis, sehingga sulit untuk berhenti membaca. Meskipun aku harus menghabiskan waktu semingguan untuk membacanya di tengah kerja-kerja-kerja sebagai tulang punggung negara dan bayar upeti ke anggota Dewan yang terhormat.
Representasi Perempuan Jawa Abad ke-19
Isah bukan hanya representasi perempuan Jawa pada abad ke-19, tetapi juga refleksi perempuan masa kini. Di mana Isah masih bergulat dengan struktur sosial, budaya, dan sistem yang sering kali menolak keberadaannya sebagai individu merdeka.
Buku Lebih Putih Dariku adalah kisah yang menyentuh, tragis, sekaligus membuka mata, menyoroti sisi-sisi kelam sejarah kolonial dan nasib perempuan pribumi dengan detail yang tajam. Novel ini layak kita baca bukan hanya sebagai karya sastra, tetapi juga sebagai refleksi sosial-historis tentang identitas, perlawanan, dan harga diri perempuan.
Bagi pembaca: selamat menangisi Isah! []